Memastikan Aliran Pendanaan Konsisten dengan Pembangunan Rendah Emisi dan Berketahanan Iklim

Penulis: Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan

Tahun 2023 merupakan salah satu tahun penting bagi Negara Pihak yang meratifikasi Persetujuan Paris dalam konteks negosiasi iklim di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau yang kini disebut dengan United Nations on Climate Change (UNCC). Alasannya, akan dilakukan sebuah proses yang disebut dengan Global Stocktake yang pertama pada tahun 2023, di mana seluruh negara akan melihat status implementasi aksi-aksi iklim hingga kini. Proses tersebut dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dunia saat ini berada, dibandingkan dengan tujuan yang telah disepakati sebagaimana tercantum di dalam Pasal 2 Persetujuan Paris.

 

Sumber: iStock

Mengenal Pasal 2 Persetujuan Paris

Pasal 2 Persetujuan Paris pada paragrafnya yang pertama mencantumkan tiga tujuan utama terkait mitigasi (Pasal 2.1(a)), adaptasi (Pasal 2.1(b)), serta yang terkait dengan aliran pendanaan (Pasal 2.1(c)). Menariknya, di dalam negosiasi iklim, hanya Pasal 2.1(c) yang tidak memiliki agenda pembahasan spesifik, berbeda dengan Pasal 2.1(a) (agenda terkait dengan mitigasi jangka panjang) dan Pasal 2.1(b) (aksi adaptasi jangka panjang) (Goritz, Nettersheim, Ryfisch, 2021).

Saat ini, pembahasan terkait Pasal 2.1(c) menjadi salah satu bagian pekerjaan yang wajib dilakukan oleh Standing Committee on Finance (SCF) sebagai komite teknis yang memberikan masukan kepada Negara Pihak, dalam mengambil keputusan terkait pendanaan iklim dalam negosiasi iklim di bawah UNFCCC. Pasal 2.1(c) juga menjadi salah satu pekerjaan yang harus dilakukan oleh SCF, utamanya dalam menyusun Biennial Assesment (BA) terkait dengan aliran pendanaan yang ada, di mana setiap 4 (empat) tahun sekali, Pasal 2.1(c) akan menjadi bagian dari BA tersebut.

Status Aliran Pendanaan Terkait Pencapaian Tujuan Persetujuan Paris

SCF pertama kali memasukkan Pasal 2.1(c) menjadi bagian dari BA pada tahun 2020. Ketiadaan definisi atau persepsi yang sama di antara Negara Pihak mengenai pengertian bagaimana mengoperasionalkan Pasal 2.1 Persetujuan Paris, menyebabkan SCF melakukan pemetaan inisiatif yang dilakukan oleh beberapa negara terkait dengan aliran pendanaan yang telah ada dan dapat mendukung pencapaian Pasal 2.1(c) Persetujuan Paris.

Hasil pemetaan menunjukkan beberapa hal menarik. Misalnya, keberadaan green finance sebenarnya telah ada sejak tahun 1980, namun setelah Persetujuan Paris memasuki masa berlakunya, pertumbuhan inisiatif ini semakin meningkat, utamanya di sektor finansial. Tetapi, belum ada analisis terkait dampak sosial-ekonomi akibat dari implementasi inisiatif-inisiatif ini. Pertumbuhan inisiatif ini juga memberikan tantangan, dimana isu greenwashing pun bertumbuhan.

Temuan lainnya, untuk memastikan konsistensi aliran pendanaan menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim, perlu dipertimbangkan dan digali lebih lanjut hal-hal terkait aliran pendanaan untuk aksi-aksi intensif emisi, serta elemen yang berkaitan dengan transisi berkeadilan. SCF juga menemukan, aliran pendanaan untuk aksi-aksi terkait peningkatan ketahanan iklim masih sangat rendah, sehingga perlu menjadi perhatian.

 

Sumber: iStock

Bagaimana Mengoperasionalisasikan Pasal 2.1(c) Persetujuan Paris?

Pasal 2.1(c) Persetujuan Paris mengandung tiga komponen utama: (1) Finance flows; (2) Consistent; dan (3) A pathway towards low greenhouse gas emissions and climate-resilient development. Pengertian dari ketiga komponen utama tersebut harus disepakati oleh Negara Pihak, dan sedapat mungkin dikonkritkan sehingga dapat diselaraskan dengan pencapaian tujuan Persetujuan Paris.

Making finance flows consistent with a pathway towards low greenhouse gas emissions and climate-resilient development -Pasal 2.1(c) Persetujuan Paris-

Hal yang berhubungan dengan finance flows, misalnya, kesepakatan mengenai jenis aliran pendanaan seperti apa saja yang diperhitungkan di dalam Pasal 2.1(c) ini? Apakah aliran pendanaan ini berasal dari negara maju ke negara berkembang, atau termasuk dari negara berkembang ke negara berkembang? Apakah hanya memperhitungan aliran pendanaan di internasional saja, atau termasuk di domestik dan regional? Perlukah memperhitungkan aliran pendanaan di antara non-state actors, termasuk kelompok masyarakat sipil?

Hal penting lainnya yang perlu dibahas juga mengenai komponen ini adalah bagaimana keterkaitan dari pencapaian Pasal 2.1(c) Persetujuan Paris, dengan Pasal 9 Persetujuan Paris, yang merupakan agenda pembicaraan Negara Pihak pada setiap perundingan iklim, namun hanya terbatas aliran pendanaan dari negara maju ke negara berkembang.

Terkait dengan komponen ‘consistent, perlu diperjelas tentang mekanisme pengukuran konsistensi dari aliran pendanaan yang ada. Aliran pendanaan seperti apa yang disebut konsisten? 

Hal lain yang tak kalah penting untuk disepakati terkait dengan komponen ‘a pathway towards low greenhouse gas emissions and climate-resilient development’. Pertanyaan yang muncul dari komponen ini adalah pathway pada skala mana yang menjadi acuan? Apakah pathway pada tingkat global (mengacu pada operasionalisasi dari Pasal 2.1(a) dan Pasal 2.1(b) dari Persetujuan Paris), atau juga di tingkat nasional? Jika di tingkat nasional, apa hanya sebatas pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC), atau aksi-aksi dalam rencana pembangunan nasional secara keseluruhan?

Hal lainnya yang harus dipastikan, pathway yang dimaksud dalam Pasal 2.1(c) ini adalah pathway yang terkait dengan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Ini sangat penting mengingat aliran pendanaan yang ada saat ini masih didominasi oleh pendanaan untuk pembangunan rendah karbon, dan kurang untuk pendanaan bagi pembangunan berketahanan iklim.

 

Sumber: iStock

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebuah studi mengenai konsistensi aliran pendanaan di Indonesia menyatakan, saat ini aliran pendanaan di Indonesia untuk aksi-aksi yang selaras dengan pencapaian tujuan Persetujuan Paris masih relatif kecil dibandingkan dengan ukuran ekonomi Indonesia. Selain itu, kebanyakan permintaan pasar di Indonesia hingga kini masih mengikuti pola business-as-usual, sehingga aliran pendanaan iklim di negara ini masih didominasi oleh pendanaan publik domestik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan sisanya berasal dari pendanaan publik internasional. Lebih lanjut, studi tersebut menegaskan, pendanaan domestik Indonesia yang berasal dari anggaran nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan pendanaan iklim Indonesia.

Studi tersebut juga menyatakan bahwa konsistensi aliran pendanaan sektor privat di tingkat internasional pada umumnya diarahkan melalui adopsi indikator ESG (Environment, Social, Governance). Begitu pula dengan aliran pendanaan sektor privat di tingkat domestik yang dikendalikan juga oleh standar-standar ESG yang melekat pada portfolio dari perusahaan-perusahaan terkait. Beberapa rekomendasi studi ini menyebutkan, Indonesia perlu mengembangkan indikator yang lebih rinci terkait pendanaan iklim dan pendanaan hijau, utamanya dalam konteks mengarahkan pendanaan privat agar selaras dengan pencapaian tujuan Persetujuan Paris.

Selain melihat sisi pendanaannya sendiri, Indonesia juga harus memperhatikan hal-hal terkait dengan bentuk pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim yang (ingin) dimiliki oleh Indonesia. Sama halnya seperti aliran air yang akan mengikuti bentuk wadahnya, demikian pula aliran pendanaan akan mengikuti bentuk pembangunannya. Itu sebabnya, jika rencana pembangunan yang disusun oleh Indonesia jauh dari pendekatan rendah emisi dan berketahanan iklim, maka aliran pendanaan Indonesia akan jauh dari konsistensi terhadap pencapaian Persetujuan Paris.

Rencana pembangunan itu dapat disusun dengan mempertimbangkan skenario pencapaian tujuan Persetujuan Paris untuk mencegah kenaikan rata-rata temperatur global, agar tidak melebihi 2oC atau bahkan tidak melebihi 1,5oC. Rencana pembangunan tersebut dapat disusun berdasarkan informasi ilmiah, terkait apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, serta aksi tanggap dampak perubahan iklim apa yang dapat dilakukan oleh Indonesia apabila kenaikan temperatur rata-rata global yang dimaksud, terjadi di Indonesia. Rencana pembangunan tersebut juga harus meliputi aksi tanggap terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan dan kehilangan akibat dampak perubahan iklim di Indonesia, yang tidak dapat diatasi melalui upaya-upaya adaptasi perubahan iklim.

Harapannya, melalui penyusunan rencana pembangunan dengan cara demikian, Indonesia dapat mengarahkan aliran pendanaan, baik secara publik maupun privat, domestik maupun internasional, sehingga mendukung pencapaian tujuan Persetujuan Paris sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 2.1(c) dari Persetujuan Paris.

———————————————————————————————————————————————————————————————-

Rujukan

Goritz, A., Nettersheim, C., Ryfisch, D. (2021). Making finance flows consistent with the Paris Agreement: Opportunities and challenges concerning Article 2.1c. Climate Finance Advisory Service (CFAS). Dapat diakses melalui tautan berikut: https://www.cfas.info/sites/default/files/anhang/CFAS_Policy_Brief_Making%20finance%20flows%20consistent%20with%20the%20Paris%20Agreement.pdf

Halimanjaya, A., Komariah, E., and Rosalina, L. (2022). ‘Consistency case study: actions supporting Article 2.1c of the Paris Agreement in Indonesia’. Part of the Climate-consistency of finance flows: iGST case study series. San Francisco and London: ClimateWorks Foundation and ODI. Dapat diakses melalui tautan berikut: https://cdn.odi.org/media/documents/Consistency_case_study_Indonesia.pdf

Bagikan :