Pembahasan terkait perempuan dengan penggunaan bahan bakar menjadi salah satu isu penting dalam transisi energi berkeadilan, sebab perempuan memiliki kedekatan dengan konsumsi energi. Beberapa negara telah menunjukkan keterkaitan antara perempuan dan energi di mana adanya ketergantungan masyarakat terhadap peran perempuan dan anak perempuan dalam mengumpulkan bahan bakar padat untuk keperluan sehari-hari, seperti di Mongolia. Akan tetapi, penggunaan bahan bakar padat ini menghasilkan polusi yang memberikan risiko buruk bagi kesehatan mereka. Maka dari itu, penting untuk memanfaatkan peran perempuan dalam mengurangi dampak buruk akibat penggunaan energi sekaligus mendorong transisi berkeadilan menuju energi bersih.
Dampak Penggunaan Bahan Bakar Padat di Beberapa Negara di Asia
Berbagai negara di Asia masih menggunakan bahan bakar padat akibat ketidakterjangkauan ekonomi rumah tangga terhadap mahalnya tarif listrik dan sumber energi bersih yang tersedia. Di Mongolia, sebagian besar kebutuhan energi adalah untuk memasak dan alat pemanas karena cuaca dingin yang ekstrem. Namun, terbatasnya akses sumber energi bersih dan pendapatan masyarakat yang rendah membuat sulitnya membayar tarif listrik, sehingga mereka harus menggunakan batu bara mentah dan kayu sebagai sumber energi di tingkat rumah tangga (URECA, 2024). Terlebih lagi, 91% pembangkit listrik di Distrik Ger[1], pinggiran kota Ulaanbaatar, Mongolia, masih bersumber dari batu bara, sedangkan 9% lainnya bersumber dari energi terbarukan. Persentase ini menjadikan kota Ulaanbaatar sebagai salah satu kota paling tercemar di dunia pada tahun 2018 hingga 2021, akibat 80% polusi udara yang dihasilkan dari pembakaran batu bara mentah untuk rumah tangga. Contoh lainnya juga terlihat dari 88,6% masyarakat di Republik Kirgistan dan 54,6% di Uzbekistan yang masih menggunakan batu bara mentah sebagai sumber energi utama saat musim dingin (CAREC Institute, 2024).
Penggunaan batu bara dalam rumah tangga yang terjadi di beberapa negara tersebut menimbulkan masalah kesehatan yang serius, utamanya dialami oleh perempuan dan anak-anak sebagai kelompok paling terdampak. URECA (2024) menyampaikan bahwa pada tahun 2023 terjadi 2.679 insiden keracunan karbon monoksida dengan 57 kasus kematian, serta 1 dari 10 kematian di Mongolia disebabkan oleh polusi udara. Angka kematian pada anak di bawah umur 5 tahun juga meningkat hingga 33% di Mongolia. Kasus tersebut juga terjadi di India, di mana aktivitas rumah tangga masih banyak menggunakan bahan bakar biomassa dan kayu, yang menghasilkan polusi udara dan mengakibatkan penyakit pernapasan kronis dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), serta menjadi penyebab kematian kedua terbesar di India untuk semua kelompok umur (WHO, 2020).
Praktik Baik Keterlibatan Perempuan Dalam Sektor Energi
Keterlibatan perempuan dalam mengatasi dampak buruk penggunaan bahan bakar padat sudah diterapkan di Tiongkok dan Tuvalu. Di Tiongkok, perempuan di daerah mulai terlibat dalam kegiatan terkait produksi skala besar biogas (Chen, 2024). Pekerjaan ini telah memberikan peluang perempuan untuk berada di luar rumah, sehingga mengurangi dampak buruk pada kesehatan akibat penggunaan bahan bakar tradisional di skala rumah tangga. Sedangkan di Funafuti, Tuvalu, Pacific Community melalui Pacific Energy and Gender Strategic Action Plan, telah melakukan transformasi masyarakat lokal melalui peningkatan penggunaan teknologi biogas domestik berkelanjutan. Aksi tersebut di antaranya memanfaatkan limbah organik menjadi energi terbarukan yang bersih untuk kegiatan memasak. Dampak positif yang terlihat berupa berkurangnya risiko paparan polutan berbahaya dan meningkatnya kualitas udara di rumah dan kesehatan keluarga (Ventura, 2024).
Peran ganda perempuan sebagai penyedia dan pengguna energi harian dalam rumah tangga, menjadikan perempuan sebagai aktor utama yang harus dilibatkan guna mengatasi dampak buruk pada kesehatan dari tingkat terkecil, yaitu keluarga. Keterlibatan perempuan di sektor energi juga menjadi peluang dalam upaya mempercepat proses transisi energi berkeadilan. Selain itu, melibatkan dan memberikan kesempatan lebih besar untuk perempuan dalam perencanaan, implementasi, decision-making dan pemantauan, serta evaluasi kebijakan, dipercaya dapat mencapai hasil yang lebih merata dan adil untuk semua.
[1] Pemukiman warga nomaden Mongolia yang tinggal di tenda bundar, atau yang juga dikenal dengan nama yurt.
Bagikan :