Menjelang berakhirnya ad hoc work programme untuk menentukan New Collective Quantified Goal (NCQG) pada sesi ke-6 Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA) November 2024[1] mendatang (sesuai dengan paragraf 3 Decision 9/CMA.3), pembicaraan terkait besaran pendanaan iklim yang harus dimobilisasi dan disediakan, belum menyentuh besaran kuantitatif. Besaran kuantitatif yang sempat diusulkan pada Technical Expert Dialogue (TED) ke-9 pada bulan April 2024 yang lalu, berkisar di angka USD 1,1-1,3 triliun per tahun dan disampaikan oleh negara-negara berkembang. Kejelasan mengenai besaran kuantitatif dari pendanaan iklim akan memberikan gambaran bagi negara berkembang untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius dan berkontribusi pada pencapaian tujuan Persetujuan Paris.
Pada permulaan proses pembahasan NCQG, beberapa Pihak menyatakan pentingnya untuk mengambil pelajaran dari proses mobilisasi USD 100 miliar, dimana penentuan angka tersebut sebenarnya tidak memiliki basis yang jelas, tidak melalui proses yang partisipatif, seolah angka tersebut ‘jatuh’ dari langit. Itu sebabnya, proses penentuan NCQG melalui serangkaian TED, diharapkan dapat memberikan gambaran terkait besaran pendanaan iklim yang dibutuhkan. Namun, hingga TED10 yang berlangsung pada 3 Juni 2024 di Bonn lalu, pembicaraan mengenai kuantum belum juga dimulai.
Basis penentuan kuantum
Pada salah satu agenda pembahasan negosiasi iklim, para Pihak menyepakati disusunnya sebuah laporan yang disebut sebagai Determination of the Needs of Developing Country Parties Report (NDR), untuk mendapatkan gambaran mengenai kebutuhan pendanaan dari negara-negara berkembang. Penyusunan laporan ini dilakukan dengan menganalisa berbagai dokumen, termasuk Nationally Determined Contribution (NDC)(NDC) terkini yang disampaikan para Pihak, khususnya negara-negara berkembang dan juga National Adaptation Plan (NAP). Pada laporan pertamanya yang dirilis pada tahun 2021, NDR menyebutkan bahwa negara-negara berkembang memerlukan sekitar USD 6 triliun hingga tahun 2030 untuk melakukan implementasi NDC. Namun, besaran ini belum mencakup kebutuhan pendanaan negara-negara berkembang untuk melakukan aksi-aksi adaptasi perubahan iklim.
Laporan lain seperti . tahun 2023 menyebutkan biaya untuk melakukan adaptasi di negara-negara berkembang pada dekade ini diperkirakan mencapai USD 215 miliar per tahun. Laporan ini juga menyatakan bahwa aliran pendanaan adaptasi yang mengalir ke negara-negara berkembang menurun hingga 15% di angka USD 21 miliar pada tahun 2021. Hal ini menyebabkan terjadinya gap pendanaan adaptasi yang diperkirakan mencapai USD 194-366 miliar per tahun.
Kebutuhan pendanaan iklim di Indonesia
Indonesia juga memiliki beberapa informasi terkait dengan kebutuhan pendanaan iklim untuk mencapai NDC. Indonesia mencatat bahwa pendanaan melalui APBN hanya dapat mendanai sekitar 34% dari yang dibutuhkan untuk melakukan implementasi NDC Indonesia[2]. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memerlukan sumber pendanaan lain untuk dapat melakukan aksi-aksi iklim, terutama yang tercantum di dalam NDC.
Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia yang diluncurkan pada tahun 2022 lalu pun, sebenarnya tidak menyediakan pendanaan yang cukup bagi Indonesia untuk melakukan implementasi Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) secara menyeluruh. CIPP mencatat bahwa apabila USD 20 miliar yang dikomitmenkan berhasil untuk dimobilisasi seluruhnya, Indonesia masih memerlukan pendanaan sebesar USD 77 miliar, belum termasuk pendanaan yang diperlukan untuk mendanai biaya guna mengatasi dampak sosial dan ekonomi, serta membayar hutang akibat pinjaman yang diberikan melalui kemitraan tersebut.
CIPP menyebutkan bahwa biaya untuk melakukan implementasi sebagian dari investment focus area (IFAs) yang teridentifikasi adalah USD 97,1 miliar pada periode 2023-2030 dan USD 580,3 miliar untuk periode 2023-2050, belum termasuk aspek transisi yang berkeadilan. Dibandingkan dengan USD 20 miliar yang dikomitmenkan oleh International Partners Group (IPG), besaran angka yang harus dimobilisasi oleh Indonesia terhitung sangat besar dalam kurun waktu yang cukup singkat.
Memastikan NCQG dapat membantu negara-negara berkembang dalam aksi iklim
Pembicaraan mengenai kuantum sudah seharusnya dimulai mengingat sisa waktu yang sangat pendek – kurang dari 6 bulan – bagi para Pihak untuk menentukan bentuk dan arah NCQG agar dapat diimplementasikan sesuai dengan kesepakatan para Pihak sebagaimana yang tercantum dalam Decision 1/CP.21 paragraf 53. Selain kuantum, para Pihak juga harus membicarakan dan menyepakati bagaimana mekanisme penyaluran pendanaan tersebut sehingga dapat diakses oleh negara-negara berkembang. Isu akses pendanaan iklim bukan lah hal yang baru. Fakta bahwa pendanaan iklim sulit untuk diakses sudah menjadi isu yang sampai saat ini belum terselesaikan. Bukan hanya sulit untuk diakses namun juga waktu penyaluran dana yang memakan waktu cukup lama.
Instrumen pendanaan yang digunakan untuk menyalurkan pendanaan kepada negara-negara berkembang juga menjadi isu yang perlu dibicarakan. Penggunaan instrumen pendanaan iklim ini juga harus mengingat keterbatasan kapasitas fiskal dari negara-negara berkembang. Dominasi instrumen pinjaman yang umumnya tersedia, membuka kemungkinan bertambahnya beban hutang negara-negara berkembang. Pada saat yang bersamaan, negara-negara berkembang tetap harus mendanai upaya-upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) serta upaya beradaptasi dengan dampak perubahan iklim, sebagaimana yang tercantum dalam NDC dan juga NAP yang telah disampaikan.
Memang masih banyak hal yang harus diselesaikan dan disepakati untuk membuat NCQG ini menjadi sebuah target yang berkeadilan dan pada saat yang bersamaan cukup robust untuk dioperasionalkan. Dalam sisa waktu yang ada menuju CMA6, para Pihak harus dapat menghasilkan kesepakatan terkait dengan target pendanaan iklim yang baru, dimana USD 100 miliar bukan lagi menjadi target, namun menjadi angka minimum yang harus tersedia. Namun, yang terpenting adalah sesuai dengan mandatnya, NCQG harus dapat memastikan pemenuhan kebutuhan dan prioritas negara-negara berkembang untuk melakukan aksi iklim guna mencapai tujuan Persetujuan Paris.
[1] CMA dilaksanakan bersamaan dengan Conference of the Parties (COP) UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change)
[2] NDC yang dimaksud dalam laporan tersebut adalah NDC yang disampaikan oleh Indonesia pada tahun 2016.
Bagikan :