Salah satu tujuan dari Persetujuan Paris adalah menyelaraskan seluruh aliran pendanaan dengan pembangunan yang rendah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) serta berketahanan iklim, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 paragraf 1c Persetujuan Paris. Hingga saat ini para Negara Pihak belum menyepakati perihal operasionalisasi dari Pasal ini. Walau demikian, terdapat beberapa upaya yang dapat membantu Negara Pihak untuk menyelaraskan aliran pendanaan yang ada dengan pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Germanwatch melakukan sebuah kajian untuk melihat bagaimana aliran pendanaan iklim khususnya di Indonesia, selaras dengan Pasal 2.1c Persetujuan Paris. Sebuah diskusi kelompok terfokus telah dilakukan di Hotel Pullman Thamrin Jakarta, pada hari Rabu tanggal 15 November 2023. Tujuan dari diskusi ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pathway pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim Indonesia, serta aliran pendanaan iklim yang saat ini ada. Mengingat pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim di Indonesia mencakup berbagai sektor, diskusi yang dilakukan hanya terfokus pada sektor ketenagalistrikan.
Kebijakan dan Regulasi terkait Pembangunan Rendah Emisi GRK dan Berketahanan Iklim di Indonesia
Sejalan dengan proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Pemerintah Indonesia telah memasukkan bahasan transisi energi dan peningkatan target dekarbonisasi, yang saat ini masih dalam proses persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Bappenas, 2023). Cakupan bahasan tersebut bukan hanya dari aspek teknis, namun juga aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, yang sejalan dengan pasal 2.1c Persetujuan Paris.
Indonesia juga memiliki beberapa kebijakan dan regulasi terkait sektor energi dan perubahan iklim yang dapat berperan untuk memastikan aliran pendanaan dialokasikan pada pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim. Beberapa kebijakan dan regulasi diantaranya adalah Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), Peraturan Presiden No.112/2021, Peraturan Menteri ESDM No. 16/2022 yang berhubungan dengan implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Peraturan Menteri ESDM No. 36/2018 mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk penyediaan energi berbasis energi terbarukan berskala kecil, Peraturan Presiden No.91/202, Taksonomi Hijau versi pertama, Sustainable Finance yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Peraturan Menteri Keuangan No.113/2023, serta pembentukan Badan Perlindungan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Tantangan Implementasi Transisi Energi Berkeadilan yang Berdampak pada Pendanaan Iklim di Indonesia
Meskipun Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk melakukan transisi di sektor energi, namun, hingga saat ini bauran energi Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil dengan 62% pembangkit listrik di tahun 2022, masih bersumber dari batubara (Climate Action Tracker, 2022). Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2030, karena untuk mencapainya Indonesia harus menurunkan sekitar 7-16% dari penggunaan bahan bakar fosil. Indonesia juga harus menurunkan penggunaan bahan bakar gas hingga 8-10% serta meningkatkan bauran energi terbarukan di Indonesia hingga 55-82% (IESR, 2023). Indonesia juga memiliki target untuk melakukan phase-out bahan bakar fosil, namun target tersebut masih dianggap masih belum cukup.
Pembahasan isu transisi energi tentu tidak terlepas dari isu sosial ekonomi dan keberlanjutan (sustainability). Isu sustainability seharusnya menjadi komponen yang wajib dipenuhi untuk mencapai keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial, sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs).
Mendanai Transisi Energi di Indonesia
Transisi energi merupakan hal yang harus dilakukan oleh setiap negara di dunia, untuk memastikan tercapainya tujuan Persetujuan Paris. Namun, sistem one-size-fits-all tidak bisa diimplementasikan dalam transisi energi berkeadilan, karena setiap negara memiliki karakteristik – seperti kondisi alam dan Sumber Daya Alam (SDA) – yang berbeda-beda. Indonesia perlu memperhatikan penggunaan local wisdom, yang merujuk pada pengetahuan, nilai, dan praktik masyarakat setempat, dalam menggali potensi energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan Indonesia. Dalam upaya melakukan transisi energi, Indonesia seharusnya berfokus pada potensi energi terbarukan yang dimiliki seperti panas bumi, air atau hidro, gelombang laut, serta biomassa, guna mempercepat proses transisi energinya.
Hal yang sama juga berlaku dalam upaya mendanai transisi energi di Indonesia. Pada aspek pendanaan, blended finance dapat menjadi kunci pembuka potensi pendanaan iklim di Indonesia. Blended finance merujuk pada skema dan struktur pendanaan low cost financing dengan menggabungkan commercial loan dari sektor swasta dan concessional loan dari multilateral development bank, seperti Bank Dunia. Potensi lain yang dapat digunakan oleh Indonesia sebagai pendanaan iklim adalah menggunakan grant (dana hibah) yang bersumber dari filantropi. Walau demikian, pemerintah perlu berhati-hati dalam penggunaan debt financing dan equity financing, untuk menghindari potensi terjadinya debt crisis (krisis hutang) dikarenakan bentuk pinjaman dari negara maju umumnya tidak bersifat low cost.
Peningkatan peran swasta dan perbaikan daya beli juga dapat menjawab isu affordability dari listrik yang berbasis energi terbarukan, guna menjaga keterjangkauan harga listrik bagi masyarakat.
Bagikan :