Pembelajaran dari Kelompok Nelayan Angsa Laut dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang didominasi wilayah kepulauan, mencakup 1.192 pulau dengan 42 pulau berpenghuni dan 1.150 pulau tidak dihuni. Kondisi kepulauan tersebut membuat NTT menjadi provinsi yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Bagi nelayan NTT sendiri, dampak perubahan iklim yang mereka alami diantaranya adalah terjadinya perubahan cuaca yang tidak dapat diprediksi, sehingga berpengaruh pada hasil tangkapan ikan mereka. Hal ini dialami oleh kelompok nelayan Angsa Laut di wilayah Oesapa, NTT, yang diinisiasi oleh Muhammad Mansur Dokeng atau biasa dipanggil Dewa.

Upaya Kelompok Angsa Laut dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah memberikan pengaruh terhadap nelayan, termasuk bagi nelayan di wilayah Oesapa, Kupang, NTT, yang sekaligus merupakan tempat kelompok nelayan Angsa Laut berasal. Namun, perubahan iklim bukanlah satu-satunya masalah yang mereka hadapi. Para nelayan juga harus berhadapan dengan banyaknya sampah yang dibuang di laut, sehingga menyulitkan mereka untuk menangkap ikan. Itu sebabnya, mereka kemudian harus melaut lebih jauh, agar mendapatkan tangkapan ikan yang lebih baik; baik dari segi kualitas, maupun kuantitas. Dahulu, nelayan tidak dapat memprediksi cuaca untuk melaut, sehingga untuk melaut mereka harus bertaruh nyawa. Hal ini disebabkan karena tidak adanya informasi terkait dengan cuaca, potensi gelombang tinggi, yang bisa mereka akses dan dapatkan. Sampai pada suatu waktu, mereka membangun kemitraan dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang membantu mereka untuk dapat membaca informasi iklim. Melalui pemanfaatkan aplikasi cuaca dari BMKG, nelayan kemudian dapat memprediksi cuaca lebih baik, sehingga membantu nelayan dalam menangkap ikan. 

Saat NTT mengalami badai siklon tropis seroja di bulan April 2021 yang lalu, nelayan di Oesapa sudah mengetahui prediksi peristiwa tersebut melalui aplikasi, sehingga mereka mampu meminimalisir kecelakaan serta korban jiwa akibat badai tersebut. Pertemuan mereka dengan Yayasan Pikul, juga membantu mereka untuk mengerti lebih dalam mengenai perubahan iklim dan dampak yang mengikuti.

Hal lain yang juga dilakukan oleh Dewa sebagai penggerak Kelompok Angsa Laut adalah melarang awak kapalnya membawa botol plastik dan pada saat yang bersamaan memberikan edukasi terkait dengan dampak dari sampah laut terhadap ekosistem laut yang berujung pada penghidupan nelayan Oesapa. Memang upaya tersebut harus dilakukan secara terus-menerus, namun kini, Dewa menyatakan bahwa para nelayan Oesapa sekarang sudah mengerti akan dampak dari sampah plastik bagi penghidupan mereka. 

Mendekatkan Wilayah Tangkap

Akibat jauhnya tempat untuk menangkap ikan yang harus dicapai oleh nelayan, maka biaya yang harus dikeluarkan pun juga meningkat. Guna mendukung pelaku usaha perikanan, dalam hal ini nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan KUSUKA  (Kartu Usaha Kelautan dan Perikanan). Kartu ini memungkinkan nelayan untuk mendapatkan keringanan dari sisi bahan bakar, melalui kuota BBM subsidi. Namun, kuota tersebut terlalu sedikit bagi mereka, yang memerlukan sekitar 17 ton solar untuk waktu melaut selama 18 hari. Selain terlalu sedikit, saat ini, untuk dapat menggunakan kuota tersebut, para nelayan juga harus mendapatkan rekomendasi. Hal ini tentunya memperpanjang prosedur yang harus mereka lakukan, sehingga dipandang menyulitkan.

Solusi yang kemudian muncul adalah mendekatkan wilayah tangkap ikan dengan menggunakan rumpon. Rumpon ini sebenarnya adalah rumah bagi ikan, sehingga terkumpul di wilayah tersebut. Walau demikian, agar tidak merusak ekosistem yang mereka coba untuk ciptakan, maka wilayah penangkapan ikan yang diperbolehkan adalah di sekitar rumpon saja dan bukan di titik dimana rumpon tersebut dipasang.

Perlindungan Sosial bagi Nelayan

Pemerintah juga menyediakan perlindungan sosial bagi nelayan, berupa asuransi, yang dulunya difasilitasi oleh Kartu Nelayan. Walau demikian, asuransi yang disediakan ternyata hanya dapat dinikmati oleh nelayan dan awak kapalnya saja. Terkait dengan pengelolaan pasca melaut, asuransi tersebut tidak berlaku. Padahal, kartu tersebut mencakup pelaku usaha perikanan, yang seharusnya juga mencakup usaha pengolahan hasil laut pasca melaut. 

Misalnya, asuransi tersebut seharusnya juga berlaku bagi ibu-ibu yang mengelola hasil laut melalui Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ada. Dalam konteks wilayah Oesapa, terdapat UMKM pemberdayaan perempuan yang mengelola hasil laut menjadi makanan seperti abon ikan. UMKM ini didirikan dengan dukungan fasilitas dan pendampingan dari Yayasan Baitul Maal (YBM) Perusahaan Listrik Negara (PLN). 

Pada tahap pengelolaan ini, diharapkan setiap mereka yang bekerja di UMKM ini, juga mendapatkan akses pada fasilitas asuransi yang ada.

Oesapa Kini dan Nanti

Perkembangan Oesapa dari wilayah yang sama sekali tidak menghasilkan, menjadi salah satu champion dalam isu perubahan iklim di tingkat tapak, memang tidak semulus seperti yang kita lihat saat ini. Diperlukan komitmen yang kuat dari para pemimpinnya, serta kemauan untuk berubah bagi masyarakat sekitar. Kalau beberapa tahun lalu laut di sepanjang pesisir Oesapa terlihat seperti tempat pembuangan sampah, kini terlihat sangat bersih dari sampah. 

Walau demikian, upaya edukasi yang dilakukan oleh Kelompok Angsa Laut masih terus dilakukan  untuk menjaga ekosistem laut. Edukasi tersebut termasuk ketentuan pengambilan ikan secukupnya dan tidak merusak ekosistem di sekitarnya. Kelompok Angsa Laut percaya bahwa laut menyimpan potensi yang besar bagi kehidupan dan sudah sepatutnya untuk dijaga. Bagi Dewa, mengingatkan diri bahwa kita semua memiliki tanggung jawab di hari ini dan di akan datang, guna menjaga alam agar tetap produktif, menjadi penyemangat masing-masing warga Oesapa hingga hari ini.

Bagikan :