Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa Indonesia akan berkontribusi di dalam pencapaian tujuan Persetujuan Paris. Persetujuan Paris memuat tiga tujuan yang tercantum di dalam Pasal 2 paragraf 1 dari Persetujuan Paris, yaitu: (1) bersama-sama mencegah kenaikan temperatur rata-rata global agar tidak melebihi 1,5oC; (2) untuk memperkuat ketahanan global terhadap dampak perubahan iklim; dan (3) seluruh Pihak akan berupaya untuk menyelaraskan seluruh aliran pendanaan agar konsisten dengan pembangunan rendah emisi gas rumah kaca (GRK) serta berketahanan iklim. Pada tataran global, tujuan ketiga ini – yang tercantum di dalam Pasal 2.1c dari Persetujuan Paris – masih tertinggal jauh pembahasannya di dalam perundingan iklim di bawah UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), dibandingkan dua tujuan lainnya (Pasal 2.1a dan Pasal 2.1b dari Persetujuan Paris).
Nationally Determined Contribution (NDC) merupakan salah satu dokumen yang harus disusun oleh Indonesia sebagai Pihak yang meratifikasi Persetujuan Paris. Walau demikian, pada tataran implementasinya, terdapat celah pendanaan yang besarannya tidak dapat diisi oleh anggaran nasional. Kontribusi dari sumber pendanaan lain diperlukan untuk memungkinkan Indonesia mewujudkan pembangunan yang rendah emisi GRK dan berketahanan iklim. Peran sektor swasta, baik sektor riil maupun keuangan, sangat penting untuk menutup celah pendanaan yang ada terkait dengan implementasi aksi iklim. Namun, sektor swasta juga masih memiliki beberapa kendala dalam mobilisasi pendanaan guna membiayai aksi iklim yang menjadi kebutuhan dan prioritas Indonesia.
Khusus untuk sektor keuangan, hambatan tersebut muncul di kedua sisi kekuatan pasar, yaitu sisi penawaran dan permintaan yang memerlukan intervensi Pemerintah. Dari aspek permintaan misalnya, mobilisasi pembiayaan yang masih sangat kecil umumnya disebabkan oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman pelaku usaha maupun konsumen akan pentingnya berinvestasi pada aksi-aksi yang meningkatkan ketahanan iklim. Sementara itu, di sisi penawaran, kendala yang timbul diakibatkan oleh masih adanya persepsi bahwa risiko aksi iklim cukup tinggi, ditambah dengan rendahnya kapasitas dalam melakukan assessment aksi iklim.
Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) memandang pentingnya peran sektor keuangan di Indonesia guna membantu Indonesia melakukan aksi iklim dalam konteks pembangunan rendah emisi GRK dan juga berketahanan iklim. Pada sesi diskusi yang telah dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2024 antar pelaku di sektor keuangan, terdapat minat di sektor keuangan untuk meningkatkan portofolio pembiayaan hijau dan menyambut baik berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mendukung keuangan berkelanjutan. Walau demikian, informasi terkait kebutuhan di sektor riil masih belum dapat diakses dengan baik. Menindaklanjuti sesi diskusi tersebut, pada tanggal 6 November 2024 PKSK BKF Kementerian Keuangan dan IRID kembali bekerja sama mengadakan sesi diskusi untuk memperdalam sejauh mana peran sektor keuangan dapat dioptimalkan, utamanya guna membiayai kebutuhan di sektor energi dan industri.
Bagikan :