_ (JETP) di Indonesia merupakan salah satu hasil KTT G20 di mana Indonesia menjadi tuan rumah pada tahun 2022 lalu. Kemitraan tersebut merupakan kesepakatan Indonesia dengan negara-negara International Partners Group (IPG) untuk memobilisasi pendanaan guna membantu Indonesia melakukan upaya dekarbonisasi melalui penghentian pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, secara bertahap.
Kemitraan tersebut mengharuskan Indonesia untuk menyusun rencana investasi, terutama di sektor ketenagalistrikan, dalam waktu 6 (enam) bulan. Rencana investasi yang disusun diharapkan dapat menggambarkan kebutuhan Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor ketenagalistrikan hingga mencapai puncak emisi di tahun 2030 dengan emisi gas rumah kaca absolut di angka 260 juta ton CO2-ek, berkurang dari angka baseline 357 juta ton CO2-ek di tahun yang sama. Walau demikian, dalam penyusunannya perlu dipastikan adanya proses yang inklusif, seperti pelibatan kelompok masyarakat sipil, sebagai salah satu pemangku kepentingan kunci di dalam seluruh upaya penyusunan, perencanaan, implementasi, serta monitoring dari rencana investasi tersebut.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Germanwatch mengadakan diskusi kelompok terfokus khusus dengan kelompok masyarakat sipil (CSO) termasuk lembaga-lembaga riset yang relevan, pada tanggal 18 Januari 2023 bertempat di Hotel Pullman, Jakarta. Diskusi ini dilaksanakan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari kelompok masyarakat sipil yang mengerjakan isu relevan dengan JETP, terkait dengan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan (dan apabila memungkinkan, dimiliki) oleh kelompok masyarakat sipil. Diskusi ini menggunakan hasil diskusi IRID pada tanggal 22 Desember 2022 lalu dengan tajuk “Memahami Hasil G20 dan COP27 serta Dampaknya pada Sektor Energi di Indonesia”, sebagai basis diskusi.
Beberapa poin penting untuk dibahas di kalangan kelompok masyarakat sipil adalah hal-hal mengenai pelibatan CSO dalam proses JETP di Indonesia. Sampai dengan saat ini1 belum diketahui bagaimana pelibatan CSO akan dilakukan dan sejauh mana peran CSO dalam proses penyusunan, perencanaan, implementasi, monitoring dan implementasi JETP itu sendiri. Itu sebabnya, penting bagi CSO untuk duduk bersama dan mendiskusikan hal-hal terkait peran dan fungsi CSO dalam konteks JETP. Diskusi ini juga berupaya untuk membuka lingkup topik pembahasan selain ketenagalistrikan. Topik pembahasan lainnya adalah yang terkait dengan aspek sosial dan ekonomi, utamanya sisi ketenagakerjaan yang akan terdampak pada saat transisi energi berlangsung.
Beberapa perwakilan CSO yang hadir untuk memantik diskusi adalah Tata Mutasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi, Greenpeace Indonesia; Grita Anindarini, Deputy Director Indonesian Center for Environmental Law (ICEL); dan Maria Emeninta, Ketua Departemen Riset, Pendidikan, dan Pelatihan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
Peran JETP di Tengah Krisis Energi
Krisis energi yang terjadi telah memberikan desakan global bahwa ketergantungan pada sumber energi fosil sudah harus ditinggalkan dan bergerak menuju ke energi terbarukan. Namun di sisi lain, krisis energi memberikan keuntungan yang tak terduga (windfall profit) bagi Indonesia.
Kemitraan JET-P menunjukan adanya pendanaan untuk mendanai upaya-upaya percepatan transisi energi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Walau demikian, harus dipastikan bahwa JETP dapat dilaksanakan dengan berkeadilan.
Situasi Sektor Batu Bara Indonesia
Jika melihat situasi terkini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan transisi energi. Misalnya, saat ini sektor batu bara masih dianggap sebagai sumber energi paling mudah dipakai karena memang sudah tersedia. Indonesia juga menjadi negara paling ekpansif dalam pembangunan PLTU baru bara dan kapasitasnya tumbuh sekitar 44% pada periode 2017-2020 (Ember Climate, 2022). Belum lagi didukung oleh harga energi fosil yang terkesan lebih terjangkau, dikarenakan tidak adanya penghitungan biaya eksternalitas seperti biaya emisi. Tentunya hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia dalam melakukan transisi energi.
Kondisi Energi Terbarukan dan Ketenagakerjaan yang Tertinggal
Kondisi sektor energi terbarukan menunjukkan bahwa rasio kapasitas energi terbarukan terhadap total kapasitas energi negara-negara G20 secara umum telah meningkat pada tahun 2017-2021. Namun, Indonesia mengalami penurunan rasio sebesar 0,1% (International Renewable Energy Agency, 2022) karena ekspansi PLTU batu bara yang jauh lebih besar dibandingkan peningkatan kapasitas energi terbarukan.
