Transisi Berkeadilan: Apakah Hanya Milik Sektor Energi?


Istilah ‘Transisi Berkeadilan’ atau Just Transition, sudah semakin sering terdengar, terutama pasca diluncurkannya _ (JETP) di Indonesia pada tahun 2022 yang lalu. Namun, pernahkah terpikir apakah istilah transisi berkeadilan hanya berlaku di sektor energi saja? Pada masa dimana isu perubahan iklim seharusnya menjadi urgensi semua orang, transisi seharusnya bukan hanya terjadi di sektor energi, namun seluruh sektor yang ada di dunia ini; termasuk iklim.

Transisi iklim

Istilah transisi iklim mungkin bagi beberapa orang belum pernah terdengar. Namun secara harfiah, transisi iklim ini merupakan masa transisi dari saat ancaman iklim tidak sering terjadi ke masa dimana ancaman iklim kerap terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi. Perlu dicatat, bahwa transisi iklim bukan hanya mencakup dampak perubahan iklim secara fisik, namun juga dampak perubahan iklim dari sisi respon kebijakan, seperti kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).  

Salah satu contoh transisi iklim di sektor non-energi adalah apa yang terjadi di Pekalongan, sebagaimana yang termuat di dalam studi Mercycorps Indonesia, terkait dengan kehilangan dan kerusakan yang timbul akibat dampak perubahan iklim. Awalnya, banjir pesisir yang terjadi di Pekalongan menjadi fenomena alam yang terjadi berkala namun pada skala yang dapat diatasi. Tapi kini, fenomena tersebut telah memaksa sekelompok masyarakat untuk berpindah ke lokasi permukiman yang lebih layak huni. 

Menurut Mercycorps Indonesia, pada tahun 2021, Pekalongan tercatat telah mengalami banjir permanen seluas 468 hektar dan diproyeksi akan meningkat menjadi 1526 hektar di tahun 2035. Banjir permanen tersebut menyebabkan 1 dusun (sekitar 77 rumah tangga) harus direlokasi. Bukan hanya mereka harus berpindah tempat, namun kebanyakan mereka harus mengalami pergantian pekerjaan untuk membiayai kelangsungan hidup. Walau demikian, melakukan relokasi bukanlah keputusan yang mudah, karena sebagian besar penduduk di wilayah tersebut telah terbiasa bekerja di sektor perikanan. Pergantian pekerjaan ini juga bukan sesuatu yang mereka inginkan, namun sesuatu yang dengan terpaksa mereka lakukan. Mereka harus mengalami transisi penghidupan akibat kenaikan muka air laut, kemungkinan ke sektor pekerjaan baru yang pastinya memerlukan skill atau keahlian yang baru.

Afrika Selatan di dalam dokumen A Framework for a Just Transition in South Africa  yang disusun oleh Presidential Climate Commission South Africa, mengakui bahwa just transition juga harus dilakukan dalam konteks melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Di dalam dokumen tersebut, Afrika Selatan menyatakan bahwa transisi berkeadilan bukan hanya masalah lingkungan, namun lebih kepada isu ekonomi dan sosial yang memberikan implikasi pada ekonomi dan penghidupan masyarakat Afrika Selatan di masa yang akan datang. 

Bagi Afrika Selatan, transisi berkeadilan bukan hanya perlu diterapkan pada pekerja dan komunitas yang mengalami dampak negatif dari bergesernya sektor-sektor yang memiliki intensitas emisi GRK yang tinggi, ke sektor dengan intensitas emisi GRK yang rendah, seperti sektor energi. Namun, Afrika Selatan juga menggarisbawahi pentingnya untuk menerapkan transisi berkeadilan bagi pekerja dan komunitas yang mengalami dampak negatif akibat perubahan iklim, terutama pada saat hidup dan kehidupan mereka terdampak langsung oleh kekeringan, banjir dan kejadian cuaca ekstrim lainnya.

Transisi berkeadilan sebagai prinsip

Pembukaan Persetujuan Paris pada paragraf 8 dan 10 menyatakan: 

Recognizing that Parties may be affected not only by climate change, but also by impacts of the measures taken in response to it,

- Pembukaan Persetujuan Paris paragraf 8

Taking into account the imperatives of a just transition of the workforce and the creation of decent work and quality jobs in accordance with nationally defined developed priorities,

- Pembukaan Persetujuan Paris paragraf 10

yang dapat diartikan bahwa pada dasarnya seluruh Pihak seharusnya memperhitungkan aspek transisi berkeadilan pada setiap aksi iklim yang dilakukan oleh para Pihak, dan tidak terbatas hanya pada sektor energi. 

Konsep just transition sebagaimana yang tercantum dalam Persetujuan Paris juga mendorong lahirnya Silesia Declaration pada COP24 di Katowice tahun 2018 silam. Deklarasi ini menekankan bahwa agar dapat mengatasi perubahan iklim, diperlukan perubahan paradigma untuk membangun ekonomi dan society yang rendah emisi GRK dan berketahanan iklim. Namun, saat transisi terjadi, harus dipastikan agar transisi berlangsung secara berkeadilan bagi tenaga kerja, melalui terciptanya pekerjaan yang layak dan berkualitas. 

Mengoperasionalkan transisi berkeadilan untuk aksi iklim

Technical Examination Process on Adaptation (TEP-A) yang dibentuk pada COP21 sesuai dengan Decision 1/CP.21 paragraf 124, melalui laporannya pada tahun 2021 menyatakan pentingnya edukasi dan pelatihan dalam melakukan aksi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Laporan tersebut menyatakan bahwa inisiatif pelatihan untuk meningkatkan keahlian (upskilling and reskilling) dapat memainkan peranan penting dalam transisi menuju ekonomi yang berketahanan iklim, dan dapat memastikan tenaga kerja yang ada memiliki keahlian yang diperlukan agar dapat mengimplementasikan solusi-solusi terkait adaptasi. Laporan ini mengafirmasi pentingnya untuk memastikan transisi berkeadilan akibat dampak perubahan iklim, melalui peningkatan keahlian di bidang yang relevan dengan ekonomi rendah emisi GRK dan berketahanan iklim. 

Pemikiran di atas seharusnya kembali menegaskan bahwa isu transisi berkeadilan bukan hanya ‘milik’ sektor energi, melainkan menjadi prinsip yang mendasar saat negara-negara melakukan perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, dari sebuah pembangunan yang rendah emisi GRK dan berketahanan iklim.

Transisi menuju pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim kini telah menjadi sebuah keniscayaan. Memastikan agar transisi ini berlangsung secara berkeadilan di seluruh sektor, tentunya menjadi tanggung jawab bagi kita semua. 

Bagikan :