Hasil The outcomes of the first Global Stocktake (GST) – concluded at COP28 in Dubai – show that progresses have been made towards achieving the goals of the Paris Agreement. The projected global temperature increases – with the NDCs – is between 2.1°C and 2.8°C, from the expected 4oC in the absence of the climate actions. However, it is still insufficient to achieve the 1,5oC goals. The significant gap emphasizes the urgent need to do more ambitious climate actions, both in adaptation and mitigation. The GST then underscores the need for Parties to enhance their climate actions and stresses the importance of ensuring the just and sustainable transition on mitigation, to be reflected in Parties’ upcoming NDCs.
The GST outcomes, as mandated by the Paris Agreement, shall inform Parties in updating and enhancing their climate actions indicated in the NDCs. This means that in updating its NDC, Indonesia is expected to ensure that its Second NDC (SNDC) accommodates the results of the first GST, particularly in the energy sector. With that context, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) held a discussion on "Aligning Indonesia’s Climate Actions in the Energy Sector with the Paris Agreement" to gather more information and understanding from various stakeholders regarding the issue. The discussion was held on July 4th 2024 in Jakarta.
(GST) pertama menegaskan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim saat ini masih jauh dari cukup untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global tidak melampaui 1,5°C. Langkah yang lebih ambisius perlu dilakukan, termasuk dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan dan tingkat efisiensi energi global, serta percepatan transisi dari bahan bakar fosil menuju energi bersih secara berkeadilan. Komitmen ini selaras dengan Asta Cita, yang menekankan kemandirian bangsa melalui swasembada energi. Namun, kebutuhan pendanaan menjadi tantangan utama. Bahkan inisiatif seperti _ (JETP) untuk mendukung transisi energi berkeadilan di negara berkembang, termasuk Indonesia, belum dapat menutup kebutuhan pendanaan yang diperlukan Indonesia untuk melakukan transisi energi. Dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP memperkirakan kebutuhan transisi energi Indonesia mencapai USD 97,3 miliar hingga 2030 (CIPP JETP Indonesia, 2023), sementara jumlah pendanaan yang dikomitmenkan melalui JETP hanya USD 20 miliar. Kebutuhan tersebut pun belum termasuk pembiayaan yang diperlukan untuk mengatasi dampak sosial ekonomi akibat transisi energi yang akan dilakukan.
Dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang dikeluarkan oleh PLN juga cukup ambisius, dengan adanya rencana untuk menambah kapasitas energi terbarukan sebesar 42,6 MW hingga tahun 2034. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan investasi sebesar Rp 1.682,4 triliun (USD 105,2 miliar). Sementara itu, laporan analisis dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyatakan bahwa investasi di sektor energi terbarukan di Indonesia hanya mencapai USD 1,5 miliar pada 2023 . Kebutuhan transisi ini memberikan gambaran bahwa diperlukan pendanaan yang cukup, yang dapat dimobilisasi oleh pelaku sektor keuangan. Selain itu juga, ekosistem pemungkin juga menjadi elemen yang sangat penting.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) berupaya untuk mengidentifikasi upaya yang dapat dilakukan Indonesia untuk menutup kebutuhan pendanaan transisi energi, melalui diskusi multi-pihak bertema “Mendanai Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia” pada 28 Agustus 2025 yang lalu.

Arah Agenda Transisi Energi Pemerintah Indonesia
Ketahanan energi merupakan tantangan signifikan bagi Indonesia, di tengah upaya meningkatnya permintaan energi dan dinamika geopolitik global yang dapat mengganggu rantai pasok minyak dan gas. Itu sebabnya, dalam berbagai kesempatan Presiden Prabowo mendorong tercapainya kedaulatan energi di Indonesia, yang akan dicapai melalui upaya transisi energi ke energi terbarukan sebagai salah satu strategi. Upaya transisi energi diantaranya akan dilakukan melalui pengembangan teknologi energi terbarukan, seperti baterai dan panel surya, dimana peran strategis mineral kritis menjadi penting. Namun, walau pun Indonesia memiliki 22 jenis sumber daya mineral kritis, kapasitas Indonesia untuk mengelola sumber daya tersebut masih sangat terbatas. Agenda hilirisasi pun muncul sebagai salah satu agenda prioritas Indonesia, dengan harapan dapat meningkatkan aliran investasi, penguatan industri domestik, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Indonesia menghadapi banyak tantangan dan hambatan dalam mewujudkan transisi energi berkeadilan. Keandalan jaringan transmisi disoroti sebagai tantangan besar dalam upaya penetrasi energi terbarukan dalam jaringan listrik nasional, utamanya untuk energi terbarukan yang bersifat intermittent, seperti solar dan angin. Tantangan ekonomi dan sosial pun tidak kalah signifikan. Risiko meningkatnya pengangguran pada sektor-sektor yang menopang sistem bahan bakar fosil ketika bertransisi ke energi terbarukan, perlu untuk diantisipasi. Misalnya, dengan menyusun strategi pengembangan kapasitas dan perlindungan sosial yang dapat diimplementasikan, beserta identifikasi potensi sumber pendanaannya. Pembelajaran dari India menunjukkan bahwa lapangan kerja yang muncul akibat transisi energi tidak selalu setara dengan potensi kehilangan lapangan kerja di sektor terdampak.
