Konferensi para Pihak ke-29 (29th Conference of the Parties/COP29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, pada November 2024 lalu, menghasilkan Baku Climate Unity Pact yang merupakan hasil keputusan utama dari negosiasi pada pertemuan tersebut. Baku Climate Unity Pact mencakup beberapa kesepakatan, seperti New Collective Quantified Goal (NCQG), Mitigation Work Programme (MWP), dan . (GGA). Di saat yang bersamaan, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 juga berlangsung di Brazil, yang menghasilkan dokumen Leaders’ Declaration. Dokumen ini memuat posisi G20 terhadap isu perubahan iklim, termasuk yang terkait dengan proses dalam UNFCCC termasuk mobilisasi pendanaan iklim.
Berbagai isu yang disepakati dalam forum internasional tersebut tentu memberikan dampak bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya, termasuk Indonesia. Itu sebabnya, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus pada 19 Desember 2024, dengan tema ‘Arah Diplomasi Iklim Global serta Dampaknya bagi Indonesia’.
Kondisi Iklim Global dan Indonesia di Tahun 2024
Pada COP29, World Meteorological Organization (WMO) merilis laporan sementara berjudul State of Climate 2024. Laporan ini mengungkapkan bahwa suhu rata-rata permukaan udara di tingkat global pada periode Januari-September 2024 meningkat sampai sekitar 1,54oC, dibandingkan masa pra-revolusi industri[1]. Peningkatan suhu tersebut menjadikan tahun 2024 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat, melampaui rekor di tahun 2023. Ini merupakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Terlepas berbagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di bawah rezim iklim internasional[2], seperti Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), Protokol Kyoto, dan Persetujuan Paris, konsentrasi GRK di atmosfer nyatanya terus meningkat secara signifikan. Pada kenyataannya, perubahan iklim serta dampaknya dipengaruhi oleh konsentrasi GRK, dan bukan semata-mata komitmen pengurangan emisi GRK yang dibuat oleh masing-masing Pihak.
Dunia saat ini sedang menghadapi transisi iklim, dimana perilaku iklim dan ekosistem telah berubah secara perlahan, ke arah yang belum pernah dikenali sebelumnya. Misalnya, observasi hutan di belahan bumi bagian utara saatmusim panas menunjukkan lebih banyak CO2 yang dilepaskan daripada yang diserap dan ini menunjukkan bahwa terdapat batas maksimum bagi hutan dalam berfungsi sebagai penyerap karbon. Itu sebabnya, diperlukan aksi iklim global yang lebih ambisius, sehingga dapat mengurangi kerentanan bumi terhadap dampak perubahan iklim.
Peningkatan konsentrasi GRK di Indonesia terjadi dengan rasio 2 ppm/tahun (BMKG, 2024)[3]. Berkurangnya gletser Jayawijaya merupakan salah satu indikator terjadinya dampak perubahan iklim di dunia, termasuk di Indonesia. Kekeringan pun menjadi salah satu ancaman yang sangat dekat bagi Indonesia. Untuk mengantisipasi ancaman kekeringan berkepanjangan di berbagai wilayah Indonesia, salah satu langkah adaptasi iklim yang dapat dilakukan adalah memanen air selama musim hujan.
Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Sektor Energi
Merujuk pada dokumen Enhanced Nationally Determined Contibution (ENDC), Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 358 MtCO2eq pada tahun 2030 di sektor energi, dengan upaya sendiri. Pada tahun 2024, realisasi penurunan emisi GRK di sektor energi mencapai 147,61 MtCO2eq, yang sebagian besar dicapai melalui pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) (74,73 MtCO2eq) serta implementasi dari efisiensi energi (30,25 MtCO2eq). Menanggapi hasil Global Stocktake pertama dari sesi COP28 lalu, sektor energi Indonesia juga berkontribusi pada pencapaian target iklim global terutama dalam konteks meningkatkan kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali dan menggandakan tingkat efisiensi energi global pada tahun 2030[4].
Saat diskusi berlangsung (Desember 2024), bauran EBT di Indonesia dilaporkan baru mencapai 13,9%, atau masih di bawah target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yaitu sebesar 19,5%. Tercatat pada November 2024, sektor ketenagalistrikan Indonesia hanya mampu memanfaatkan 14.110 MW listrik berbasis EBT atau hanya 0,3% dari total estimasi potensi yang ada (KESDM, 2024). Jaringan transmisi dan distribusi yang andal dan terintegrasi adalah infrastruktur kunci yang diperlukan untuk meningkatkan penetrasi EBT dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia.
Di sisi lain, realisasi efisiensi energi pada tahun 2024 tercatat sebesar 1,91% dari total konsumsi energi. Indonesia menghadapi tantangan berupa peningkatan konsumsi energi final karena pertumbuhan industri hilir padat energi. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi, diharapkan dapat meningkatkan kegiatan efisiensi energi, baik dari sisi penyedia energi maupun pengguna energi, khususnya oleh sektor industri.
Aksi iklim di sektor energi Indonesia saat ini masih fokus pada aspek mitigasi. Sementara dari sisi adaptasi, yaitu bagaimana sektor energi dapat beradaptasi dengan transisi iklim, masih kurang mendapat perhatian. Dari aspek produksi energi misalnya, peningkatan suhu bumi dan kemarau berkepanjangan dapat menghambat pemanfaatan energi terbarukan, utamanya hidro. Dalam hal ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyediakan berbagai informasi dan analisis iklim yang seharusnya dapat menjadi basis pengetahuan untuk mengoptimalkan aksi iklim di sektor energi.
Interaksi COP29 dan G20 serta Implikasinya bagi Indonesia
Leaders’ Declaration sebagai hasil KTT G20 pada tahun 2024 tidak hanya berisi aspirasi G20 terhadap status ekonomi global, tetapi juga posisi G20 dalam aksi iklim global. G20 mengakui urgensi untuk meningkatkan aksi mitigasi, kemampuan adaptasi, dan mobilisasi pendanaan serta investasi iklim, utamanya untuk negara berkembang. G20 juga mengafirmasi hasil keputusan UAE Consensus, termasuk menanggapi dengan baik hasil kesepakatan Global Stocktake pertama pada tahun 2023 yang lalu.
Dalam hal ini, Indonesia harus terus mendorong aksi iklim global yang berkeadilan, terutama yang terkait dengan pemahaman bahwa negara berkembang seperti Indonesia, masih memiliki tantangan seperti isu kemiskinan dan ketahanan energi, selain dari mencapai target iklim. Komitmen negara maju dalam menyediakan dukungan berupa pendanaan iklim yang tidak menambah beban hutang negara berkembang, sangat diperlukan untuk memungkinkan negara-negara berkembang berkontribusi pada pencapaian target iklim global sebagaimana yang disepakati melalui Persetujuan Paris.
[1] Kenaikan suhu rata-rata global diperkirakan mencapai 1,54oC dengan margin of error ±0.13°C di atas tingkat pra-revolusi industri, yang berarti kenaikan suhu aktual dapat berada di antara 1,41°C dan 1,67°C.
[2] Satu set peraturan, prinsip, prosedur yang mengatur interaksi antar aktor internasional dalam isu perubahan iklim.
[3] Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Stasius Pemantau Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch/GAW) Bukit Kototabang.
[4] Decision 1/CMA.5 Outcomes of the first global stocktake, paragraf 28(a). Dapat diakses melalui: https://unfccc.int/sites/default/files/resource/1_CMA.5.pdf
Bagikan :