Photo Credit: Halimah, Staf Komunikasi
Nelayan merupakan salah satu profesi yang berhubungan erat dengan perubahan iklim dikarenakan aktivitas utama masyarakatnya yang sangat bergantung pada kondisi cuaca dan lingkungan. Ketidakpastian cuaca yang terjadi membuat para nelayan harus menyesuaikan diri agar dapat mempertahankan mata pencahariannya. Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) berkesempatan untuk mengunjungi Desa Nelayan di Kedonganan, Bali, untuk melihat bagaimana para nelayan di wilayah tersebut melakukan berbagai upaya untuk beradaptasi dengan iklim yang berubah.

Kelompok nelayan “Wana Segara Kertih” di Kedonganan merupakan kelompok nelayan aktif yang saat ini beranggotakan 97 orang. Kelompok nelayan ini pernah bekerja sama dengan Dinas Kehutanan di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura), terutama dalam berbagai pelatihan terkait ekosistem bakau, mulai dari tahap penanaman bibit hingga tahap penjualannya. Saat ini, luas lahan bakau yang dikelola oleh kelompok ini mencapai 8,2 hektare.

Salah satu tantangan utama dalam pemberdayaan bakau di desa nelayan ini adalah meningkatnya jumlah sampah – terutama sejak pandemi COVID-19 pada tahun 2020 silam – yang menyebabkan adanya lonjakan sampah plastik yang dibuang sembarangan. Dengan adanya subsidi harian untuk mengumpulkan sampah dari Pemerintah Kabupaten Badung sebesar Rp 180.000,- selama enam bulan kepada warga setempat, dalam sehari warga mampu mengumpulkan satu truk sampah penuh untuk diangkut ke Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R) yang didirikan sejak 2021. Tantangan lain yang dihadapi adalah mengubah pola pikir masyarakat agar lebih peduli terhadap kebersihan lingkungan. Untuk meningkatkan kesadaran warga dalam menjaga ekosistem bakau, kelompok nelayan mengadakan lomba mengumpulkan sampah dan memiliki program bersih-bersih rutin setiap bulan.

Selain berdampak pada kebersihan lingkungan, sampah yang mencemari kawasan dapat menghambat pertumbuhan bakau. Sampah yang menempel, termasuk rumput laut/alga liar, dapat mengganggu tunas muda sehingga sulit berkembang. Arus deras yang membawa sampah serta hama alami, seperti kepiting dan kerang, sering kali menghambat pertumbuhan bakau. Oleh karena itu, menjaga kebersihan bakau merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan ekosistem yang mendukung kehidupan para nelayan.

Selain memberi pengaruh positif bagi tangkapan ikan, bakau juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan. Kelompok nelayan telah berhasil mengolah bakau menjadi berbagai produk bernilai ekonomi, seperti kopi, sirup, produk lulur, serta pewarna alami dari akar bakau. Upaya menjaga kebersihan bakau juga membawa dampak positif terhadap hasil tangkapan, seperti ikan belana dan kerapu yang cenderung memiliki bobot lebih besar (20-45 kilogram per ekor), jika hidup di perairan bersih.

Budi daya kepiting bakau juga mulai dikembangkan, meskipun masih dalam tahap perencanaan. Namun hingga kini, masyarakat setempat belum mendapatkan pelatihan khusus untuk mengoptimalkan hasil budi daya tersebut. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) berbasis bakau secara keseluruhan masih terbatas dikarenakan pekerjaan ganda para nelayan, seperti menjadi guru atau dosen. Meski demikian, kelompok nelayan membuka peluang pendapatan tambahan melalui kerja sama dengan organisasi atau mahasiswa yang ingin berpartisipasi dalam konservasi bakau, sehingga dapat mendukung keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Share: