Sebagai salah satu elemen yang krusial untuk memungkinkan implementasi aksi iklim yang ambisius, isu pendanaan iklim selalu menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Hal ini tidak berbeda dengan apa yang akan dihadapi pada COP30 mendatang di Belém, Brazil. Pasca disepakatinya New Collective Quantified Goal (NCQG) di COP29 (CMA6) tahun 2024 yang lalu di Baku, Azerbaijan, terdapat banyak perbedaan respon yang menjadikan isu pendanaan iklim menjadi salah satu pusat perhatian di COP30 mendatang. Agenda pendanaan yang akan menjadi perbincangan dan/atau perdebatan adalah yang terkait dengan implementasi Pasal 9.1 Persetujuan Paris. Agenda ini merupakan salah satu agenda krusial yang dibahas pada sesi SB62 di Bonn, Jerman, pada bulan Juni 2025 yang lalu, yang diajukan sebagai agenda pembahasan oleh Bolivia.

Elemen-elemen Pendanaan Iklim dalam Pasal 9 Persetujuan Paris
Pasal 9 dari Persetujuan Paris mengandung 9 paragraf yang harus diimplementasikan guna mencapai tujuan dari Persetujuan Paris sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 2 dari persetujuan tersebut. Beberapa elemen yang dimaksud adalah (i) siapa pihak yang menyediakan pendanaan; (ii) upaya-upaya mobilisasi pendanaan yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah pendanaan yang ada; (iii) alokasi pendanaan; (iv) penyampaian informasi terkait pendanaan iklim, baik sebelum (ex-ante) maupun setelah (ex-post) pendanaan iklim disalurkan; (v) proses review (global stocktake) dan transparansi (Pasal 13 paragraf 13 Persetujuan Paris terkait Enhanced Transparency Framework); (vi) mekanisme pendanaan dan entitas penyaluran dana multilateral; serta (vii) proses penyederhanaan proses dan peningkatan kesiapan negara berkembang dalam mengakses pendanaan iklim.
Hampir seluruh elemen dari pasal ini telah dibahas dalam rentang waktu 10 tahun diadopsinya Persetujuan Paris; kecuali paragraf pertama dari Pasal 9 tersebut.
Mengenal Pasal 9 Paragraf 1 Persetujuan Paris
Pasal 9 paragraf 1 dari Persetujuan Paris tertulis:
Developed country Parties shall provide financial resources to assist developing country Parties with respect to both mitigation and adaptation in continuation of their existing obligations under the Convention.
Secara kealamiannya, Persetujuan Paris merupakan persetujuan yang mengakui bahwa upaya perubahan iklim harus dilakukan secara kolektif, baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Referensi terkait dengan historical emission bisa dikatakan tidak sekuat yang tertuang di dalam Konvensi, dimana negara maju merupakan Pihak yang diwajibkan untuk “membayar” emisi gas rumah kaca (GRK) yang telah dihasilkan ratusan tahun yang lalu, mengadopsi prinsip polluters pay. Melalui upaya tersebut, diharapkan negara berkembang dapat memiliki modal yang cukup untuk memanfaatkan peluang membangun yang sama, namun dengan cara yang rendah emisi GRK.
Itu sebabnya, Persetujuan Paris meminta seluruh Pihak – bukan hanya negara maju, tapi juga negara berkembang – untuk menyusun Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC) guna melihat bagaimana masing-masing Pihak dapat berkontribusi untuk mencapai tujuan Persetujuan Paris. Pada saat yang bersamaan, Persetujuan Paris tetap memahami bahwa negara berkembang akan memerlukan dukungan untuk melakukan implementasi NDC yang telah disiapkan.
Karena sifat dari Persetujuan Paris yang lebih mengarah pada effort-sharing antara negara maju dan negara berkembang, maka paragraf 1 dari Pasal 9 Persetujuan Paris diharapkan dapat ‘mengunci’ kewajiban negara-negara maju dalam konteks penyediaan pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang.

Status Pembahasan Pasal 9 Paragraf 1 Persetujuan Paris
Kesepakatan NCQG yang dicapai pada COP29 yang lalu di Baku, Azerbaijan, menyatakan bahwa negara maju diharapkan untuk memimpin upaya mobilisasi pendanaan iklim setidaknya sebesar USD 300 miliar per tahun di tahun 2035 (paragraf 8, Decision 1/CMA.6), dan terdapat upaya mobilisasi lainnya yang melibatkan seluruh aktor untuk memobilisasi pendanaan hingga USD 1,3 triliun per tahun hingga 2035 (paragraf 7, Decision 1/CMA.6). Kesepakatan ini menuai banyak pertanyaan terkait dengan keseriusan negara maju untuk membantu negara-negara berkembang, melalui dukungan pendanaan yang disalurkan.
Sebagaimana yang tertulis di dalam Persetujuan Paris, Pasal 9 paragraf 1 dapat menjadi basis bagi negara-negara berkembang untuk mendorong adanya kejelasan mengenai peran dari negara maju dalam menyediakan pendanaan (provide) bagi negara berkembang guna melakukan aksi iklim mereka. Bolivia pada sesi SB62 yang lalu di Bonn, Jerman, mengusulkan agenda ini untuk menjadi pembahasan.
Pada COP30 ini, pembahasan terkait agenda Pasal 9 paragraf 1 kembali diajukan, yang diperkaya dengan pandangan bersama dari kelompok Like Minded Developing Countries (LMDC) dan Arab Group.
Implikasinya terhadap Indonesia
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia memiliki hak untuk mengakses dana iklim yang tersedia guna melakukan implementasi aksi iklimnya sesuai dengan yang tertuang di dalam Nationally Determined Contribution (NDC) (NDC), National Adaptation Plan (NAP), atau strategi iklim lainnya yang relevan dengan kebutuhan dan prioritas Indonesia.

Pada NDC keduanya, Indonesia menyampaikan perkiraan kebutuhan pendanaan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) mencapai IDR 7,552.5 triliun atau sekitar USD 472,6 miliar. Perkiraan ini hanya mencakup upaya-upaya mitigasi di sektor energi, pertanian, FOLU, dan limbah, belum mencakup biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi GRK dari sektor Industri, aksi adaptasi serta transisi berkeadilan. Angka tersebut masih berada di bawah kebutuhan pendanaan yang diperlukan oleh Indonesia untuk melakukan aksi iklim. Indonesia pun telah menyatakan bahwa terpenuhinya kebutuhan pendanaan yang diperlukan, menjadi syarat krusial guna mencapai target sebagaimana yang disampaikan melalui SNDC. Tanpa dukungan pendanaan yang memadai, sulit bagi Indonesia untuk dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan Persetujuan Paris baik dari sisi mitigasi, adaptasi, serta upaya untuk meminimalkan potensi kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim.
Memajukan agenda Pasal 9 paragraf 1 menjadi hal yang krusial bagi negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Memastikan bahwa negara maju melakukan kewajibannya yang disepakati melalui Konvensi (Pasal 4.3 dan Pasal 4.4) dan Persetujuan Paris (Pasal 9.1) untuk menyediakan (provide) pendanaan, akan memberikan amunisi bagi negara-negara berkembang untuk melakukan implementasi aksi iklim. Jika hal ini terjadi, maka seluruh Pihak yang meratifikasi Persetujuan Paris, dapat secara kolektif berkontribusi untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata global agar tidak melebihi 1,5oC.
Share:

