Photo Credit: Maria Putri Adianti, Staf Komunikasi
Provinsi NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan. Kondisi tersebut menyebabkan provinsi NTT menjadi wilayah yang rentan dengan dampak perubahan iklim. Bagi para nelayan di NTT, perubahan cuaca akibat dampak perubahan iklim dapat berpengaruh besar pada hasil tangkapan mereka, seperti yang dialami oleh Kelompok Nelayan Angsa Laut di wilayah Oesapa, Kupang, NTT. Kelompok Nelayan Angsa Laut ini diinisiasi oleh Muhammad Mansur Dokeng atau akrab disapa dengan panggilan Dewa.

Dewa adalah seorang nelayan sekaligus ketua Rukun Tetangga (RT) dan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Angsa Laut. Dengan berbagai ilmu dan pengalaman yang dimiliki, Dewa memberikan edukasi kepada para nelayan untuk tidak menangkap biota laut secara berlebihan, tidak menangkap ikan menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem laut, dan tidak membuang sampah ke laut.
Meski demikian, perubahan iklim bukan satu-satunya masalah yang dihadapi oleh para nelayan Angsa Laut, akan tetapi mereka juga harus berhadapan dengan banyaknya sampah yang dibuang ke laut. Hal ini akhirnya menyulitkan para nelayan untuk menangkap ikan, sehingga para nelayan harus melaut lebih jauh untuk memperoleh tangkapan yang lebih baik dari segi kuantitas maupun kualitas.


Dahulu, kelompok nelayan di wilayah Oesapa tidak dapat memprediksi cuaca untuk melaut. Mereka harus bertaruh nyawa dengan iklim yang tidak menentu karena keterbatasan informasi terkait kondisi cuaca, potensi gelombang tinggi, dan jalur melaut. Hingga suatu waktu, kelompok nelayan Angsa Laut menjalin kemitraan dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang membantu para nelayan untuk dapat membaca informasi iklim dengan memanfaatkan aplikasi cuaca dari BMKG (dalam foto yang digunakan adalah aplikasi Indonesian Weather Information for Shipping/INA-WIS).

Jauhnya jarak tempat menangkap ikan yang harus dicapai oleh nelayan, ternyata berpengaruh pada meningkatnya besaran biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh para nelayan. Salah satu solusi yang kemudian muncul adalah mendekatkan wilayah tangkapan ikan dengan menggunakan rumpon.

Rumpon (Fish Aggregating Device/ FAD) atau juga biasa disebut dengan rumah untuk ikan adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di laut untuk menarik ikan agar berkumpul di sekitarnya. Agar tidak merusak ekosistem laut, maka wilayah penangkapan ikan yang diperbolehkan untuk para nelayan yaitu hanya di wilayah sekitar rumpon saja dan bukan di titik di mana rumpon tersebut dipasang. Rumpon tersebut juga menjadi salah satu solusi yang muncul dari masyarakat guna meminimalkan waktu tempuh berlayar.

Tidak hanya didominasi oleh nelayan, di wilayah Oesapa terdapat juga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pengelola produksi mete dan membuka berbagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). UMKM tersebut didirikan dengan dukungan fasilitas dan pendampingan dari Yayasan Baitul Maal (YBM) Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Upaya yang telah dilakukan Om Dewa dan Kelompok Angsa Laut, telah membawa perkembangan yang sangat baik kepada wilayah Oesapa dan perkembangan tersebut menjadi salah satu best practice dalam upaya perubahan iklim di tingkat tapak.
Sampai saat ini, Kelompok Angsa Laut masih terus melakukan edukasi kepada masyarakat untuk menjaga ekosistem laut. Kelompok Angsa Laut percaya bahwa laut menyimpan potensi yang besar bagi keidupan mereka dan perlu dilestarikan. Namun, diperlukan komitmen yang kuat dan kemauan yang tinggi untuk mengupayakan hal tersebut.
Share: