Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (AR6) menyatakan bahwa aktivitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) telah menyebabkan peningkatan suhu sekitar 1,1°C. Kenaikan suhu ini telah menimbulkan dampak perubahan iklim yang telah dirasakan di seluruh penjuru dunia, dimana mereka yang menghasilkan emisi GRK paling sedikit, merupakan pihak yang memiliki kerentanan paling tinggi. Dampak perubahan iklim juga menyebar secara cepat, sehingga diperlukan aksi dan dukungan segera untuk menekan kenaikan suhu tidak melebihi 1,5°C, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 2 Persetujuan Paris. Hasil review Persetujuan Paris yang disebut dengan Global Stocktake (GST) menyatakan bahwa 2023 disepakati sebagai tahun terpanas.
Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Kualitas dari produksi kakao dan karet yang mendominasi komoditas di Sulawesi Tengah sangat dipengaruhi oleh iklim. Di sisi lain, Sulawesi Tengah juga menjadi daerah dengan kawasan industri terbesar di Indonesia. Terdapat dua kawasan industri di Sulawesi Tengah yang berfokus pada hilirisasi nikel yang juga menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), yaitu Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Indonesia Hua Bao Industrial Park (IHIP). Selain bertujuan untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, hilirisasi nikel juga ditujukan untuk mendukung upaya transisi energi di Indonesia melalui produksi katoda baterai yang digunakan pada kendaraan listrik. Proses produksi nikel yang menghasilkan emisi GRK tinggi, serta rentannya sektor perkebunan terhadap dampak perubahan iklim, mengharuskan Sulawesi Tengah untuk meningkatkan aksi iklimnya.
Peraturan Presiden (PerPres) No. 98 Tahun 2021 terkait implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, menyatakan pentingnya peran pemerintah daerah dalam upaya pencapaian target penurunan emisi GRK Indonesia. Peran daerah dalam implementasi aksi iklim sangat signifikan dan tidak terbatas hanya pada pemerintah daerah saja, tetapi juga aktor non-pemerintah seperti kelompok masyarakat sipil yang bergerak di isu yang berbeda-beda. Melalui keragaman isu yang dikawal, kelompok masyarakat sipil berperan penting guna memastikan kesiapan Sulawesi Tengah dalam upayanya menurunkan emisi GRK dan meningkatkan ketahanan terhadap potensi dampak perubahan iklim yang akan terjadi.
Memahami keragaman peran ini, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Yayasan PIKUL, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah, mengadakan diskusi dengan perwakilan kelompok masyarakat sipil di Sulawesi Tengah untuk mendapatkan gambaran terkait isu perubahan iklim di Sulawesi Tengah. Selain itu, diskusi juga diharapkan dapat mengetahui sejauh mana upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan dan upaya yang dapat ditingkatkan untuk menciptakan pembangunan daerah yang rendah emisi GRK, berketahanan iklim, serta berkeadilan.
Share: