Transisi berkeadilan (just transition) telah banyak dibahas dalam diskusi transisi energi – transisi energi berkeadilan. Padahal, transisi berkeadilan tidak hanya terbatas untuk sektor energi, melainkan perlu ditanamkan dalam konteks aksi iklim secara menyeluruh. Pada sesi Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement ke-4 (CMA4) lalu, bersamaan dengan _ ke-27 (COP27) di Sharm el-Sheikh pada tahun 2022, pembentukan Just Transition Work Programme (JTWP) telah disepakati oleh para Pihak. Tujuan pembentukan JTWP adalah mendiskusikan pathways untuk menekan kenaikan suhu rata-rata global agar tidak lebih dari 1,5oC dan meningkatkan ketahanan iklim, melalui upaya-upaya yang adil dan merata (just and equitable).
Pathways yang dimaksud tidak terbatas pada sektor energi dan ketenagakerjaan saja, tetapi juga mencakup beragam dimensi lainnya, seperti sosial ekonomi dan perlindungan sosial. Pathways ini harus disesuaikan dengan kondisi setiap negara dengan mempertimbangkan prioritas pembangunan nasionalnya[1].

Bagaimana Cara JTWP Bekerja dan Apa Saja Modalitasnya?
Objektif dan operasionalisasi JTWP, serta elemen-elemen apa saja yang termasuk di dalamnya baru disepakati di tahun 2023, saat sesi CMA5 berlangsung di Dubai. Para Pihak mengonfirmasi bahwa objektif dari JTWP adalah mendiskusikan pathways untuk mencapai tujuan Persetujuan Paris yang tertulis pada Pasal 2 paragraf 1, dalam konteks Pasal 2, paragraf 2. Para Pihak juga memutuskan elemen-elemen di dalam JTWP, mulai dari pembangunan berkelanjutan, adaptasi, hingga kerja sama internasional sebagai elemen-elemen pendukung pathways transisi berkeadilan [2].
Para Pihak memutuskan bahwa implementasi JTWP dimulai setelah sesi CMA5 (November 2023). Kemudian, pada sesi CMA8 (November 2026), para Pihak akan meninjau efektivitas dan efisiensi JTWP dan mempertimbangkan apakah work programme tersebut layak dilanjutkan[3].
JTWP diimplementasikan di bawah arahan Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) melalui joint contact group. Modalitas utama dari work programme ini adalah dialog yang diselenggarakan dua kali setahun secara hybrid: satu sebelum sesi rutin Subsidiary Bodies (SBs) pertama (Juni) dan satu sebelum sesi rutin SB kedua (November)[4]. Setiap dialog membahas topik yang berbeda dan menjadi ruang bagi para Pihak untuk bertukar pandangan, pengalaman, dan praktik terbaik terkait transisi berkeadilan. Di samping dua dialog tersebut, ada pula annual high-level ministerial roundtable on just transition yang diselenggarakan di bawah CMA, bersamaan dengan sesi COP (November)[5].
Dinamika Negosiasi JTWP menuju COP29
Sebelum sesi CMA6, yang bersamaan dengan COP29, telah diselenggarakan dua dialog pada bulan Juni dan Oktober tahun 2024, dengan masing-masing dialog bertemakan ‘Pathways transisi berkeadilan untuk mencapai tujuan Persetujuan Paris melalui NDCs, NAPS, dan LT-LEDs’ and ‘Memastikan dukungan terhadap pathways yang adil, yang berpusat pada manusia (people-centered) dan berkeadilan dengan berfokus pada pendekatan menyeluruh yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan tenaga kerja’.