Aspek sosial, dalam hal ini ketenagakerjaan, sangat tertinggal di dalam gambaran besar transisi energi berkeadilan di Indonesia. Hingga kini belum ada kejelasan konsep dan peta jalan ketenagakerjaan yang terkait dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC), Low Carbon Development Indonesia (LCDI), serta Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR).
Bahkan, Indonesia juga tidak memiliki data ketenagakerjaan yang konsisten, seperti data dan informasi mengenai jumlah buruh di sektor batu bara. Contohnya, menurut data Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada tahun 2021 mencatat terdapat 165.784 buruh tambang batu bara. Sementara, dalam pernyataan Kemnaker di forum ETWG (Energy Transition Working Group) tahun 2022 lalu, disampaikan bahwa jumlah buruh di sektor batu bara adalah sekitar 1,2 juta orang.
Kebutuhan Indonesia Terkait Transisi Berkeadilan (Just Transition)
Beberapa hal muncul dalam diskusi terkait dengan kebutuhan untuk merealisasikan transisi berkeadilan. Pertama, kebutuhan penguatan kerangka (framework) transisi berkeadilan yang mencakup kebijakan terkait pendanaan, industri, iklim, energi dan listrik, dan transisi berkeadilan itu sendiri. Berikutnya, dibutuhkan penilaian (assessment) mengenai kelompok rentan yang paling terdampak akibat transisi, khususnya perempuan, anak-anak, masyarakat yang tinggal di sekitar pertambangan, dan para pekerja. Ketiga, dibutuhkan instrumen lingkungan hidup sebagai jaring pengaman (safeguards). Selain itu, dibutuhkan pula penguatan peran pemerintah daerah dalam melakukan desentralisasi energi dan skenario transisi, terutama untuk ketenagakerjaan.
Diskusi ini juga memunculkan pembahasan terkait definisi transisi berkeadilan yang harus dikerucutkan. Hal ini juga berlaku pada definisi green jobs; utamanya karena selama ini istilah green jobs hanya dikaitkan dengan isunya saja (misalnya, energi terbarukan atau energi yang lebih bersih), namun tidak melihat dari sisi kualitas kesejahteraan manusianya.
Terkait dengan teknis isu energi di dalam konteks transisi energi berkeadilan, isu mengenai PLTU captive dan bagaimana tahapan .-nya, juga muncul di dalam diskusi. Selain itu, diskusi tersebut juga melihat pentingnya dilakukan revisi terhadap Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) Indonesia, terutama dalam menspesifikkan kembali target penurunan emisi yang conditional (penurunan emisi yang akan dilakukan dengan bantuan internasional), serta teknologi clean coal yang diharapkan tidak lagi dianggap sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Tindak Lanjut JETP
Berdasarkan diskusi yang berlangsung, terdapat beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti oleh kelompok masyarakat sipil, terkait dengan proses JETP di Indonesia.
Pertama, bagaimana kelompok masyarakat sipil dapat melakukan advokasi mengenai isu terkait Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dan Rencana Investasi JETP secara paralel. Beberapa hal yang perlu untuk dicermati dalam RUU EBET adalah yang terkait dengan masuknya energi baru di dalam RUU EBET, kejelasan insentif dan prioritas untuk energi terbarukan, pengaturan terkait pengadaan, TKDN (tingkat komponen dalam negeri), dan assessment terhadap masyarakat terdampak. Terkait dengan rencana investasi JETP, yang perlu diperhatikan adalah alur informasi dan transparansi dari semua pihak, serta pengawalan substansi. Contohnya seperti rencana terkait instrumen pendanaan yang akan digunakan beserta alokasinya.
Kedua, kelompok masyarakat sipil perlu untuk menyepakati definisi atau lingkup dari transisi energi berkeadilan. Hal ini akan memudahkan koordinasi antar kelompok masyarakat sipil, terkait dengan kegiatan yang perlu dilakukan bersama.
Ketiga, membentuk platform koordinasi yang memungkinkan seluruh informasi terkait JETP agar dapat diakses oleh lebih banyak pihak, serta memungkinkan seluruh pihak untuk memberikan masukan ke dalam proses penyusunan, perencanaan, implementasi, monitoring serta evaluasi JETP. Hal lain yang juga penting untuk dipertimbangkan adalah memastikan kelangsungan JETP pasca masa pemerintahan Joko Widodo yang akan berakhir pada 2024.
—————
[1] Kamis, 9 Februari 2023
Bagikan :