Pada tahun 2016, Indonesia telah menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) dengan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% melalui upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional, sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan Persetujuan Paris. Saat ini, Indonesia tengah mempersiapkan diri untuk menyusun NDC terbarunya. Harapannya dalam proses penyusunan NDC tersebut, peran Pemerintah Daerah (Pemda) dapat dioptimalkan mulai dari sisi perencanaan, implementasi, hingga monitoring dan evaluasi.
Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Yayasan PIKUL, mengadakan diskusi terbatas pada tanggal 1 – 2 Agustus 2024 bertempat di Hotel Swiss-Belcourt Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), guna membahas peran Pemda dalam pencapaian target emisi GRK, sebagaimana yang telah dan akan tercantum di dalam NDC Indonesia.
Pembangunan Rendah Karbon di Provinsi NTT
Provinsi NTT memiliki wilayah geografis yang unik karena terdiri dari pulau-pulau besar (Pulau Timor, Pulau Flores, dan Pulau Sumba) dan pulau-pulau kecil (sebanyak 609 pulau kecil). Masing-masing pulau memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar, namun di sisi lain, Provinsi NTT masih menghadapi berbagai tantangan di wilayahnya. Salah satunya adalah kepadatan penduduk yang kian meningkat, namun tidak diiringi pertumbuhan ekonomi, sehingga menyebabkan tingkat kemiskinan yang juga terus meningkat. Maka dari itu, pengembangan sektor energi di NTT diharapkan dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor lain – seperti, pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan – sehingga mampu untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
Dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) 2024-2026, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT memiliki dua strategi besar terkait rencana pembangunan rendah karbon, yaitu: pengelolaan tata ruang yang berkelanjutan dan pengembangan aksi mitigasi emisi GRK, melalui peningkatan pemanfaatan energi terbarukan. Selain itu, beberapa perangkat daerah di NTT seperti Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), saat ini masing-masing sudah memiliki program dan target terkait aksi perubahan iklim. Akan tetapi, keduanya masih memiliki keterbatasan ruang fiskal dan hanya dapat berharap pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Hal ini ternyata juga terjadi di hampir semua kabupaten dan kota yang ada di NTT.
Tantangan dan Peluang Pembangunan Rendah Karbon di NTT
Pembangunan Rendah Karbon dalam dokumen perencanaan daerah dapat diinternalisasikan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (KLHS-RPJMD). Dalam menyusun KLHS-RPJMD, Pemda perlu mempertimbangkan bahwa KLHS-RPJMD harus selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) serta instrumen pembangunan daerah lainnya, termasuk yang terkait daya tampung dan daya dukung daerah.
Saat ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan target kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) bahwa di tahun 2030, penurunan emisi GRK dapat mencapai sekitar 41%. Langkah-langkah yang didorong adalah melalui inventarisasi emisi GRK, penyusunan dan penetapan rencana aksi mitigasi, optimalisasi pelaporan emisi GRK berbasis web, serta memastikan ketersediaan rencana dan penganggaran daerah.
Inisiatif Sektor Keuangan Pemerintah Pusat untuk Daerah
Saat ini, pembiayaan untuk daerah telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). UU HKPD ini disusun guna meningkatkan kapasitas fiskal daerah dengan meningkatkan kualitas belanja daerah (belanja fokus dan optimal), serta harmonisasi kebijakan fiskal pusat-daerah. Meski demikian, untuk mewujudkan percepatan pembangunan daerah diperlukan pendapatan perekonomian yang masif dan tidak dapat hanya mengandalkan transfer dari pusat. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat pun mengusulkan adanya pembiayaan alternatif seperti creative financing, yang di antaranya adalah pembiayaan utang daerah. Pembiayaan utang daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional (HFKN). Terdapat berbagai jenis pinjaman daerah, seperti pinjaman daerah konvensional atau syariah, obligasi daerah, dan sukuk daerah. Pinjaman daerah tersebut dapat dilakukan untuk kebutuhan pengelolaan kas daerah, pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah, pengelolaan portofolio utang daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Opsi Fiskal Daerah Lainnya untuk Mendukung Aksi Perubahan Iklim
Selain pembiayaan utang daerah, terdapat opsi fiskal lainnya untuk daerah dari Pemerintah Pusat, salah satunya adalah transfer fiskal berbasis ekologi atau kinerja perbaikan lingkungan. Transfer fiskal ini terbagi menjadi dua cakupan, yaitu Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE). Kalimantan Utara adalah salah satu provinsi yang telah menerapkan transfer fiskal berbasis ekologi ke kabupaten/kota melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 6 Tahun 2019. Ada 5 (lima) kriteria dalampenilaian yang dilakukan, antara lain: pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Areal Penggunaan Lain (APL), ruang terbuka hijau, pengelolaan persampahan, perlindungan air, dan pencemaran udara.
Wilayah lain yang sudah menerapkan inisiatif TAPE, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Insentif TAPE diberikan kepada Pemda Sulsel sebagai penghargaan (reward) dalam melaksanakan komitmennya pada pembangunan rendah karbon sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (MoU) antara Gubernur Sulawesi Selatan dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam mendukung pembangunan rendah karbon.
Peran Kelompok Kerja (Pokja) Perubahan Iklim dalam Pembangunan Rendah Karbon, Pembangunan Berketahanan Iklim, dan NDC Indonesia
Pokja Perubahan Iklim ini dibentuk dengan anggota-anggota yang memilki latar belakang yang berbeda, seperti akademisi, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, perbankan, wartawan, dan pengusaha. Pokja Perubahan Iklim antara lain berperan dalam: memfasilitasi aktivitas-aktivitas mitigasi perubahan iklim sebagai penjabaran PRK dan PBI; melakukan koordinasi antar stakeholder dalam melakukan aksi-aksi mitigasi dan adaptasi; melakukan advokasi dan sosialisasi terkait peran para stakeholder, serta melakukan pelaporan dalam Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rendah Karbon Indonesia (AKSARA) dan Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional – Sederhana, Mudah, Akurat, Ringkas, dan Transparan (SIGN-SMART); serta mendorong integrasi dan implementasi aksi-aksi mitigasi dan adaptasi untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada dokumen-dokumen perencanaan pembangunan daerah dan dokumen kerja mitra.
Oleh karena itu, Pokja perlu dilibatkan dalam setiap kerja sama mitra daerah sehingga mampu meminimalkan potensi terjadinya double counting dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para mitra tersebut. Melalui keberadaan Pokja ini diharapkan dapat melakukan sinkronisasi dan harmonisasi antar stakeholder dalam aksi perubahan iklim, sehinggadapat terjalin dengan baik.
Bagikan :