Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa Indonesia akan berkontribusi di dalam pencapaian tujuan Persetujuan Paris. Pada Pasal 2 Persetujuan Paris, para Pihak sepakat untuk bersama-sama mencegah kenaikan temperatur rata-rata global agar tidak melebihi 1,5oC. Para Pihak juga sepakat akan berupaya untuk menyelaraskan seluruh aliran pendanaan agar konsisten dengan pembangunan rendah emisi gas rumah kaca (GRK) serta berketahanan iklim (Pasal 2.1c Persetujuan Paris). Akan tetapi, pada tataran global, tujuan tersebut masih tertinggal jauh pembahasannya dalam perundingan iklim di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Saat ini, pendanaan iklim yang tersedia tidak seluruhnya berbentuk hibah, khususnya yang tersedia bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Pendanaan tersebut memerlukan kontribusi tambahan dari pendanaan lain. Dalam hal ini, peran sektor swasta menjadi sangat penting untuk menutup celah pendanaan dari sektor publik. Namun kenyataannya, sektor swasta juga masih memiliki beberapa kendala dalam mobilisasi pembiayaan untuk membiayai aksi-aksi iklim.
Menanggapi hal ini, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kementerian Keuangan Republik Indonesia) telah mengadakan diskusi terbatas pada tanggal 22 Agustus 2024 di Hotel Pullman Jakarta, guna membahas pentingnya peran sektor keuangan dalam mendukung pendanaan aksi iklim di Indonesia.
Upaya Pendanaan Iklim oleh Pemerintah Indonesia
Guna melaksanakan komitmen target iklim yang lebih ambisius, Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menjadikan anggaran negara lebih ramah lingkungan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan dana publik untuk mendukung berbagai proyek terkait isu perubahan iklim. Sebagai contoh, Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Keuangan terus mengembangkan berbagai inisiatif pendanaan, seperti climate budget tagging, obligasi berwawasan lingkungan (green bond), sukuk hijau, dan Sustainable Development Goals (SDGs) bond.
Terkait regulasi dan kebijakan, Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan kerangka peraturan untuk Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing, dan merumuskan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 dengan Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang memainkan peran kunci dalam memperkuat ekosistem keuangan berkelanjutan. Di samping itu, Pemerintah juga aktif mendorong transisi energi melalui kerja sama dengan institusi keuangan internasional, seperti Asian Development Bank (ADB), melalui inisiatif Energy Transition Mechanism (ETM). Untuk menarik investasi swasta, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, serta fasilitas berupa keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Meski keterlibatan sektor swasta dalam pendanaan iklim tersebut dinilai masih rendah, akan tetapi beberapa pelaku dari sektor perbankan sudah mulai berupaya mengintegrasikan isu perubahan iklim dalam skenario manajemen risikonya.
Isu Perubahan Iklim dalam Sektor Perbankan
Sektor perbankan telah melakukan integrasi isu perubahan iklim dalam manajemen risikonya (climate-related financial risk), yang terbagi menjadi dua, yaitu risiko transisi dan risiko fisik. Risiko transisi adalah risiko yang dipicu oleh kebijakan Pemerintah untuk mendorong perekonomian rendah karbon. Sementara itu, risiko fisik terbagi atas dua risiko, yaitu risiko yang dipicu oleh bencana alam dan risiko yang dipicu oleh dampak perubahan iklim.
Ketika Pemerintah mulai menerapkan pajak karbon, maka risiko transisi akan tinggi namun risiko fisik menjadi rendah. Sebaliknya, ketika pajak karbon belum diterapkan oleh Pemerintah, maka risiko transisi akan rendah, namun risiko fisiknya akan tinggi. Dengan demikian, risiko yang berkaitan dengan isu perubahan iklim dapat berpengaruh pada sektor perbankan di berbagai hal. Sebagai langkah mitigasinya, sektor perbankan melakukan analisis skenario iklim sehingga dapat menilai potensi dampak perubahan iklim terhadap aktivitas operasional, rantai pasok, aset, dan kinerja keuangan.
Peluang Pembiayaan Aksi Iklim di Indonesia
Salah satu upaya pembiayaan aksi iklim di Indonesia yaitu melalui peningkatan portofolio pembiayaan hijau (green financing). Upaya ini telah dilakukan oleh salah satu bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia dengan harapan dapat membantu upaya dekarbonisasi pada sektor-sektor intensif karbon. Melalui analisis skenario iklim, bank tersebut telah menetapkan target untuk masing-masing sektor, dan target tersebut didukung juga dengan manajemen portofolio bersama debitur untuk menjalankan upaya dekarbonisasi.
Upaya lainnya yang dilakukan oleh bank swasta, yaitu mengubah pembiayaan dari sektor dengan emisi tinggi ke sektor hijau dan memulai pembiayaan di sektor hijau. Hal lain yang juga dilakukan oleh salah satu bank swasta adalah memiliki komitmen di bidang sustainability pada skala regional. Komitmen tersebut salah satu tujuannya adalah untuk melakukan implementasi sustainable finance, meningkatkan penghidupan rumah tangga, dan mencapaiNZE pada tahun 2050.
Peluang pembiayaan aksi iklim lainnya yang teridentifikasi adalah pemberlakukan insentif terhadap pembelian teknologi ramah lingkungan, adanya pembiayaan iklim melalui pembiayaan sosial (social finance), serta asuransi berbasis iklim.
Tantangan dan Hambatan Pembiayaan Aksi Iklim di Indonesia
Meski terdapat berbagai peluang pembiayaan yang dapat mendukung aksi iklim, namun terdapat juga beberapa tantangan dan hambatan yang dihadapi. Misalnya: adanya dominasi sektor intensif karbon dalam perekonomian Indonesia seperti sektor batu bara; minimnya kesadaran dari sisi permintaan baik dari perusahaan maupun dari masyarakat terkait pembiayaan hijau; dan perlunya penyesuaian kerangka pembiayaan iklim di tingkat internasional ke dalam konteks Indonesia.
Sedangkan hambatan yang ditemui, misalnya yang terkait dengan adanya pandangan umum terhadap proyek-proyek hijau sebagai proyek yang berisiko tinggi. Hal ini disebabkan karena proyek hijau yang dimaksud umumnya beroperasi dalam jangka panjang dengan tingkat pengembalian yang rendah, sehingga risiko layanan kredit hijau pun menjadi lebih tinggi. Hambatan lainnya adalah minimnya political will dan kepemimpinan yang terfragmentasi, serta terbatasnya kapasitas internal dari perbankan untuk mengukur tingkat risiko.
Terlepas dari adanya berbagai tantangan dan hambatan tersebut, pada dasarnya sektor keuangan menyambut baik berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah guna mendukung terwujudnya keuangan berkelanjutan. Akan tetapi, diharapkan nantinya akan ada kebijakan yang jelas dan menyeluruh dari hulu ke hilir.
Bagikan :