Melalui kedua dialog tersebut, blok Negara Maju dan Negara Berkembang menunjukkan perbedaan pandangan yang begitu mendasar terkait cakupan kerja JTWP. Kelompok Negara Maju, termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat, menekankan pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan dalam transisi berkeadilan. Sementara itu, blok Negara Berkembang, yang diwakilkan salah satunya oleh G77+China, menyuarakan konteks keadilan sosial dan lingkungan yang lebih luas. Selain itu, blok ini mendorong tindak lanjut JTWP berupa penyusunan rencana kerja, sehingga JTWP tidak hanya menjadi ajang wacana belaka.
Isu sensitif lainnya adalah penyertaan dimensi internasional dalam transisi berkeadilan yang diajukan oleh blok Negara Berkembang. Salah satunya dengan menyoroti ketidakadilan dalam praktik perdagangan internasional, seperti pemberlakukan unilateral trade measures and Cross Border Adjustment Mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa, yang dianggap menghambat upaya pencapaian transisi berkeadilan di negara berkembang. Namun, Negara Maju berpendapat, bahwa JTWP bukan forum yang tepat untuk mendiskusikan isu tersebut. Negara Maju lebih memprioritaskan diskusi JTWP berada dalam lingkup mencapai transisi berkeadilan di tingkat nasional melalui Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC), National Adaptation Plan (NAP), serta Long-Term Low Emission Development Strategy (LT-LEDS).
Hasil Negosiasi JTWP pada COP29
Fokus pembahasan JTWP kala itu adalah mengembangkan work programme lebih lanjut dan membahas pathways transisi berkeadilan yang dapat diimplementasikan. Walau kebutuhan akan sinyal politik internasional untuk mendorong transisi berkeadilan semakin mendesak, hingga akhir sesi COP29 di Baku, Azerbaijan, para Pihak tidak dapat mencapai kesepakatan terkait agenda JTWP.
Dilaporkan bahwa proses negosiasi JTWP berjalan begitu lambat dan banyak dilakukan melalui pendekatan bilateral serta informal, yang menyebabkan ruang untuk menemukan titik temu di antara para Pihak menjadi terbatas. Ketidaksepakatan para Pihak utamanya terletak pada cakupan dan implementasi JTWP itu sendiri. Negara Berkembang lebih mendorong agenda yang lebih sistemis dan struktural, seperti ketidaksetaraan dalam perdagangan dan pendanaan iklim internasional. Di sisi lain, Negara Maju cenderung berfokus pada elemen teknis dan spesifik dari JTWP, seperti ketenagakerjaan dan keterlibatan sektor swasta.

Hal lain yang menjadi perdebatan adalah penyertaan keterkaitan hasil Global Stocktake (GST) pertama dengan JTWP ke dalam decision text JTWP, yang didorong oleh United Kingdom (UK). Akan tetapi, masukan tersebut ditolak oleh Uni Emirat Arab (mewakili Arab Group), dengan argumen bahwa JTWP bersifat non-preskriptif – tidak memberikan instruksi atau aturan yang spesifik dan wajib – sehingga menyertakan keterkaitan dengan GST akan berimplikasi sebaliknya.
Dengan demikian, sampai berakhirnya COP29, para Pihak tidak dapat mencapai kesepakatan terkait JTWP dan diskusi terkait JTWP pun akan dilanjutkan pada sesi SBs62 di bulan Juni 2025 mendatang.
Apa yang Dapat Diantisipasi pada COP30?
Pada COP30, yang dijadwalkan di Belém, Brazil, 10-21 November 2025 mendatang, JTWP menjadi salah satu agenda krusial, sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden COP30 dalam surat pertamanya. Kesepakatan dan tindak lanjut yang konkret dari JTWP diharapkan dapat dicapai saat COP30, dengan harapan dapat menentukan arah yang lebih jelas terkait pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut transisi berkeadilan di bawah UNFCCC.
Diskusi mengenai pathways merupakan salah satu tantangan utama untuk menyepakati agenda JTWP. Mengingat keragaman realitas dan prioritas nasional, mendefinisikan dan menetapkan serangkaian pathways transisi berkeadilan yang dapat diadopsi secara universal dalam konteks mencapai tujuan Persetujuan Paris, menjadi hal yang tidak mudah bagi para Pihak. Belum lagi, cakupan elemen JTWP yang telah disepakati sebelumnya sangat luas, sehingga diskusinya tampak menjadi tidak terarah. Tantangan-tantangan tersebut setidaknya yang harus diselesaikan pada COP30, sebelum work programme akan di-review pada sesi CMA8 (November 2026).
[1] Decision 1/CMA.4, paragraf 50-52
[2] Decision 3/CMA.5, paragraf 1-2
[3] Decision 3/CMA.5, paragraf 3
[4] Decision 3/CMA.5, paragraf 4-5
[5] Decision 1/CMA.4, paragraf 53
Share: