Memahami Isu Kebutuhan dan Prioritas (Needs and Priorities) serta Akses Indonesia dalam Pendanaan Iklim

Pada pembahasan pendanaan iklim di tataran United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), isu needs and priorities (kebutuhan dan prioritas) negara berkembang, merupakan sebuah prinsip yang selalu dikedepankan dalam negosiasi iklim; demikian pula dengan akses pada pendanaan iklim.  

Belajar dari mobilisasi pendanaan iklim sebesar USD 100 miliar, sebagaimana yang diusung oleh Copenhagen Accord di tahun 2009 yang lalu, isu needs and priorities serta akses menjadi hal penting yang selalu diperjuangkan oleh negara-negara berkembang. Salah satu pembelajaran terkait dengan mobilisasi pendanaan iklim sebesar USD 100 miliar adalah cara menentukan angka USD 100 miliar sebagai target. Angka tersebut muncul tanpa basis perhitungan, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan dan prioritas dari negara-negara berkembang terkait dengan aksi iklim.  

Hal lain yang juga menjadi pembelajaran dari mobilisasi USD 100 miliar adalah mekanisme penyaluran dana yang tidak memiliki kejelasan. Pada praktiknya, sejumlah dana disalurkan melalui dana multilateral, seperti Green Climate Fund (GCF), beberapa lagi melalui dana bilateral, dan yang lain melalui kerja sama yang melibatkan sektor swasta. Pembelajaran ini menjadi isu yang penting bagi negara-negara berkembang, utamanya dalam proses penentuan target baru untuk pendanaan iklim, yang disebut sebagai New Collective Quantified Goal (NCQG). 

Penentuan besaran pendanaan iklim yang dibutuhkan oleh negara berkembang sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya, saat ini masih didasarkan pada informasi yang tercantum pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) dan National Adaptation Plan (NAP) dari masing-masing negara berkembang. Para Pihak sebenarnya juga telah menyepakati untuk mengidentifikasi kebutuhan pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang dan merekamnya dalam sebuah laporan yang disebut sebagai Determination of the Needs of Developing Country Parties (NDR). Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam penyusunan laporan ini adalah kurangnya data, utamanya karena pada dokumen NDC dan NAP yang ada, tidak semua negara berkembang mencantumkan kebutuhan pendanaan mereka untuk melakukan implementasi NDC dan NAP. Itu sebabnya, menentukan besaran dana yang diperlukan dalam melakukan aksi iklim menjadi penting agar pendanaan iklim yang ada dapat mendukung negara berkembang dalam melakukan implementasi NDC dan NAP masing-masing. 

Memastikan negara-negara berkembang untuk mendapatkan akses pada pendanaan iklim yang tersedia juga tidak mudah. Berbagai kesulitan dihadapi oleh negara-negara berkembang dalam mengakses dana-dana multilateral, seperti GCF, menjadi kekhawatiran besar bagi negara-negara berkembang. Belum lagi, diperlukan adanya kualitas data dan informasi yang memadai dalam penyusunan proposal untuk aksi iklim yang diajukan. Bahkan, instrumen pendanaan iklim yang ada didominasi oleh pinjaman, yang hanya menambah beban hutang negara berkembang. Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan dan Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) memandang pentingnya untuk mengidentifikasi lebih jauh terkait penentuan kebutuhan dan prioritas Indonesia, serta akses pada pendanaan iklim. 

Download this Discussion Paper to learn more information.

Share: