Menyelaraskan Aksi Iklim Sektor Energi di Indonesia dengan Persetujuan Paris

Penulis: Maria Adianti Putri, Staf Komunikasi

Keputusan Global Stocktake (GST) menyatakan bahwa upaya kolektif para Pihak untuk mencapai tujuan Persetujuan Paris dinilai masih belum cukup. Oleh karena itu, para Pihak perlu meningkatkan aksi mitigasinya diantaranya melalui: peningkatan kapasitas energi terbarukan global sebesar tiga kali dan melipatgandakan rata-rata tingkat efisiensi energi global pada tahun 2030; bertransisi dari bahan bakar fosil pada sistem energi secara adil, bertahap, dan setara; serta melakukan . terhadap subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, dan tidak mengatasi kemiskinan energi atau transisi berkeadilan. Sesuai pasal 14 Persetujuan Paris, hasil GST diharapkan dapat menjadi acuan bagi para Pihak untuk memperbarui Nationally Determined Contribution-nya (NDC) masing-masing, termasuk Indonesia dalam menyusun Second NDC (SNDC). 

Melihat pentingnya peran Indonesia untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan Persetujuan Paris melalui SNDC tersebut, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) mengadakan diskusi terbatas yang berjudul “Memastikan Upaya-upaya Mitigasi di Sektor Energi Indonesia Selaras dengan Persetujuan Paris” pada Kamis, 4 Juli 2024. Diskusi tersebut ditujukan untuk melihat sejauh mana hasil GST pertama – khususnya terkait elemen mitigasi pada sektor energi – dapat diakomodasi pada perencanaan sektor energi Indonesia, sebagai basis dari penyusunan SNDC Indonesia untuk sektor energi. 

Analisis Iklim Indonesia dan Dampaknya pada Sektor Energi

Saat ini, Indonesia perlu mengantisipasi kenaikan temperatur secara gradual yang terjadi terus-menerus disertai dengan peningkatan kelembaban udara. Pada saat yang sama, proyeksi respon ekosistem terhadap dampak iklim ini bersifat unprecedented dan belum dapat diprediksi, sehingga diperlukan model yang robust dan teknologi yang akurat untuk memproyeksikan skenario perubahan iklim yang akan terjadi. 

Pengembangan sektor energi berkaitan erat dengan parameter iklim, baik dari segi produksi, distribusi, dan konsumsi (BMKG, 2024). Pada aktivitas produksi, perubahan iklim dapat memengaruhi produksi listrik dari energi terbarukan, seperti terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan dapat menghambat pemanfaatan energi hidro. Contoh lainnya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mrica di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang mengalami penurunan produksi listrik ketika muka air waduk menyusut akibat berkurangnya curah hujan saat El Nino tahun 2023. 

Kemudian, dampak pada aktivitas distribusi dapat terlihat dari terjadinya kebakaran hutan pada musim kemarau dan sambaran petir pada musim hujan yang menyebabkan gangguan distribusi listrik dengan terputusnya jaringan listrik. Pada aktivitas konsumsi, misalnya pada wilayah urban, wilayah perkotaan memiliki tingkat konsumsi energi dan penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi. Akibatnya, daerah urban umumnya mengalami efek Urban Heat Island (UHI) di mana suhu di wilayah tersebut dapat lebih panas dibanding wilayah sekitarnya. 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga memiliki data-data terkait analisis iklim dan beberapa layanan informasi iklim guna mendukung transisi energi dan mitigasi bencana akibat perubahan iklim. Layanan informasi tersebut mencakup beberapa hal, yaitu: sektor energi terbarukan (surya dan angin), sektor kebencanaan (kebakaran hutan dan lahan, serta kualitas udara), dan wilayah perkotaan termasuk green building. 

Capaian Mitigasi Indonesia dalam Sektor Energi 

Target penurunan emisi GRK di sektor energi Indonesia dalam Enhanced NDC (ENDC) mencapai 358 juta ton CO2eq. Target tersebut dicapai melalui berbagai aktivitas, salah satunya melalui efisiensi energi dengan target penurunan emisi sebesar 132,25 juta ton CO2eq atau setara dengan 37% total penurunan emisi GRK sektor energi (Kementerian ESDM, 2024). 

Mulai dari periode tahun 2017 sampai 2023, realisasi capaian penurunan emisi GRK sektor energi di Indonesia hampir selalu memenuhi target. Pada tahun 2023, realisasi capaian penurunan emisi GRK sebesar 123,2 juta ton CO2eq dari target sebesar 116 juta ton CO2eq. Khususnya pada upaya efisiensi energi, pencapaiannya juga melebihi target sebesar 31,87 juta ton CO2eq dari target sebesar 29,14 juta ton CO2eq (Kementerian ESDM, 2024). 

Dari sisi konsumen, telah dilakukan upaya edukasi kepada masyarakat agar memiliki pengetahuan pengoperasian peralatan rumah tangga yang hemat energi. Misalnya, melakukan sosialisasi untuk mengatur air conditioner (AC) pada suhu 25°C dan pengontrolan otomatis dalam penggunaan lampu melalui teknologi smart home

Tantangan dan Peluang Indonesia dalam Pencapaian Tujuan Persetujuan Paris di Sektor Energi

Meski berbagai upaya mitigasi di sektor energi telah dilakukan, beberapa hambatan masih ditemui dalam mencapai target NDC. Hambatan tersebut di antaranya berasal dari kebijakan Indonesia yang saat ini dinilai tidak cukup untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu global hingga 1,5oC. Permodelan trajektori penurunan emisi Indonesia yang dilakukan oleh Institute of Essential Services Reform (IESR), menunjukkan bahwa jalur pengurangan emisi GRK Indonesia terbilang cukup jauh dari pathway ideal yang dibutuhkan untuk mencapai target 1.5oC. Maka dari itu, Indonesia memerlukan kebijakan yang transformatif guna menekan dominasi sumber energi fosil pada sektor energi.

Hambatan lainnya adalah sumber energi fosil di Indonesia sangat erat dengan ambisi pertumbuhan sektor transportasi dan industri. Sektor transportasi diperkirakan akan terus berkembang seiring meningkatnya pertumbuhan populasi dan tingkat kesejahteraannya. Sayangnya, upaya pengurangan emisi GRK yang dilakukan saat ini baru sebatas peralihan kendaraan internal combustion engine (ICE) ke kendaraan listrik. Padahal perbaikan sistem transportasi publik dan penggunaan bahan bakar efisien, juga sangat diperlukan. 

Sama halnya dengan sektor transportasi, di sektor industri, Pemerintah saat ini sedang mengembangkan perindustrian secara massive, guna meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Namun, hingga saat ini masih belum ada upaya mitigasi spesifik, seperti peta jalan dekarbonisasi dari sektor industri. 

Dengan berbagai tantangan tersebut, penyusunan SNDC Indonesia diharapkan dapat mencerminkan komitmen aksi iklim yang lebih ambisius dan mampu memuat pertimbangan terkait dampak transisi energi terhadap sektor lain, termasuk terhadap kenaikan harga komoditas. Hal ini dianggap penting karena transisi energi di Indonesia juga harus dilakukan secara inklusif. SNDC Indonesia akan merujuk pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) versi terbaru yang merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 terkait Kebijakan Energi Nasional.

Bagikan :