Memastikan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia: Meninjau Pembiayaan dalam Pengembangan EBT

Penulis: Maria Putri Adianti, Staff Komunikasi JuniorJulia Theresya, Policy Advocacy Officer, and Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan

Upaya Pemerintah Provinsi NTT untuk meningkatkan rasio elektrifikasi sebesar 100% di wilayah NTT melalui pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan memiliki beragam tantangan yang  harus dihadapi. Salah satunya adalah memastikan aliran listrik dapat menjangkau daerah-daerah yang saat ini belum memiliki jaringan transmisi. Memastikan hal ini terjadi, tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar.

Menanggapi hal ini, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bersama dengan Yayasan Pikul melakukan diskusi terpumpun yang dilaksanakan pada tanggal 1-3 Agustus 2023 di Kupang, NTT, terkait pembiayaan dalam rangka pengembangan EBT di NTT. Diskusi tersebut mengangkat beberapa tahapan pembiayaan yang harus dipenuhi untuk pengembangan EBT, yaitu: pembiayaan tahap pra-instalasi, pada saat pembangunan instalasi, serta pasca pembangunan instalasi.      

Pembiayaan Pra-Instalasi

     Tahap pembiayaan pertama adalah pembiayaan untuk periode pra-instalasi, dimana instalasi belum mulai dibangun. Beberapa hal yang memerlukan pembiayaan dalam tahap ini adalah:

  1. Biaya persiapan masyarakat;      
  2. Biaya konsolidasi, yaitu biaya untuk melalukan pertemuan dengan stakeholders, baik Pemerintah maupun non-Pemerintah. Konsolidasi ini juga akan menentukan peran masing-masing dari stakeholders;
  3. Biaya studi termasuk baseline, feasibility, dan gender. Termasuk di dalam komponen biaya ini adalah biaya studi untuk melihat seberapa tinggi niat atau ketertarikan masyarakat dalam pengembangan pembangkit energi terbarukan, misalnya PLTS;
  4. Biaya perizinan dan lisensi, meliputi izin pengangkutan barang, konsumsi, transportasi, lokasi PLTS yang dibangun diatas tanah yang belum bersertifikat, maka perlu pendanaan untuk mendapatkan sertifikat tanah);  serta
  5. Biaya lainnya, termasuk jika ada potensi berkolaborasi dengan pihak lain untuk melakukan studi lanjutan     .

Kendala yang dihadapi dalam periode pembiayaan ini antara lain sulitnya mencari pihak yang dapat membiayai persiapan masyarakat, mulai dari sosialisasi pembangunan hingga keberlanjutan pemakaian dan pemeliharaan unit. Jika menggunakan dana yang berasal dari lembaga keuangan seperti perbankan, koperasi, dan swasta, komponen studi awal seperti feasibility study,dapat dipastikan tidak akan dapat didanai. Hal ini disebabkankarena lembaga-lembaga tersebut hanya akan mendanai kegiatan-kegiatan yang telah memiliki feasibility study. Penggunaan Dana Desa juga dimungkinkan dalam hal ini; walau demikian penggunaan Dana Desa terkait dengan sektor energi, selayaknya harus menjadi bagian di dalam rencana pembangunan desa.

Pembiayaan Selama Pembangunan Instalasi

Kedua, adalah periode pembiayaan selama pembangunan instalasi. Dalam periode ini, komponen biaya yang perlu dipertimbangkan meliputi:

  1. Biaya konsolidasi kepada masyarakat. Termasuk di dalam komponen ini adalah biaya      sosialisasi ke masyarakat dan pemerintah daerah dalam pembangunan instalasi     ;
  2. Biaya studi lanjutan lain. Termasuk di dalam komponen ini adalah biaya untuk melakukan      studi mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, walaupun mungkin biaya ini tidak bersifat wajib;      
  3. Biaya pelatihan masyarakat dan operator;      
  4. Biaya pengiriman dan distribusi barang;
  5. Biaya perencanaan dan konstruksi;           
  6. Biaya jaringan dan distribusi listrik;
  7. Biaya operasional (OPEX) dan kapital (CAPEX);
  8. Biaya ceremonial; dan
  9. Biaya pengembangan bisnis/usaha kelistrikan yang disesuaikan dengan tujuan program.

Pada periode ini pendanaan relatif lebih mudah didapatkan dari berbagai pihak baik pemerintah, perbankan, koperasi, swasta, atau pihak lain. Hingga kini, pendanaan Pemerintah untuk pembangunan instalasi umumnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta Dana Alokasi Khusus (DAK).

Terdapat juga potensi mendapatkan pembiayaan dari pihak perbankan/lembaga keuangan seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Namun, untuk dapat mengakses pendanaan ini, maka diperlukan skema yang jelas terkait keuntungan, risiko, pertanggungjawaban, dan apakah pendanaan ini digunakan untuk intervensi yang tepat sasaran. Perbankan juga memungkinkan untuk      memberikan bantuan pembiayaan terkait dengan pemberdayaan di masyarakat setelah instalasi dibangun, termasuk di dalamnya kemampuan masyarakat dalam membayar kredit yang mereka miliki.

Pendanaan dari pihak koperasi juga memungkinkan. Bahkan selama ini, koperasi juga menyediakan pinjaman untuk pembiayaan pengembangan EBT. Namun pinjaman tersebut hanya diberikan kepada anggota koperasi untuk memasang instalasi listrik yang berasal dari PLN. Pinjaman untuk anggota/individu diberikan dengan bunga rendah, dengan pembayaran yang bersifat kolektif, dan dengan maksimum pinjaman dibawah Rp 3.000.000,-. Kredit tersebut juga hanya dapat diberikan ke anggota atas nama individu. Akses pinjaman tidak bisa diberikan atas nama kelompok, misal atas nama kelompok tani, kecuali jika ada salah satu anggota kelompok tani tersebut yang merupakan anggota dari koperasi.    

Pembiayaan Pasca Pembangunan Instalasi

Berikutnya adalah periode pembiayaan pasca pembangunan instalasi. Beberapa komponen biaya yang perlu dipertimbangkan pada tahap ini antara lain:

  1. Biaya pendampingan masyarakat dan usaha masyarakat. Termasuk di dalam komponen ini adalah biaya sosialisasi kepada masyarakat, untuk menjelaskan bahwa listrik tidak diberikan secara gratis, sehingga masyarakat perlu mencari cara untuk membayar iuran;      
  2. Biaya studi dampak atau studi lainnya;      
  3. Biaya pengujian sistem. Biaya ini diperlukan untuk menentukan kelayakan sistem pembangkit energi terbarukan, misalnya PLTS;           
  4. Biaya perawatan dan pemeliharaan;      
  5. Biaya pelatihan untuk operator dan lembaga pengelola. Termasuk di dalam komponen ini misalnya biaya pelatihan untuk meningkatkan kapasitas BUMDes sebagai pengelola PLTS. Biaya untuk peningkatan kapasitas BUMDes dalam pengelolaan dana desa, juga diperlukan. Peningkatan kapasitas BUMDes dapat meliputi peningkatan kapasitas dalam pembuatan skema bisnis yang tepat, pengelolaan dana untuk energi, pengambilan keputusan, dan sebagainya, karena BUMDes berperan untuk menjembatani antara kebutuhan masyarakat dengan pendanaan desa. Hal ini juga bertujuan agar melalui BUMDes, transformasi ekonomi yang lebih baik di masyarakat dapat diwujudkan;
  6. Biaya pemantauan dan evaluasi. Biaya ini diperlukan untuk mengetahui kinerja sistem yang dibangun guna mengatasi kendala yang mungkin akan muncul, termasuk biaya perbaikan;
  7. Biaya cadangan, seperti suku cadang komponen-komponen PLTS;
  8. Biaya perizinan dan lisensi;      
  9. Biaya kegiatan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, agar Masyarakat didorong untuk memanfaatkan listrik/energi dengan kegiatan produktif, sehingga mampu membayar iuran penggunaan listrik atau kredit yang telah diberikan oleh lembaga keuangan. Pembiayaan ini juga memungkinkan masyarakat untuk melakukan pengoperasian unit EBT mulai dari tingkat dasar hingga advance. Pelatihan tersebut juga memungkinkan masyarakat untuk melakukan pemeliharaan unit EBT, demi keberlanjutan teknologi EBT itu sendiri.
  10. Biaya ceremonial, dan biaya lainnya.

Dalam tahap ini, kolaborasi antara stakeholders menjadi penting dalam menentukan peran pelaksana teknis operasi, pemeliharaan, dan memastikan keberlanjutan dari pembangkit berbasis energi terbarukan itu sendiri.      

Mengkonkritkan kolaborasi

Guna membuat kolaborasi yang dimaksud diatas menjadi konkrit, pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) yang dikhususkan untuk urusan pengembangan EBT dapat menjadi salah satu langkah yang strategis. Landasan hukum yang digunakan dapat mengacu pada Rancangan Umum Energi Daerah (RUED), dimana Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) dapat berperan sebagai lead agency karena memiliki tugas pokok dan fungsi yang bersifat lintas sektor. Pokja EBT ini harus melibatkan seluruh pihak baik lembaga perencana, lembaga pembiayaan, hingga lembaga pelaksana, monitoring, dan evaluasi, sehingga dari segi pembiayaan, pengembangan EBT dapat terlaksana dan dipertanggungjawabkan pemanfaatannya sekaligus dapat menarik investor untuk bekerja sama. Perihal Pokja EBT di NTT sebenarnya sempat muncul melalui Forum Energi Daerah, namun sayangnya pembahasannya tidak berlanjut.

Kolaborasi ini perlu dibangun dengan pertimbangan bahwa pengembangan EBT tersebut dapat berjalan adil dan bermanfaat bagi semua pihak. Pengembangan EBT diharapkan dapat mendukung peningkatan taraf hidup masyarakat, kelestarian lingkungan, serta berjalan sesuai dengan regulasi dan kebijakan dari pemerintah setempat.

Secara garis besar, diskusi ini memberikan beberapa poin terkait dengan pendanaan pengembangan EBT di NTT. Pertama, kebutuhan pembiayaan untuk pengembangan EBT di NTT semakin penting untuk dipenuhi, dan dapat berasal bukan hanya dari sisi pemerintah namun juga dari pihak  non-pemerintah. Pembiayaan dari non-pemerintah misalnya dari perbankan, koperasi, organisasi masyarakat sipil, swasta (investor), atau bahkan kontribusi masyarakat. Masing-masing sumber pendanaan memiliki mekanisme dan prosedur yang berbeda-beda.

Kedua, penting untuk memastikan bahwa pengembangan EBT harus memperkuat ekonomi masyarakat secara inklusif, sebagai strategi keberlanjutan pengembangan EBT. Ketiga, tantangan seperti kurangnya dukungan kebijakan, lemahnya tata kelola dan model bisnis, atau hal-hal lain yang teridentifikasi, perlu dipetakan agar menjadi pembelajaran dan perbaikan untuk ke depannya.

——————————-

Bagikan :