Peluang Pendanaan untuk Transisi Energi di Indonesia
Kesenjangan dalam pendanaan transisi energi berkeadilan di Indonesia, menuntut mobilisasi investasi skala besar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, serta melalui pendanaan inovatif. Kementerian Keuangan Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan pendanaan inovatif, seperti sukuk hijau[1], sustainable development goals (SDGs) bonds, and blue bonds[2]. Instrumen pendanaan ini dapat digunakan untuk membiayai program-program yang selaras dengan upaya transisi energi.
Pembentukan Komite Keuangan Berkelanjutan (KKB) juga memberikan sinyal bagi Pemerintah untuk mempercepat pengembangan keuangan berkelanjutan (sustainable finance) di Indonesia. Tidak hanya itu, Kementerian Keuangan, bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga secara aktif mendorong industri perbankan nasional untuk bertransformasi ke arah green banking. Guna meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas instrumen keuangan, Kementerian Keuangan mengedepankan kebijakan digitalisasi, salah satunya dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) secara elektronik sejak tahun 2018. Dengan jumlah investor ritel SBN mencapai 1,27 juta investor (per Mei 2025), SBN memiliki potensi untuk mendukung pembiayaan transisi energi di Indonesia.

Lebih lanjut, Indonesia juga harus dapat memanfaatkan peluang kerja sama internasional, misalnya melalui Belt and Road Initiative (BRI), untuk mendorong investasi transisi energi di tingkat domestik. Inisiatif yang dipelopori oleh Tiongkok ini sejalan dengan upaya mewujudkan transisi energi berkeadilan melalui produksi baterai dengan biaya yang lebih rendah. Upaya ini tidak hanya dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat kolaborasi internasional, namun juga dapat mendukung upaya transisi energi di Indonesia.
Peran Ekonomi Nasional dan Sektor Keuangan dalam Pembiayaan Transisi Energi Berkeadilan
Transisi energi berkeadilan di Indonesia menghadapi tantangan pendanaan dikarenakan kebutuhan biaya yang sangat besar, dan ketersediaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbatas tidak dapat menopang seluruh kebutuhan pendanaan transisi energi berkeadilan. Itu sebabnya, kekuatan ekonomi nasional dan kapasitas sektor keuangan memainkan peran penting dalam pembiayaan transisi energi berkeadilan.
Kondisi ekonomi secara langsung memengaruhi ruang fiskal sekaligus kemampuan sektor keuangan dalam menyerap dan menyalurkan pembiayaan. Jika perekonomian negara melemah, kemampuan masyarakat untuk menabung dan berinvestasi juga akan ikut menurun. Padahal, pasokan keuangan domestik, yaitu dana atau modal yang berasal dari masyarakat Indonesia – dalam bentuk tabungan, misalnya – merupakan salah satu sumber dana yang penting bagi sektor keuangan untuk membiayai upaya transisi energi berkeadilan.
Saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia masih berinvestasi dalam bentuk deposito atau simpanan yang relatif pasif, dan belum dialihkan ke instrumen pendanaan inovatif guna mendukung pembiayaan berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan literasi keuangan masyarakat menjadi hal yang sangat penting, selain memperkuat kebijakan Pemerintah untuk mencapai ketahanan ekonomi nasional.
[1] Salah satu instrumen pembiayaan tematik yang diterbitkan Pemerintah Indonesia yang berfokus pada pembiayaan proyek-proyek hijau dan berkelanjutan.
[2] Instrumen keuangan yang digunakan untuk mendanai proyek-proyek kelautan yang sehat dan mendukung prinsip-prinsip ekonomi biru.
Share:

