Konferensi Para Pihak ke-29 (29th Conference of the Parties/COP29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan November 2024 lalu, menghasilkan Baku Climate Unity Pact yang merupakan kesepakatan yang dicapai oleh negara-negara di dunia terkait dengan isu perubahan iklim. Pada saat yang bersamaan, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brazil, juga memiliki beberapa komponen terkait dengan aksi iklim di tataran global, utamanya yang diharapkan untuk dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam G20. Beberapa isu yang disepakati pada kedua konferensi tingkat tinggi ini tentunya memiliki pengaruh bagi Indonesia, utamanya dalam rangka mendukung pencapaian target global, diantaranya untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata global melebihi 1,5oC.
Pada COP29, para Pihak mencatat dokumen State of Climate 2024 yang dikeluarkan World Meteorological Organization (WMO), terkait dengan kondisi iklim global yang terjadi saat ini. Dokumen tersebut menunjukkan bahwa tahun 2024 mencatat rekor sebagai tahun terpanas, berturut-turut setelah para Pihak menyepakati bahwa tahun 2023 merupakan tahun terpanas saat COP28 di Dubai tahun 2023 yang lalu, di mana kenaikan temperatur rata-rata global mencapai 1,1oC. Walau demikian, dokumen ini menyatakan bahwa upaya-upaya guna membatasi kenaikan temperatur rata-rata global tidak melebihi 1,5oC, masih tetap dapat dicapai dan kritikal guna mengurangi risiko dan dampak lebih lanjut dari perubahan iklim.
Urgensi untuk melakukan upaya-upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ini juga digaungkan oleh negara-negara anggota G20, melalui Leaders’ Declaration yang dihasilkan. Pada deklarasi tersebut, para anggota dari G20 menyatakan kesepakatan mereka untuk melakukan apa yang tercantum pada keputusan terkait dengan The outcomes of the first Global Stocktake (GST) – concluded at COP28 in Dubai – show that progresses have been made towards achieving the goals of the Paris Agreement. The projected global temperature increases – with the NDCs – is between 2.1°C and 2.8°C, from the expected 4oC in the absence of the climate actions. However, it is still insufficient to achieve the 1,5oC goals. The significant gap emphasizes the urgent need to do more ambitious climate actions, both in adaptation and mitigation. The GST then underscores the need for Parties to enhance their climate actions and stresses the importance of ensuring the just and sustainable transition on mitigation, to be reflected in Parties’ upcoming NDCs.
The GST outcomes, as mandated by the Paris Agreement, shall inform Parties in updating and enhancing their climate actions indicated in the NDCs. This means that in updating its NDC, Indonesia is expected to ensure that its Second NDC (SNDC) accommodates the results of the first GST, particularly in the energy sector. With that context, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) held a discussion on "Aligning Indonesia’s Climate Actions in the Energy Sector with the Paris Agreement" to gather more information and understanding from various stakeholders regarding the issue. The discussion was held on July 4th 2024 in Jakarta.
yang pertama di Dubai tahun 2023 yang lalu. Bukan hanya itu, negara-negara G20 juga menyatakan dukungannya pada pencapaian kesepakatan New Collective Quantified Goal (NCQG) yang harus disepakati oleh para Pihak. Hal yang sama juga berlaku terkait dengan penyusunan Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) yang dilakukan oleh masing-masing negara, di mana negara-negara G20 mendukung upaya untuk mengintegrasikan hasil GST ke dalam NDC.
Konferensi Para Pihak ke-29 yang berlangsung di Baku lalu menghasilkan Baku Climate Unity Pact, di mana NCQG merupakan salah satu kesepakatan yang dicapai selain dari Mitigation Work Programme (MWP) dan . (GGA). Seluruh hasil negosiasi ini, pastinya akan berpengaruh pada masing-masing negara, tidak terkecuali Indonesia. Upaya-upaya penyusunan NDC dan National Adaptation Plan (NAP) yang selaras dengan tujuan Persetujuan Paris, harus dilakukan oleh masing-masing negara guna mencapai tujuan Persetujuan Paris. Kesepakatan terkait dengan komitmen pendanaan sebagai hasil negosiasi di bawah agenda NCQG juga memberikan gambaran terkait bagaimana negara-negara seperti Indonesia dalam mendanai aksi iklim di kemudian hari; apakah hanya mengandalkan dukungan yang tersedia di internasional, atau sudah harus memikirkan strategi untuk memobilisasi pendanaan domestik.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) memandang penting bagi seluruh pemangku kepentingan, untuk memahami dampak dari hasil kesepakatan iklim di tingkat global terhadap Indonesia, serta bagaimana seluruh pihak dapat bersama-sama menjalankan perannya untuk mencapai pembangunan yang rendah emisi GRK dan berketahanan iklim di Indonesia. Itu sebabnya, IRID kemudian melaksanakan sebuah diskusi mengenai hasil kesepakatan iklim di tataran global serta dampaknya bagi Indonesia.
Share:

