
Sektor waste (limbah) di Indonesia menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) jenis karbon dioksida (CO2) yang lebih sedikit dibandingkan sektor lainnya dalam Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) Indonesia. Namun, sektor limbah di Indonesia merupakan penyumbang GRK jenis metana (CH4) terbesar, di mana CH4 memiliki potensi pemanasan global 30 kali lebih besar dari CO2[1]. Itu sebabnya, pengelolaan limbah – khususnya limbah rumah tangga – seharusnya menjadi salah satu bagian penting dari aksi mitigasi di Indonesia.
Keberhasilan pengelolaan sampah di daerah pemukiman dapat dicapai dengan keterlibatan aktif masyarakat. Hal ini terlihat dalam praktik baik pengelolaan sampah terintegrasi di Desa Adat Keliki, yang terletak di Kabupaten Gianyar, Bali. Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) mendapatkan kesempatan untuk berkunjung dan belajar mengenai pengelolaan sampah berbasis masyarakat pada 18 September 2024 lalu. Kunjungan tersebut bertujuan untuk memahami lebih dalam terkait upaya pengelolaan sampah terpadu dan pemanfaatan energi terbarukan untuk pertanian.
Pada kunjungan tersebut, IRID mendapat kesempatan untuk berdiskusi dengan beberapa pemangku kepentingan, antara lain Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Manajer Fasilitas TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, Recycle), Kepala Desa, dan Project Manager dari program Merah Putih Hijau (MPH).
Inisiatif Desa Energi Berdikari

Desa Keliki telah menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengelola lingkungan, terutama sejak dimulainya inisiatif pembangunan infrastruktur fasilitas umum desa pada tahun 2020 saat terjadinya pandemi COVID-19. Salah satu langkah awal pembangunan yang signifikan adalah pemugaran taman makam, yang membuat desa ini dikenal sebagai desa dengan tempat pemakaman terbaik di Bali. Alhasil, Pemerintah Provinsi Bali memberikan status kepada Desa Keliki sebagai desa wisata pada tahun 2022.

Pada tahun yang sama, Desa Keliki menjadi salah satu lokasi proyek percontohan program Desa Energi Berdikari berbasis energi baru terbarukan (EBT) melalui dukungan dari PT Pertamina (Persero). Dengan populasi sekitar 5.000 jiwa, di mana 75% di antaranya bekerja di sektor pertanian, Desa Keliki berinovasi dengan memasang panel surya untuk mendukung kegiatan pertanian warga setempat. Saat ini, Desa Keliki telah memiliki 8 titik panel surya yang digunakan sebagai sumber energi untuk menggerakkan pompa pengairan sawah.
Selain itu, keberhasilan warga dalam membangun Desa Keliki hingga menjadi situs wisata budaya, turut meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan sampah. Program pengolahan sampah di Desa Keliki sudah dimulai sejak 2021 dengan dana dari pemerintah desa dan program pendampingan Merah Putih Hijau (MPH) dari Yayasan Bumi Sasmaya. Dengan sumber energi terbarukan yang dimiliki, warga Desa Keliki dapat memanfaatkan energi bersih untuk mengolah sampah rumah tangga menjadi pupuk organik. Pupuk organik ini digunakan oleh warga untuk kebutuhan produksi di lahan sendiri sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan.
Proses Pengolahan Sampah dan Tantangannya
Meskipun fasilitas pengolahan sampah telah didirikan, hanya satu ton dari tujuh ton sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Keliki setiap bulannya yang dapat diolah di TPS3R setempat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemilahan sampah dari sumbernya. Sebagian masyarakat di Desa Keliki masih menilai bahwa tanggung jawab pengelolaan sampah rumah tangga sudah selesai dengan hanya membayar iuran kebersihan setiap bulannya, sehingga himbauan untuk memilah sampah rumah tangga tidak jarang menghadapi penolakan.
Untuk mengatasi masalah ini, sebanyak 21 orang kader kebersihan mendapat pelatihan dari Yayasan Bumi Sasmaya untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pemilahan sampah rumah tangga. Kader kebersihan menjadi ujung tombak kesuksesan pengelolaan sampah dengan secara konsisten melakukan pendampingan kepada setiap rumah tangga, hingga mampu memilah sampah dengan baik sebelum diolah di TPS3R.
Sampah dari rumah tangga dipilah dalam tiga kategori, yakni sampah organik, sampah anorganik, dan sampah residu. Sampah organik merupakan sampah yang dihasilkan dari sisa makanan dan masakan dapur yang berbasis tanaman, seperti sayur, buah, nasi, dan lain-lain. Sampah non-organik adalah sampah yang dapat didaur ulang, seperti botol plastik kemasan air. Sementara itu, sampah residu merupakan sampah yang tidak bisa diolah atau didaur ulang seperti sampah pembalut.
Proses pengolahan sampah organik dilakukan dengan metode yang cermat, di mana sampah tersebut dibagi menjadi sampah yang dapat dikomposkan dan yang tidak. Metode pengomposan yang digunakan melibatkan lapisan sampah kering dan basah, dengan kontrol suhu yang ketat dan memanfaatkan udara terbuka atau disebut sebagai metode pengomposan aerob. Setelahnya, dilakukan pembalikan timbunan lapisan sampah untuk membuang panas yang berlebih pada timbunan sehingga mencapai suhu ideal sekitar 40°C-70°C dan berada pada pH normal antara 6 hingga 8. Proses ini dilakukan secara berkala setiap 14 hari selama tiga bulan sebelum kompos dapat dipanen dan digunakan sebagai pupuk organik.
Selain mengolah sampah organik menjadi kompos, TPS3R juga mengolah sampah anorganik dengan memisahkannya menjadi 64 jenis. Setelah dipilah sesuai jenisnya, kemudian dilakukan pressing untuk meminimalkan volume sebelum dikirim ke pihak ketiga (bank sampah[2] sekitar). Dengan demikian, hanya sampah residu yang belum bisa dikelola dan akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau landfill,
Peran Seluruh Pihak dalam Pengelolaan Sampah Terpadu
Hasil dari pengolahan sampah ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga mendukung pertanian lokal. Pupuk organik yang dihasilkan dijual dengan harga Rp 1.500,- per kilogram dan telah berhasil meningkatkan produktivitas padi dari 5 ton menjadi 8 ton per hektar per siklus panen.
Keberhasilan program pengolahan sampah di Desa Keliki merupakan contoh nyata dari kolaborasi antara pemerintah desa, BUMDes, perusahaan, yayasan, dan masyarakat. Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber dan peraturan desa lainnya menjadi instrumen penting dalam mendukung upaya ini. Dengan peningkatan kapasitas dan dukungan yang berkelanjutan, Desa Keliki tidak hanya akan menjadi role model untuk pengolahan sampah terpadu, tetapi juga menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
[1] https://www.statista.com/statistics/1418115/waste-related-methane-emissions-from-indonesia/;
[2] Bank Sampah merupakan tempat atau lembaga yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mengumpulkan, memilah, dan mengolah sampah sehingga dapat bernilai ekonomi tinggi. Umumnya, masyarakat dapat mengumpulkan sampah sesuai dengan kriteria tertentu dan menyetorkannya pada Bank Sampah untuk mendapatkan uang.
Share: