Peran Kelompok Masyarakat Sipil pada COP29

_ ke-29 (COP29) mengenai perubahan iklim akan diadakan pada tanggal 11-22 November 2024 di Baku, Azerbaijan. Bersamaan dengan COP29 tersebut, akan dilaksanakan juga Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Protocol Kyoto (CMP) ke-19 dan Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA) ke-6. Perundingan iklim dalam konteks United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ini tentunya memiliki berbagai macam agenda untuk disepakati bersama. Sebagai salah satu aktor penting dalam mendorong lahirnya kesepakatan-kesepakatan yang krusial guna mencapai tujuan Persetujuan Paris, kelompok masyarakat sipil perlu memainkan peran masing-masing dan berkolaborasi satu sama lain.

Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyadari bahwa terlepas dari keragaman kelompok masyarakat sipil tersebut, namun gambaran terkait isu-isu penting yang akan ditindaklanjuti pada COP29 diperlukan oleh semua, sehingga masing-masing dapat berperan secara optimal. Oleh sebab itu, IRID melaksanakan sesi diskusi kelompok masyarakat sipil pada tanggal 17 Oktober 2024, terkait beberapa isu pembahasan di COP29 yang akan datang, antara lain: Pasal 6 Persetujuan Paris (Article 6 of the Paris Agreement); Loss and Damage (kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim); serta pendanaan iklim, khususnya Green Climate Fund (GCF) dan New Collective Quantified Goal (NCQG).

Pembahasan Pasal 6 Persetujuan Paris

Pasal 6 dibentuk atas dasar bahwa untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) global secara efektif dan efisien, tidak bisa hanya diserahkan pada setiap negara dalam bentuk Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) masing-masing saja, namun perlu juga adanya mekanisme kerja sama antar negara. Salah satu mekanisme yang diusulkan, memungkinkan untuk terjadinya perdagangan karbon, sehingga baik negara maju  (developed countries) maupun negara berkembang (developing countries) mendapatkan kesempatan yang sama dalam upaya mengurangi emisi GRK secara global.

Dalam konteks perdagangan karbon, mekanisme ini memuat persyaratan, peraturan,dan metodologi yang sangat kompleks untuk memastikan pasar bekerja dengan kualitas dan mutu yang tinggi. Oleh karena itu, upaya diseminasi Pasal 6 Persetujuan Paris ke ranah publik menjadi tantangan bersama. Adapun peran kelompok masyarakat sipil yang dapat dilakukan terkait isu ini adalah melihat bagaimana kebijakan nasional sejalan dengan mekanisme yang telah disepakati di bawah Pasal 6 Persetujuan Paris. Misalnya, perlunya memastikan komponen result based payment dalam Second NDC dapat bersinkronisasi dengan Pasal 6. Mengawal peraturan-peraturan yang sudah ada di Indonesia juga penting, agar strategi Pemerintah dalam mengimplementasikan pasar karbon dapat berjalan secara optimal.

Pembahasan Loss and Damage

Pembahasan penanganan loss and damage di bawah UNFCCC muncul akibat adanya keterbatasan upaya adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh negara-negara di dunia, termasuk keterbatasan pendanaan. Ketika dampak perubahan iklim yang terus-menerus terjadi tidak dapat ditangani sepenuhnya dan menyisakan risiko residual, maka diperlukan adanya skema penanganan yang harus disepakati bersama. Pasca diadopsinya kesepakatan terkait operasionalisasi Loss and Damage Funding Arrangement (LDFA) dan Loss and Damage Fund (LDF), mekanisme fasilitas pendanaan untuk loss and damage ini menjadi isu yang sedang gencar dikawal oleh para Pihak.

Beberapa tantangan yang perlu didorong melalui peran kelompok masyarakat sipil terkait isu loss and damage, antara lain: menyuarakan bukti empiris peristiwa-peristiwa loss and damage yang sudah terjadi di Indonesia; memastikan tata kelola dan kebijakan yang mampu menjadi kekuatan hukum dalam penanggulangan dampak perubahan iklim; dan memastikan kebutuhan di dalam negeri terpenuhi, contohnya terkait dengan data kenaikan permukaan air laut (sea level rise) yang hingga saat ini masih belum dimiliki Indonesia.

Pembahasan Advokasi Green Climate Fund (GCF)

Green Climate Fund adalah hasil kesepakatan di bawah UNFCCC di Cancun pada tahun 2010. Di Indonesia, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, merupakan entitas yang bertugas sebagai penghubung utama ke GCF, atau disebut dengan National Designated Authority (NDA). Salah satu prioritas utama NDA dalam menjalankan perannya adalah memastikan proyek-proyek yang diusulkan – baik yang bersifat single country (khusus Indonesia), maupun multi-country (Indonesia merupakan salah satu negara penerima manfaat)telah melalui proses yang berdaulat, demokratis, dan selaras dengan strategi nasional termasuk NDC, sehingga mencerminkan kebutuhan dan prioritas nasional.

Untuk mengakses pendanaan GCF, Non-Governmental Organization (NGO) harus mendapatkan akreditasi melalui proses yang sangat panjang. Meski demikian, peran NGO di dalam konteks GCF juga meliputi pemberian masukan serta penyampaian kritik terkait penyusunan kebijakan operasional yang berlaku di GCF. Masukan dan kritik yang disampaikan misalnya yang terkait dengan penggunaan dan penerapan standar lingkungan, dampak sosial, serta partisipasi publik.

Pembahasan New Collective Quantified Goal (NCQG)

Agenda NCQG pertama kali disepakati di Paris, tercantum dalam Decision 1/CP.21, paragraf 53. Paragraf tersebut menyatakan bahwa proses mobilisasi USD 100 miliar – yang awalnya memiliki tenggat waktu sampai tahun 2020 – diperpanjang sampai tahun 2025. Paragraf tersebut juga menyatakan bahwa beberapa waktu sebelum tahun 2025 para Pihak harus menyepakati target baru yang disebut sebagai NCQG. Para Pihak pada COP26 menyepakati untuk membentuk program kerja (work programme) terkait dengan NCQG, dengan masa kerja 2 tahun dimulai pada tahun 2022 dan akan berakhir pada tahun 2024. Pada COP29 mendatang diharapkan para Pihak dapat menyepakati besaran target, modalitas akses, pengaturan transparansi, alokasi pendanaan, basis kontributor, dan hal-hal lainnya yang terkait.

Isu Lainnya yang Muncul dalam Diskusi

Diskusi tersebut juga membahas perihal lain yang dapat dikawal oleh kelompok masyarakat sipil. Misalnya yang tekait penyusunan second NDC Indonesia dan apa saja yang harus tercakup di dalamnya. Dalam konteks NDC Indonesia, yang perlu untuk dicantumkan bukan hanya aksi-aksi iklimnya, tetapi juga kebutuhan pembiayaanuntuk mencapai target tersebut. Hal ini dapat membantu dalam menentuan target pendanaan iklim yang harus dimobilisasi untuk membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia, dalam melakukan implementasi NDC masing-masing.

Isu just transition juga harus diangkat, terutama agar keputusan terkait dengan penurunan emisi GRK, juga dapat memperhitungkan transisi berkeadilan di dalamnya. Hal yang patut untuk diperhitungkan adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh aksi iklim yang ada, tidak menambah beban bagi masyarakat terdampak, baik dari sisi pekerja, hak asasi manusia, serta kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan agar tetap dapat memberikan layanan ekosistem yang optimal.


Bagikan :