FOKUS IRID

Dekarbonisasi

Laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit pada Oktober 2018 menyebutkan, masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, negara-negara tropis dan subtropis di belahan bumi selatan, seperti Indonesia, berpotensi menerima dampak pemanasan global yang lebih buruk. 

Di dalam laporan itu, IPCC juga mengungkap, akan ada dampak yang lebih besar jika suhu bumi naik 2°C dibandingkan 1,5°C. Jumlah orang yang menderita karena kekeringan, kelangkaan air, kelaparan, penyakit, dan meninggal dunia karena perubahan suhu ekstrem akan jauh lebih banyak. Peristiwa kebakaran hutan serta kerusakan keanekaragaman hayati dan ekosistem pun akan lebih masif terjadi. Tak hanya itu, jika kita gagal menjaga suhu bumi agar tak melewati batas 1,5°C dalam beberapa dekade ke depan, diperkirakan akan ada relokasi hingga 10 juta orang akibat naiknya permukaan air laut.
 
IPCC menjabarkan bahwa pada tahun 2017 suhu bumi telah mengalami peningkatan hingga 1°C dibandingkan masa praindustri (pada tahun 1750-1850). Angka itu terus mengalami kenaikan sekitar 0,2°C setiap satu dekade. Jika dibiarkan, kenaikan suhu bumi akan melewati batas 1,5°C antara tahun 2030 sampai 2052.
 
Untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi agar tetap di bawah 1,5°C, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menekan produksi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui upaya dekarbonisasi. Secara umum, dekarbonisasi merupakan sebuah proses untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan semua emisi karbon yang dihasilkan manusia. Ada beragam cara yang dapat dilakukan untuk mendukung dekarbonisasi, termasuk beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke bahan bakar yang rendah karbon, terbarukan, dan berkelanjutan. Hal lain yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan bumi menyerap karbon.
 
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) percaya bahwa penerapan dekarbonisasi akan membawa beragam keuntungan, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Itu sebabnya, dekarbonisasi menjadi salah satu area kerja yang kami tekuni.