Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa Indonesia akan berkontribusi di dalam pencapaian tujuan Persetujuan Paris, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2. Tujuan Persetujuan Paris mencakup kesepakatan para Pihak untuk bersama-sama mencegah kenaikan temperatur rata-rata global agar tidak melebihi 1,5oC, serta memperkuat ketahanan global terhadap dampak perubahan iklim. Tujuan lainnya menyatakan bahwa seluruh Pihak akan berupaya untuk menyelaraskan seluruh aliran pendanaan agar konsisten dengan pembangunan rendah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) serta berketahanan iklim. Pada tataran global, tujuan Persetujuan Paris yang ketiga ini – yang tertulis di dalam Pasal 2.1c dari Persetujuan Paris – masih tertinggal jauh pembahasannya di dalam perundingan iklim di bawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), dibanding dua tujuan lainnya.
Harus diakui bahwa tidak seluruh pendanaan iklim yang ada tersedia dalam bentuk hibah; utamanya yang tersedia bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Pada umumnya, pendanaan yang masuk ke Indonesia memerlukan kontribusi pendanaan tambahan dari Indonesia agar aliran pendanaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Salah satu kajian yang dilakukan oleh Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) dan Germanwatch adalah untuk melihat bagaimana aliran pendanaan internasional dapat membantu Indonesia untuk melakukan aksi-aksi iklim menuju pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim. IRID dan Germanwatch mengambil contoh aliran pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), sebagai inisiatif yang diharapkan dapat membantu negara-negara berkembang untuk melakukan transisi energi berkeadilan. Walau demikian, studi tersebut menyatakan bahwa diperlukan upaya mobilisasi pendanaan tambahan di Indonesia agar inisiatif tersebut dapat berjalan dengan baik.
Peran sektor swasta, baik sektor riil maupun keuangan sangat penting untuk menutup celah pendanaan dari sektor publik tersebut. Peluang untuk memaksimalkan potensi pendanaan dari sektor keuangan khususnya, juga termuat di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Undang-Undang tersebut memuat penerapan keuangan berkelanjutan bagi pelaku usaha sektor keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Lebih lanjut, peraturan yang sama menyebutkan bahwa penerapan keuangan berkelanjutan juga mencakup pembiayaan transisi untuk proyek yang melakukan peralihan atau transformasi dari kegiatan yang menghasilkan emisi GRK tinggi menuju pada kegiatan dengan emisi GRK yang lebih rendah.
Akan tetapi, kenyataannya sektor swasta juga masih memiliki beberapa kendala dalam mobilisasi pembiayaan iklim tersebut. Khusus untuk sektor keuangan, hambatan tersebut dapat berasal dari internal maupun eksternal, dan memerlukan intervensi Pemerintah untuk mengatasinya. Dari aspek internal, misalnya, mobilisasi pembiayaan yang masih sangat kecil disebabkan oleh, di antaranya, masih tingginya persepsi risiko pada aksi iklim serta rendahnya kapasitas dalam melakukan assessment aksi iklim.
Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia bekerja sama dengan IRID memandang pentingnya peran sektor keuangan di Indonesia guna membantu Indonesia melakukan aksi iklim dalam konteks pembangunan rendah emisi GRK dan juga berketahanan iklim. Itu sebabnya, sebuah diskusi terbatas terkait dengan peran sektor keuangan terkait dengan implementasi aksi iklim di Indonesia, telah diselenggarakan pada tanggal 22 Agustus 2024.
Bagikan :