Penulis: Maria Putri Adianti, Staf Komunikasi, Julia Theresya, Staf Advokasi Kebijakan, dan Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan
COP28 tahun 2023 lalu menghasilkan dua poin penting dari review Global Stocktake (GST) yang pertama. Hasilnya adalah bahwa upaya adaptasi yang dilakukan oleh negara-negara saat ini belum cukup; serta terjadinya kehilangan dan kerusakan (loss and damage) di berbagai belahan dunia semakin parah akibat kenaikan temperatur rata-rata global, yang tentunya berdampak pada berbagai sektor pembangunan, termasuk sektor pangan.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) memandang penting untuk melihat bagaimana dampak perubahan iklim hingga potensi kehilangan dan kerusakan di Indonesia, utamanya di sektor pangan. Itu sebabnya, IRID mengadakan diskusi kelompok terfokus pada 7 Februari 2023 secara daring untuk membahas berbagai upaya adaptasi yang dilakukan Indonesia, serta upaya untuk mengantisipasi kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim, khususnya pada sektor pangan.
Kondisi iklim global dan Indonesia
World Meteorological Organization (WMO) menyatakan bahwa pada bulan Desember tahun 2023 terjadi anomali suhu global dengan kenaikan sebesar 1,4°C, ditambah kenaikan kadar panas di laut yang mencapai rekor tertinggi, dengan kenaikan permukaan air laut 3,4 mm per tahun. Tahun 2023 bahkan diakui sebagai tahun yang terpanas secara global. Bagi Indonesia, tahun 2023 menjadi tahun terpanas kedua (0,5°C) setelah tahun 2016 (0,6°C) dalam rentang waktu 1980-2023 (BMKG, 2023).
Hal tersebut berdampak pada peningkatan intensitas bencana hidrometeorologis yang dapat mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Pada tahun 2015, El Nino di Indonesia telah menyebabkan kerugian ekonomi yang setara dengan 2% dari Gross Domestic Product (GDP) Indonesia, lebih besar ketimbang bencana-bencana seperti gempa bumi Lombok (2018), gempa bumi dan tsunami Sulawesi (2018), gempa bumi dan tsunami Selat Sunda (2018). Indonesia. Walau demikian, bencana seperti ini jarang sekali mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, ketimbang bencana-bencana seperti gempa bumi dan tsunami.
Upaya Iklim di Sektor Pangan
Kerawanan ketersediaan pangan menjadi salah satu ancaman dampak perubahan iklim ekstrim pada sektor pangan Indonesia. Upaya-upaya yang saat ini diupayakan adalah membangun program diversifikasi pangan oleh Kementerian Pertanian serta Sistem Peringatan Dini Kerawanan Pangan dan Gizi (SKPG) sebagai early warning system untuk memitigasi dampak kerawanan pangan di berbagai daerah hingga tingkat kabupaten/kota oleh Badan Pangan Nasional (BAPANAS). Situasi SKPG yang dirilis pada bulan Januari 2024 lalu menyatakan bahwa, terdapat 11 provinsi di Indonesia yang berada dalam status “Waspada”, antara lain: Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, dan Papua Barat.
Sektor pangan tidak hanya rawan terhadap dampak perubahan iklim. Sektor pangan juga dapat berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca, dengan cara mengurangi Food Loss and Waste (FLW). Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (2021) mengungkapkan bahwa potensi FLW mencapai 23,48 juta ton per tahun dan dapat berkontribusi sebesar 7,29% dari total emisi gas rumah kaca di Indonesia. Itu sebabnya, Indonesia menyampaikan komitmennya untuk mengurangi FLW sebesar 50% pada tahun 2030 (Bapanas, 2024).
Upaya Adaptasi Perubahan Iklim di Sektor Perikanan
Indonesia juga diprediksi akan mengalami dampak perubahan iklim pada sektor perikanan berupa penurunan potensi penangkapan ikan sebesar 20-30% (termasuk pada komoditi unggulan seperti tuna dan cakalang), penurunan secara ekonomi di sektor perikanan sebesar 15-26% pada tahun 2050, serta pengurangan pendapatan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) (Kaczan et al, 2023).
Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) telah mengidentifikasi strategi “Blue-Fish” World yang mengusung konsep proteksi ekosistem pesisir untuk rehabilitasi dan rebonding stok ikan, serta membentuk marine protected area. Strategi ini juga mencakup penguatan pengelolaan perikanan yang adaptif, dengan memberlakukan penangkapan ikan terukur sesuai zona berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), kuota, dan musim penangkapan.
Perubahan Iklim di Sektor Pangan dari Perspektif Gender
Perubahan iklim akan berdampak pada dimensi sektor pangan seperti ketersediaan pangan, kemudahan akses terhadap pangan, pemanfaatan pangan, dan stabilitas sistem pangan.
Dampak ini akan memiliki risiko tertentu pada ketidakseimbangan gender, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu hal yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terkait dengan ketahanan pangan adalah melaksanakan program-program seperti Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Pekarangan Pangan Lestari, serta Penanganan Stunting.
Tantangan dan Upaya lainnya di Sektor Pangan
Dalam menjawab tantangan perubahan iklim, keberlanjutan sistem pangan dari berbagai aspek: produksi, distribusi, dan konsumsi perlu dilakukan. Khususnya dalam aspek distribusi, upaya pemerintah dalam menekan harga komoditas pangan adalah dengan strategi impor mengingat biaya distribusinya lebih terjangkau dibandingkan harga distribusi di lingkup nasional. Namun, hal ini akan berpotensi membawa dampak pada tidak meratanya pemanfaatan sumber daya pangan di seluruh wilayah Indonesia. Itu sebabnya, perlu adanya peningkatan infrastruktur yang memadai guna menunjang distribusi sumber pangan yang lebih efisien.
Selain itu, peningkatan upaya adaptasi di sektor pangan perlu dilakukan dari tingkat tapak, agar praktik-praktik terbaik di tingkat lokal/daerah dapat dikembangkan hingga tingkat nasional dan dijadikan pedoman dalam penyusunan kebijakan. Pemerintah daerah dalam hal ini berperan sebagai aktor kunci, sehingga peningkatan literasi tentang perubahan iklim dan ketahanan pangan di tingkat daerah menjadi penting untuk dilakukan.
————————–
Bagikan :