Salah satu hasil dari proses Global Stocktake (GST) yang berlangsung pada Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA) yang kelima pada tahun 2023 yang lalu adalah para Pihak sepakat bahwa diperlukan upaya untuk melakukan dekarbonisasi lebih cepat, untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi tidak lebih dari 1,5oC. Salah satu upaya di sektor energi yang dapat membantu untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menggandakan rata-rata tingkat kemajuan efisiensi energi tahunan global1. International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa rata-rata tingkat kemajuan efisiensi energi global saat ini adalah 2%; maka, untuk menggandakannya, rata-rata tingkat efisiensi energi tahunan global perlu ditingkatkan hingga 4% sampai tahun 2030.
Efisiensi energi disebut sebagai ‘first fuel’ dalam transisi energi, mengingat manfaatnya sebagai solusi mitigasi iklim yang efektif secara biaya. Efisiensi energi dapat mengurangi konsumsi energi, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Akan tetapi, IEA melaporkan bahwa capaian kemajuan efisiensi energi semakin melambat pada tahun 2023 yang disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat maupun penerapan kebijakan. Padahal, pencapaian target global 4% tersebut diperkirakan mampu mengurangi emisi sebesar 7 Gt CO2 pada tahun 2030 atau menyumbang sekitar 50% penurunan emisi GRK pada tahun 2030, dibandingkan tahun 2022.
Dalam periode tahun 2010-2022, hampir seluruh negara pernah mencapai tingkat kemajuan efisiensi energi tahunan hingga 4% atau lebih setidaknya satu kali, tetapi belum ada negara yang dapat mencapai target tersebut secara konsisten dalam satu dekade; tidak terkecuali Indonesia yang hanya mencapainya tiga kali. Rata-rata capaian peningkatan efisiensi energi Indonesia masih pada angka 2-3%. Hal ini menandakan bahwa upaya efisiensi energi Indonesia pun perlu ditingkatkan guna memastikan aksi iklimnya selaras dengan target Persetujuan Paris. Itu sebabnya, efisiensi energi seharusnya menjadi aksi iklim yang penting di dalam penyusunan pembaharuan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia atau yang dikenal sebagai Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
1Decision 1/CMA5, paragraf 28.a
2IEA. (2023). Energy Efficiency 2023. IEA: Paris, diakses melalui https://www.iea.org/reports/energy-efficiency-2023
Efisiensi energi disebut sebagai ‘first fuel’ dalam transisi energi, mengingat manfaatnya sebagai solusi mitigasi iklim yang efektif secara biaya. Efisiensi energi dapat mengurangi konsumsi energi, sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Akan tetapi, IEA melaporkan bahwa capaian kemajuan efisiensi energi semakin melambat pada tahun 2023 yang disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat maupun penerapan kebijakan. Padahal, pencapaian target global 4% tersebut diperkirakan mampu mengurangi emisi sebesar 7 Gt CO2 pada tahun 2030 atau menyumbang sekitar 50% penurunan emisi GRK pada tahun 2030, dibandingkan tahun 2022.
Dalam periode tahun 2010-2022, hampir seluruh negara pernah mencapai tingkat kemajuan efisiensi energi tahunan hingga 4% atau lebih setidaknya satu kali, tetapi belum ada negara yang dapat mencapai target tersebut secara konsisten dalam satu dekade; tidak terkecuali Indonesia yang hanya mencapainya tiga kali. Rata-rata capaian peningkatan efisiensi energi Indonesia masih pada angka 2-3%. Hal ini menandakan bahwa upaya efisiensi energi Indonesia pun perlu ditingkatkan guna memastikan aksi iklimnya selaras dengan target Persetujuan Paris. Itu sebabnya, efisiensi energi seharusnya menjadi aksi iklim yang penting di dalam penyusunan pembaharuan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia atau yang dikenal sebagai Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
1Decision 1/CMA5, paragraf 28.a
2IEA. (2023). Energy Efficiency 2023. IEA: Paris, diakses melalui https://www.iea.org/reports/energy-efficiency-2023
Bagikan :