Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang berlimpah. Terdapat 22 tipe ekosistem yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, mulai dari darat hingga laut. [1] Salah satu tipe ekosistem tersebut adalah ekosistem padang rumput, seperti yang terdapat di Nusa Tenggara Timur (NTT).[2] Ekosistem padang rumput didominasi hamparan rerumputan, tanpa adanya pohon ataupun semak belukar, dan biasanya memiliki curah hujan yang rendah. Namun, kondisi ini dapat berubah dengan adanya kenaikan temperatur yang memungkinkan untuk curah hujan menjadi lebih tinggi. Pada saat terjadi kenaikan temperatur, maka kecepatan penguapan air laut akan semakin tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya hujan yang lebih sering dengan intensitas yang lebih tinggi.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Special Report Global Warming of 1,5OC menyebutkan bahwa dengan kenaikan suhu global 1,5oC dapat menyebabkan hilangnya 6% spesies serangga, 8% tanaman, serta 4% vertebrata secara global. Sementara itu kenaikan suhu global 2oC dapat menyebabkan kehilangan 18% spesies serangga, 16% tanaman, dan 8% vertebrata. Perubahan iklim juga dapat menyebabkan matinya terumbu karang yang kini tercatat telah berkurang populasinya hingga hampir setengahnya dalam 150 tahun terakhir. Hal ini menggambarkan bahwa perubahan iklim berpotensi pada terjadinya kehilangan dan kerusakan pada keanekaragaman hayati.
Sebagaimana yang terjadi di global, fenomena ini juga berpotensi untuk terjadi di Indonesia, khususnya NTT. Menyikapi potensi terjadinya kehilangan dan kerusakan keanekaragaman hayati akibat dampak perubahan iklim di NTT, pada tanggal 4 September 2024 yang lalu, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Yayasan PIKUL melaksanakan sebuah diskusi terkait dampak perubahan iklim pada kehilangan dan kerusakan keanekaragaman hayati di Provinsi NTT.
Keanekaragaman Hayati NTT
Ketika membicarakan keanekaragaman hayati, harus diperhatikan agar pembicaraan tersebut tidak hanya sebatas pada jumlah spesiesnya saja, namun juga apakah spesies tersebut bersifat endemik[3] atau tidak. Pada kasus NTT, terdapat beberapa spesies endemik yang ada saat ini, di antaranya adalah pohon cendana, Elang Flores, pisang, dan Sapi Bali atau Sapi Timor. Pada kondisi saat ini, masing-masing spesies mengalami penurunan dari segi jumlah. Pohon cendana, misalnya, mengalami penurunan secara jumlah yang disebabkan karena gangguan antropogenik atau alam. Namun, menurunnya populasi Elang Flores, lebih banyak disebabkan oleh aktivitas perburuan liar. Tanaman pisang pada saat ini sedang mengalami hama penyakit yang disebut dengan penyakit darah. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri dan mulai merusak tanaman pisang sejak tahun 2010. Sedangkan untuk Sapi Bali atau Sapi Timor, ukurannya yang semakin kecil salah satunya disebabkan oleh semakin berkurangnya sumber makanannya, akibat berkurangnya luas padang rumput di Timor, yang beralih menjadi padang sufmuti[4]. Hal itu pula yang menyebabkan kawasan Cagar Alam Mutis, yang merupakan kawasan konservasi di NTT, telah menjadi tempat mengungsi Sapi Bali pada musim kemarau untuk mencari sumber makanan. Perubahan iklim dikhawatirkan akan berdampak pada cagar alam tersebut, sehingga menyebabkan tempat mengungsi Sapi Bali di musim kemarau juga terancam.
Keterkaitan Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati
Diskusi tersebut menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati di NTT ternyata tidak hanya berlaku satu arah, namun keduanya saling mempengaruhi. Hal ini disebabkan karena di sebuah ekosistem, penurunan jumlah keanekaragaman hayati atau bermigrasinya spesies tertentu, memang terjadi akibat adanya perubahan suhu. Namun di lain pihak, ketidakseimbangan jumlah keanekaragaman hayati, seperti matinya jenis tumbuhan tertentu juga dapat melepaskan lebih banyak CO2. Itu sebabnya, hubungan antara perubahan iklim dan keanekaragaman hayati memiliki timbal balik.
Perubahan iklim juga bukan merupakan satu-satunya penyebab dari penurunan keanekaragaman hayati, namun dampak dari pembangunan juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Misalnya, akibat memproduksi wood chips – yang dapat digunakan sebagai pengganti batu bara untuk pembangkit tenaga listrik – maka banyak lahan yang dialihkan untuk menghasilkan pohon-pohon penghasil wood chips. Walau pun penggunaan wood chips sebagai alternatif bahan bakar untuk pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dinilai rendah karbon, namun peralihan fungsi lahan yang dilakukan dalam konteks tersebut, bisa jadi tidak sesuai dengan ekosistem yang ada.
Padahal, peran utama dari keanekaragaman hayati adalah untuk menyediakan layanan atau jasa ekosistem, agar alam dapat tetap berfungsi sebagaimana mestinya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, agar ekosistem dapat menjalankan fungsi penyediaan (provision)[5] dan fungsi pengaturan (regulation)[6] yang diperlukan, tata kelola kebijakan yang tepat menjadi sangat dibutuhkan. Oleh karena wilayah di Indonesia memiliki ekosistem yang berbeda-beda, maka menyusun sebuah kerangka ekosistem di masing-masing daerah menjadi sangat penting. Kerangka ekosistem ini juga akan berperan pada saat penyusunan kebijakan di tingkat daerah utamanya dalam mewujudkan pembangunan daerah yang rendah emisi gas rumah kaca dan berketahanan iklim serta berkelanjutan.
[1] Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2025-2045, https://www.iccas.or.id/content/images/announcements/2_20240812_115539.pdf
[2] Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2025-2045, https://www.iccas.or.id/content/images/announcements/2_20240812_115539.pdf
[3] Endemik dalam konteks keanekaragaman hayati merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan spesies yang hanya ada di suatu wilayah tertentu dan tidak ada di wilayah lain.
[4] Sufmuti atau nama latinnya adalah chromolaena odorata L merupakan tanaman gulma yang dimanfaatkan sebagai bahan organik untuk pupuk hijau.
[5] Ekosistem memberikan manfaat sebagai penyedia pangan, air, serat, bahan bakar, dan sumber daya genetik.
[6] Ekosistem memberikan manfaat untuk pengaturan iklim, pengaturan tata aliran air, pemurnian air, pencegahan dan perlindungan bencana, pengolahan dan penguraian limbah, pengaturan kualitas udara, pengaturan penyerbukan alami, serta pengendalian hama penyakit.
Bagikan :