Peluang Indonesia dalam Memanfaatkan Fund for Responding to Loss and Damage (FRLD)

Semenjak tahun 2022 pasca Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP UNFCCC), sebuah pendanaan multilateral baru telah lahir setelah melewati lebih dari 25 tahun negosiasi. Pendanaan ini diutamakan untuk mendanai fenomena kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim yang tidak dapat ditangani, yang disebut dengan Fund for Responding to Loss and Damage (FRLD). Selama 2 tahun pasca disepakati, FRLD mengalami kemajuan yang signifikan, memberikan sinyal positif bagi negara-negara berkembang tentang keberadaan pendanaan khusus ini.

Pada tahun 2023 di COP28 Dubai, Governing Instrument dari FRLD disepakati pada hari pertama dibukanya COP. Sebuah rekor yang semakin menumbuhkan optimistis dari berbagai kalangan terkait, dengan pendanaan ini. Pada tahun 2024 dengan terpilihnya Direktur Eksekutif FRLD, Ibrahima Cheikh Diong, menunjukkan bahwa proses untuk operasionalisasi pendanaan ini berjalan sesuai dengan timeline yang disepakati. Kesepakatan untuk menetapkan Filipina sebagai negara tuan rumah dari Board FRLD pun disambut baik dan seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia, negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

Agenda Pembahasan FRLD di tahun 2025

Fokus pembahasan FRLD di tahun 2025, sesuai dengan rencana kerja yang disetujui pada pertemuan Board ke-4 di tahun 2024, adalah membagi fase kerja di tahun 2025 menjadi set-up phase and scale-up phase. Fungsi dari set-up phase adalah untuk mempersiapkan operasional FRLD, sedangkan pada scale-up phase akan berfokus pada pengembangan FRLD pasca berlangsungnya set-up phase.

Beberapa aktivitas kunci yang akan dilakukan pada set-up phase di tahun 2025 salah satunya adalah membangun Sekretariat FRLD yang merupakan lembaga baru, independen, dan didedikasikan pada isu loss and damage. Merekrut tim yang anggotanya beragam dan berasal dari multi-disiplin juga merupakan salah satu fokus utama di fase ini. Hal lainnya yang juga penting untuk dilakukan pada fase ini adalah mempersiapkan kerangka operasional FRLD, termasuk di dalamnya modalitas akses (access modalities) guna memastikan penyaluran dana yang efektif. Fase ini juga akan berupaya untuk memastikan konversi dari pledges yang dibuat oleh negara-negara Pihak menjadi kontribusi nyata.

Status Pembahasan FRLD pada Board Meeting Kelima

Pertemuan para Board FRLD yang kelima berlangsung pada tanggal 8-10 April 2025, bertempat di Bridgetown, Barbados.

Pada pertemuan tersebut, Sekretariat FRLD memberikan informasi terkait dengan rekrutmen staf Sekretariat sebagai bagian dari set-up phase, yang dimulai dengan Deputy Executive Director yang efektif bergabung dengan FRLD pada awal Mei 2025 yang lalu. Selain itu, FRLD juga membahas perihal ketersediaan dana yang ada saat ini yang baru mencapai USD 200-250 juta, dibandingkan dengan pledges yang dibuat dan tercatat di UNFCCC, yaitu lebih dari USD 700 juta. Hal ini membuat strategi penggalangan dana menjadi sangat penting, yang diharapkan dapat difinalkan pada pertemuan Board FRLD ke-6 (B6) atau selambat-lambatnya tidak lebih dari B7.

Hal lain yang juga menjadi pembahasan pada pertemuan Board kelima adalah yang terkait dengan Barbados work programme (BWP). BWP pada awalnya mengusulkan untuk mengalokasikan dana sekitar USD 300 juta, untuk membuat model pendanaan di bawah FRLD. Namun, pada saat yang bersamaan, pilot project ini juga membuka peluang bagi pengembang proyek untuk mengajukan proposal melalui mekanisme pendanaan yang ada, seperti Green Climate Fund (GCF) dan Adaptation Fund (AF). Ide pilot project ini kemudian disepakati, dengan rentang nilai proyek antara USD 5-20 juta/proyek dengan total alokasi pendanaan sebesar USD 250 juta, untuk mendanai seluruh proyek di tahun 2025 dan 2026. Kesepakatan ini kemudian ditetapkan sebagai Barbedos Implementation Modalities (BIM).

Peluang Indonesia untuk Mengakses FRLD

Munculnya pundi pendanaan baru di tingkat multilateral pada dasarnya memberikan pilihan baru kepada negara-negara penerimanya, termasuk Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang juga rentan pada dampak perubahan iklim, tanpa dukungan yang memadai untuk beradaptasi, Indonesia pastinya berpotensi untuk mengalami kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim yang tidak tertangani. Itu sebabnya, berdirinya FRLD pastinya akan memberikan keuntungan bagi Indonesia.

Walau demikian, Indonesia perlu menarik pembelajaran dari akses yang dimiliki terhadap dana multilateral dibawah UNFCCC seperti dari Adaptation Fund (AF) maupun Green Climate Fund (GCF). Pada kedua pendanaan multilateral tersebut, Indonesia telah memiliki direct accredited entity (DAE) yang memungkinkan untuk Indonesia mengakses langsung dana yang ada di pundi-pundi AF dan GCF. Namun, hingga saat ini, Indonesia belum dapat memaksimalkan aksesnya terutama akses pada GCF.

Mengakses dana multilateral tentunya memerlukan kapasitas yang sangat besar, terutama dari sisi kemampuan untuk menyusun proposal, termasuk kemampuan untuk memenuhi standar-standar akses pendanaan yang dimiliki semua institusi pendanaan. Portfolio terkait besaran dana yang dikelola oleh sebuah institusi pendanaan multilateral, menjadi kunci utama yang menentukan kapasitas mereka. Sayangnya, tidak banyak lembaga di Indonesia yang memiliki kapasitas tersebut. Itu sebabnya, hingga saat ini, Indonesia belum dapat memanfaatkan akses yang dimiliki pada pendanaan iklim multilateral sebagaimana mestinya.

Menyusun proposal yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan juga menjadi salah satu isu utama yang harus diselesaikan oleh Indonesia. Dalam konteks GCF, bagaimana memformulasikan climate rasionale, utamanya untuk aksi-aksi adaptasi iklim, seringkali menjadi ganjalan bagi Indonesia yang harus dapat diatasi dengan baik.

Hal lain yang juga teridentifikasi adalah belum adanya panduan khusus terkait dengan aksi iklim di Indonesia beserta besarnya dana yang diperlukan untuk mengimplementasikan aksi iklim tersebut. Kebutuhan ini yang seharusnya dapat terlihat di dalam dokumen-dokumen kebijakan dan regulasi Indonesia yang terkait dengan perubahan iklim, misalnya seperti Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) Indonesia, National Adaptation Plan (NAP), bahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia.

Itu sebabnya, Indonesia harus dapat mempersiapkan dirinya, dengan memanfaatkan pembelajaran dari masa-masa sebelumnya, untuk menyusun fondasi kebijakan dan regulasi yang relevan. Pada saat hal ini terjadi, Indonesia tentunya akan dapat memanfaatkan peluang yang muncul, untuk mengakses dana iklim multilateral yang saat ini ada, termasuk Fund for Responding Loss and Damage atau FRLD.

Share: