Peran Tiongkok dalam Mendorong Implementasi Aksi Iklim Global

Pada bulan Januari 2025, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mengeluarkan Amerika Serikat (AS) dari Persetujuan Paris – untuk kedua kalinya. Keputusan tersebut kemudian disusul dengan kebijakan lain yang menarik partisipasi AS dari sejumlah inisiatif iklim internasional, di antaranya sebagai Board Member dari Funding for Loss and Damage (FrLD) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Sementara itu, di tingkat domestik, agenda meningkatkan produksi bahan bakar fosil terus didorong oleh Trump, mengabaikan komitmen iklim yang dibuat oleh Presiden sebelumnya, Joe Biden. Keputusan tersebut memberikan indikasi ketidakjelasan aksi iklim global, mengingat AS menempati peringkat kedua emiter GRK terbesar dunia, dan pada saat yang bersamaan mengancam upaya kolektif global untuk mengurangi dan menangani dampak perubahan iklim. 

Posisi Tiongkok dalam Aksi Iklim Global

Tiongkok – peringkat pertama pengemisi GRK terbesar di dunia – dipandang memiliki posisi yang strategis untuk memperkuat perannya dalam mengisi kevakuman kepemimpinan dari implementasi aksi iklim global. Dalam konteks pendanaan iklim misalnya, terlepas dari Tiongkok merupakan negara berkembang, namun Tiongkok memberikan kontribusi pendanaan yang cukup signifikan bagi negara-negara berkembang. Kondisi ini tentu saja membuat khalayak bertanya-tanya, akankah Tiongkok menempatkan diri untuk mengisi kekosongan kepemimpinan dalam upaya meningkatkan implementasi aksi iklim global. Belt and Road Initiative (BRI) contohnya; pendanaan Tiongkok yang dikucurkan melalui inisiatif ini telah mendanai berbagai infrastruktur energi terbarukan bagi negara berkembang di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin. Pada tahun 2024, 52% dari 24 GW pembangkit listrik yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok di berbagai negara mitra BRI telah menggunakan teknologi energi terbarukan, termasuk 8 GW tenaga surya dan 5 GW tenaga hidro.

Pembangunan proyek ketenagalistrikan tahunan di bawah BRI, 2013-2024 (GW) 
Sumber: Wood Mackenzie, 2025 

Kepemimpinan Tiongkok dalam mengembangkan teknologi bersih juga patut dipertimbangkan sebagai faktor yang memungkinkannya untuk mengambil alih posisi kepemimpinan tersebut. Saat ini, Tiongkok telah mendominasi pasar kendaraan listrik (electric vehicle/EV) global, beserta baterai yang memasok daya pada kendaraan-kendaraan tersebut. Menurut International Energy Agency (IEA), pada tahun 2024, lebih dari 75% baterai EV yang dijual secara global diproduksi oleh Tiongkok. Di samping EV, Tiongkok juga menguasai rantai pasok teknologi energi terbarukan, terutama solar panel dan turbin angin. Pencapaian-pencapaian di atas tentu tidak dapat dipisahkan dengan kontrol Tiongkok dalam pengamanan rantai pasok mineral kritis (critical mineral), yang merupakan komponen penting dalam pembuatan teknologi bersih. Tiongkok telah melakukan investasi secara masif untuk pengolahan mineral kritis di berbagai negara, tidak terkecuali dalam konteks hilirisasi nikel di Indonesia.

Semenjak AS menarik dirinya dari forum iklim internasional, pengaruh Tiongkok dalam proses pengambilan keputusan dinilai semakin penting, termasuk melalui upaya kolektif BRICS[1]. Pada United Nations Biodiversity Conference (CBD COP16)[2] yang diselenggarakan di Roma pada bulan Februari 2025 lalu, BRICS berhasil menjembatani perselisihan negosiasi terkait pendanaan untuk keanekaragaman hayati, yang tidak mencapai kesepakatan pada negosiasi di Cali tahun 2024 lalu. Salah satu konsensus yang dicapai adalah kesepakatan untuk memobilisasi USD 200 miliar setiap tahun hingga tahun 2030 untuk mendukung upaya menghentikan dan mengembalikan kehilangan keanekaragaman hayati. Pada bulan Maret 2025, Tiongkok juga menjadi tuan rumah pertemuan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) ke-62 di Hangzhou, yang membahas mengenai Assessment Report ke-7, yang rencananya akan diluncurkan pada tahun 2029 mendatang. Pada saat itu, Pemerintah Tiongkok menyampaikan komitmennya untuk memajukan ilmu pengetahuan iklim dan berkolaborasi dengan negara lain dalam upaya mengembangkan platform peringatan dini di tingkat internasional untuk memitigasi risiko perubahan iklim dan memperkuat ketahanan menghadapi cuaca ekstrem.

Investasi Tiongkok di Indonesia

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara tujuan utama investasi Tiongkok. Sejumlah investasi tersebut pun ditujukan pada pembangunan yang selaras dengan rencana dekarbonisasi yang disusun oleh Pemerintah Indonesia. Di sektor transportasi, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadi salah satu proyek utama di Indonesia, di bawah skema investasi BRI. Sebagai transportasi berbasis listrik, KCJB disebut dapat menekan emisi GRK di wilayah yang dilaluinya. Sementara itu, di sektor energi, investasi Tiongkok didapati pada berbagai proyek pengembangan energi terbarukan. Keterlibatan Tiongkok dalam proyek PLTA Asahan di Sumatra, pengembangan PLTS Terapung Cirata di Jawa Barat, dan kemitraan untuk mengembangkan energi panas bumi, diharapkan dapat mempercepat upaya transisi energi di Indonesia. 

Tiongkok saat ini telah menjadi penyedia pendanaan utama bagi Indonesia dalam merealisasikan agenda hilirisasi nikel, yang digadang-gadang mendukung agenda transisi energi melalui pengembangan EV. Data dari tahun 2023 menunjukkan investasi Tiongkok di Indonesia mencapai USD 30 miliar untuk fasilitas pengolahan nikel dan mineral kritis lainnya. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), salah satu pusat industri nikel di Indonesia, juga merupakan proyek unggulan BRI sejak diresmikan pada tahun 2013.

Peran Tiongkok dalam Aksi Iklim Global di Masa Mendatang

Dalam beberapa tahun ke belakang, Tiongkok telah memainkan peran penting dalam pengembangan teknologi bersih, terutama dalam konteks pengembangan energi terbarukan. Tiongkok pun telah menyampaikan komitmen untuk melakukan transfer teknologi dan keahlian kepada negara-negara berkembang. Akan tetapi, mengisi gap pendanaan iklim adalah peran  lainnya di mana Tiongkok sangat diharapkan. Tidak hanya dalam konteks kerangka pendanaan iklim di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), tetapi juga dalam memobilisasi pendanaan iklim dari berbagai sumber, instrumen dan saluran (channels). Saat ini, Tiongkok telah menyediakan alternatif sumber pendanaan yang dapat diakses oleh negara-negara berkembang, seperti di bawah kemitraan BRI, melalui keanggotaan BRICS, ataupun mekanisme Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS).

Walau demikian, contohnya di Indonesia, meski investasi Tiongkok telah mendukung peningkatan produksi nikel hingga mampu menyuplai lebih dari 50% permintaan nikel global, namun berbagai wilayah di Indonesia, dimana fasilitas-fasilitas tersebut dibangun, menghadapi ancaman kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial yang serius. Itu sebabnya, walaupun Tiongkok mampu untuk meningkatkan investasi secara masif, namun diperlukan penguatan safeguard sosial dan lingkunganyang memadai untuk memitigasi dampak negatif yang mungkin muncul dari investasi proyek-proyek pembangunan tersebut. Hal ini mencakup pengawasan ketat terhadap standar perlindungan terhadap tenaga kerja dan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat lokal.


[1] BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) merupakan kelompok negara yang awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan, dan kemudian diikuti bergabungnya beberapa negara  berkembang lain, seperti Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab

[2] The 16th meeting of the Conference of the Parties to the UN Convention on Biological Diversity

Bagikan :