Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia: Mewujudkan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia

 

Teknisi listrik membuat catatan di dekat menara listrik bertegangan tinggi. Sumber Foto: iStock

Penulis: Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan

Pada tahun 2015, negara-negara di dunia sepakat untuk bersama-sama secara kolektif,  melakukan upaya guna mencegah kenaikan temperatur global rata-rata agar tidak melebihi 2oC, bahkan tidak melebihi 1.5oC. Kini, pembicaraan terkait kenaikan temperature global rata-rata, mengerucut pada 1.5oC, sebagaimana yang tercantum dalam Sharm el-Sheikh Implementation Plan[1] – sebagai hasil dari COP27 – serta Deklarasi para Pemimpin G20[2] – sebagai hasil KTT G20.

Sharm el-Sheikh Implementation Plan menyatakan bahwa seluruh negara telah mengakui bahwa untuk mencegah kenaikan temperatur melebihi 1.5oC (bukan lagi 2oC), diperlukan upaya pengurangan emisi gas rumah kaca global sebesar 43% di tahun 2030, relatif dibandingkan dengan tingkat emisi pada tahun 2019.

Sharm el-Sheikh Implementation Plan juga menyatakan agar negara-negara Pihak mempercepat pengembangan, penyebaran dan diseminasi teknologi, kebijakan, dalam rangka transisi menuju sistem energi yang rendah karbon, termasuk upaya-upaya untuk meningkatkan penyebaran pembangkit listrik dari energi bersih, efisiensi energi, serta upaya percepatan phasedown pembangkit listrik berbasis batu bara, dan menghilangkan (phase-out) subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien.

Pada saat yang bersamaan, diperlukan penyediaan dukungan tepat sasaran pada masyarakat paling miskin dan rentan, sesuai dengan kondisi nasional. Negara-negara Pihak juga menyadari bahwa untuk melakukan upaya transisi yang berkeadilan tersebut, diperlukan dukungan[3].

JETP Indonesia, Mobilisasi USD 20 miliar

Bulan November tahun 2022 yang lalu, bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi G20, negara-negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG)[4] meluncurkan kemitraan dengan Indonesia, untuk memobilisasi pendanaan sebesar USD 20 miliar guna membantu Indonesia menerapkan upaya-upaya dekarbonisasinya. Mobilisasi pendanaan ini berasal dari negara-negara anggota IPG sebesar USD 10 miliar, sedangkan sisanya akan dimobilisasi melalui pendanaan swasta oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Pendanaan JETP untuk Indonesia ditujukan untuk membantu Indonesia beralih dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan pada saat yang bersamaan melakukan upaya pengembangan energi terbarukan, untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia. Indonesia diharapkan dapat menyusun rencana investasi (investment plan) yang di mana pada tahun tahun 2030 komposisi energi terbarukan terhadap energi total, mencapai 34%. Termasuk di dalam rencana investasi tersebut adalah percepatan pemensiunan dini dari pembangkit listrik berbasis batubara, dimana emisi dari sektor ketenagalistrikan akan mencapai puncaknya di tahun 2030 dengan emisi gas rumah kaca mencapai 290 juta ton CO2-ek di tahun 2030, turun dibandingkan dengan skenario business as usual di mana emisi gas rumah kaca di sektor ketenagalistrikan mencapai 357 juta ton CO2-ek di tahun 2030.

Harapannya juga, pada tahun 2050, sektor ketenagalistrikan Indonesia dapat mencapai net zero emission. Kemitraan ini juga diharapkan dapat mempercepat pengembangan industri lokal terutama di bidang energi terbarukan dan efisiensi energi, termasuk identifikasi dan mendukung masyarakat Indonesia yang rentan terhadap dampak negatif dari transisi, pekerja dan seluruh kelompok sosial lainnya, yang mendapatkan penghidupan di bidang industri batubara atau dalam pekerjaan yang berhubungan dengan industri batubara.

 

Stasiun solar panel di daerah pegunungan. Sumber Foto: iSTock

Prinsip-prinsip dalam konstitusi dasar Indonesia untuk perencanaan dan implementasi JETP

Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyambut baik bentuk kemitraan seperti JETP untuk membantu Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kacanya, dan berkontribusi pada upaya bersama untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata global, agar tidak melebihi 1.5oC. Walau demikian, pada saat perencanaan dan implementasi dari inisiatif ini, diharapkan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konstitusi dasar Indonesia, tetap dipatuhi.

Prinsip-prinsip tersebut adalah: prinsip keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, pemenuhan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, pemanfaatan pengelolaan alam yang berkelanjutan, efisiensi berkeadilan dan kemandirian energi. Prinsip lain yang juga terkandung di dalam konstitusi dasar Indonesia adalah prinsip transparansi, partisipasi publik, keterbukaan informasi, serta prinsip penyusunan kebijakan regulasi yang kolaboratif.

Penerapan prinsip keadilan di dalam perencanaan dan implementasi JETP di Indonesia dapat dilakukan dengan cara mengakomodasi kebutuhan Indonesia di dalam menjamin akses energi bagi masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Penerapan prinsip kemanfaatan dalam perencanaan dan implementasi JETP di Indonesia, dapat dilakukan dengan cara memastikan bahwa kerjasama ini benar-benar memberikan manfaat yang maksimal untuk masyarakat luas, dan bukan hanya untuk sebagian masyarakat saja.

Penerapan prinsip terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia, meliputi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, peningkatan kualitas hidup yang sama, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, serta akses pada pekerjaan khususnya terhadap tenaga kerja yang relevan dengan upaya-upaya transisi energi berkeadilan.

Prinsip perlindungan lingkungan hidup, pemanfaatan pengelolaan alam yang berkelanjutan, efisiensi berkeadilan, dan kemandirian energi mengandung pengertian bahwa di dalam upaya mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, perlu dipastikan dibentuknya dan dilaksanakannya program yang memenuhi prinsip-prinsip non-ekonomi; yaitu, perlindungan lingkungan hidup, pemanfaatan pengelolaan alam yang berkelanjutan, efisiensi berkeadilan, dan kemandirian energi. Termasuk di dalam prinsip ini adalah restorasi lingkungan hidup yang rusak akibat dampak operasional dari pembangkit berbasis fosil.

Penerapan prinsip transparansi, partisipasi publik dan keterbukaan informasi dapat dilakukan dengan cara memastikan keterlibatan publik di dalam menyusun landasan pembentukan dan pelaksanaan program transisi energi yang berkeadilan. Sedangkan terkait dengan prinsip pembuatan kebijakan yang kolaboratif artinya adalah dalam penyusunan kebijakan maupun implementasi, harus dipastikan adanya koordinasi dan kolaborasi yang efektif antara kementerian/lembaga.

Dialog JETP untuk kalangan luas

Memastikan prinsip-prinsip ini untuk dilaksanakan secara sengaja dan konsisten, memerlukan kerjasama antara pihak Pemerintah dan non-Pemerintah baik di dalam perencanaan dan implementasi upaya dekarbonisasi melalui transisi energi yang berkeadilan bagi semua. Tentunya, kerjasama ini perlu didasari oleh prinsip transparansi, partisipasi publik dan keterbukaan informasi, terkait dengan perencanaan dan implementasi dari inisiatif transisi energi berkeadilan ini, di Indonesia. Hal ini mungkin dapat dimulai dengan adanya dialog untuk memperkenalkan isu ini pada kalangan luas, dan sedapat mungkin menerima masukan terutama dari mereka yang rentan dan terdampak dari upaya melakukan transisi energi.


[1] Utamanya pada paragraf 15 dari Sharm el-Sheikh Implementation Plan, FCCC/PA/CMA/2022/L.21

[2] G20 Bali Leaders’ Declaration. Dokumen dapat diakses melalui tautan ini: https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/G20%20Bali%20Leaders%27%20Declaration%2C%2015-16%20November%202022%2C%20incl%20Annex.pdf

[3] Paragraf 28 Sharm el-Sheikh Implementation Plan, FCCC/PA/CMA/2022/L.21

[4] Negara-negara yang tergabung di dalam International Partners Group (IPG) adalah Jepang, Amerika, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia, Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara, sebagaimana yang tercantum pada Joint Statement yang dapat diunduh pada tautan berikut: https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/STATEMENT_22_6892

Bagikan :