Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No. 16 Tahun 2016. Melalui ratifikasi tersebut, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan Persetujuan Paris, yaitu membatasi kenaikan temperatur rata-rata global agar tidak melebihi 1,5oC. Komitmen tersebut tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) Indonesia. Peran daerah tentunya menjadi sangat penting dalam implementasi upaya pencapaian target NDC Indonesia, khususnya di sektor energi, dikarenakan banyaknya sumber energi terbarukan di daerah. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu daerah dengan potensi sumber energi terbarukan yang besar, yaitu 23.812,5 MW yang bersumber dari panas bumi, air, minihidro dan mikrohidro, bioenergi, surya, angin, serta laut (RUED-P NTT 2019-2050). Artinya, NTT memiliki peluang untuk membantu pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam NDC Indonesia.
Pada tahun 2023, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Yayasan PIKUL telah melakukan kajian awal terkait dengan kesiapan provinsi NTT dalam menghadapi transisi energi untuk memastikan adanya transisi energi yang berkeadilan. Kajian tersebut menyebutkan pentingnya peran daerah dalam melakukan implementasi dari transisi energi berkeadilan. Itu sebabnya, pada tahun 2024, IRID dan Yayasan PIKUL kembali melakukan kajian mengenai peran daerah dalam menyelaraskan aksi iklim daerah dengan Persetujuan Paris, yang dibangun berdasarkan pembelajaran sebelumnya mengenai transisi energi berkeadilan di NTT.
Pada tanggal 26-28 Juli 2024, IRID dan Yayasan PIKUL mengadakan diskusi kelompok terfokus yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan di wilayah NTT, khususnya dengan pemerintah daerah. Diskusi ini bertujuan untuk: memetakan aksi-aksi iklim yang telah dan perlu dilakukan oleh Provinsi NTT, baik yang dapat dikategorikan sebagai aksi mitigasi maupun adaptasi terhadap dampak perubahan iklim; mengidentifikasi tantangan dan peluang yang dihadapi oleh NTT dalam melakukan aksi iklim; serta aspek sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kemampuan daerah untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di NTT.
Upaya-Upaya Pemda NTT dalam Mencapai Target Iklim Indonesia
Sebagai provinsi yang memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, Pemerintah Daerah (Pemda) NTT sudah melakukan upaya dalam mendukung agenda pengembangan energi terbarukan melalui beberapa regulasi dan kebijakan (ESDM NTT, 2024). Terdapat tiga regulasi yang mencakup agenda transisi energi. Pertama, melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTT No. 10 Tahun 2019, atau yang juga dikenal dengan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050 yang sudah berjalan selama lima tahun dan saat ini dalam tahap penyusunan dan diskusi untuk proses revisi target, serta menyesuaikan dengan isu-isu yang sedang berkembang seperti isu gender, equity, disability, and social inclusion (GEDSI). Kedua, Surat Edaran Gubernur NTT Nomor: BU.671/03/ESDM/2022 terkait pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), berisi himbauan kepada instansi pemerintah serta swasta di NTT untuk menggunakan 30% luas atapnya dengan membangun rooftop solar PV yang kini sudah diterapkan di beberapa gereja dan sekolah. Ketiga, Surat Edaran Gubernur NTT Nomor: BU.671/04/ESDM/2022 tentang Pelaksanaan Konservasi Energi di Lingkungan Instansi Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Provinsi NTT.
Selain itu, di tahun 2022, Kelompok Kerja (Pokja) Perubahan Iklim telah dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor: 267/KEP/HK/2022 mengenai perubahan atas lampiran Keputusan Gubernur NTT Nomor: 111/KEP/HK/2022 terkait pembentukan Pokja Perubahan Iklim Provinsi NTT. Pokja Perubahan Iklim NTT dibentuk dengan tujuan untuk menjadi forum koordinasi bersama dalam meminimalisir dampak-dampak yang terjadi akibat perubahan iklim di berbagai sektor di NTT, seperti kelautan dan pesisir, pertanian dan pangan, peternakan, ketahanan energi, kesehatan, serta air. Pokja Perubahan Iklim NTT saat ini melakukan inisiasi pembaruan lingkup kegiatan yang lebih luasmelalui Multi-stakeholders Initiative (MSI), di antaranya mencakup transisi energi berkeadilan GEDSI, serta mendukungpeningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) dan regulasi transisi energi terkait penyediaan energi.
Di samping itu, Provinsi NTT juga telah memasukkan data-data dalam Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon (AKSARA). Data tersebut dapat diakses secara rinci oleh Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) (ESDM NTT, 2024). AKSARA sendiri merupakan aplikasi yang diinisiasi oleh Bappenas dan berfungsi sebagai platform untuk mencatat pelaksanaan rendah karbon (PRK) dan ketahanan iklim (PBI) dengan cara yang transparan, akurat, komprehensif, konsisten, dan terintegrasi. Aplikasi ini mencakup seluruh aksi terkait pelatihan, pendampingan, dan pelaporan aksi-aksi mitigasi yang dilakukan oleh perangkat daerah terkait, seperti sektor kehutanan, cipta karya, pertanian, perhubungan, dan energi.
Tantangan bagi Sektor Energi di NTT dalam Aksi Iklim
Kendati Provinsi NTT telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung aksi iklim Indonesia, namun kenyataannya NTT menghadapi sejumlah tantangan terkait pendanaan dalam pelaksanaannya. Meskipun Pemerintah telah mengalokasikan dana melalui berbagai skema pendanaan, seperti Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), namun akses terhadap pendanaan tersebut masih terhambat karena terbatasnya kewenanganPemda dalam pengelolaan dana yang diberikan oleh Pemerintah Pusat.
Selain itu, potensi sumber energi terbarukan di NTT tersebar di berbagai lokasi dengan kapasitas kecil, sehinggadalam hal perluasan dan pengembangannya membutuhkan biaya investasi serta modal yang sangat besar. Hal ini berakibat pada harga jual listrik dari sumber EBT juga menjadi lebih mahal. Return of investment (RoI) yang rendah membuat skala proyek EBT menjadi kurang menarik, sehingga menyebabkan minimnya minat para lembaga keuangan lokal dan investor dalam pengembangan proyek EBT. Keterbatasan pada pendanaan tersebut berakibat pada belum optimalnya peran daerah guna mendukung transisi energi.
Bagikan :