MENGENAL SISTEM PELAPORAN DAN TRANSPARANSI DI BAWAH PERSETUJUAN PARIS

Dalam upaya global menghadapi krisis iklim, transparansi menjadi salah satu pilar utama keberhasilan aksi kolektif negara-negara di dunia. Transparansi memungkinkan setiap pihak untuk mengetahui sejauh mana kemajuan, tantangan, dan capaian negara lain dalam memenuhi komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Komitmen terhadap transparansi ini kemudian ditegaskan melalui Persetujuan Paris dengan disepakatinya Enhanced Transparency Framework (ETF). ETF merupakan sebuah kerangka transparansi yang universal dan robust, yang berlaku bagi seluruh Pihak di bawah Persetujuan Paris untuk melaporkan dan meninjau kemajuan pencapaian target penurunan emisi GRK.  

Transparansi dalam konteks perubahan iklim berarti pengukuran yang andal, pelaporan yang terbuka, serta tinjauan ahli yang independen terhadap progres pencapaian target iklim nasional. Melalui ETF, setiap negara Pihak diwajibkan melaporkan kemajuan aksi mitigasi, adaptasi, serta dukungan yang diberikan maupun diterima, untuk dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Laporan ini selanjutnya akan ditinjau melalui proses technical expert review, yang merupakan sebuah mekanisme untuk memastikan akurasi, kredibilitas, dan akuntabilitas dari setiap informasi yang dilaporkan. Laporan dari para Pihak diharapkan menghasilkan data yang dapat diverifikasi, sehingga memperkuat kepercayaan antar-Pihak bahwa setiap negara berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing dalam upaya kolektif global untuk menahan laju terjadinya perubahan iklim. 

Untuk mengoperasionalisasikan kerangka ETF, para Pihak juga menyepakati Modalities, Procedures and Guidelines (MPGs) bagi kerangka transparansi untuk aksi dan dukungan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Persetujuan Paris. Aturan ini selanjutnya diadopsi melalui Decision 18/CMA.1 pada Conference of Parties (COP) ke-24 di Katowice dan menjadi landasan teknis bagi negara-negara dalam melaksanakan kewajiban pelaporan di bawah ETF. 

BTR sebagai Instrumen Transparansi Global 

Dalam kerangka ETF, seluruh Pihak diwajibkan untuk menyampaikan Biennial Transparency Report (BTR) setiap dua tahun sekali. Laporan ini mencakup berbagai elemen kunci, antara lain: National Inventory Reports (NIR); perkembangan pencapaian Nationally Determined Contributions (NDC); kebijakan dan langkah mitigasi; dampak perubahan iklim serta upaya adaptasi; tingkat dukungan dalam bentuk pendanaan; pengembangan dan alih teknologi; penguatan kapasitas; serta kebutuhan dukungan dan area yang masih perlu ditingkatkan. 

BTR yang disampaikan para Pihak akan melalui proses Technical Expert Review (TER). Dalam proses ini, para ahli akan meninjau National Inventory Report (NIR), berisi informasi yang diperlukan untuk menelusuri kemajuan implementasi dan pencapaian NDC, serta informasi terkait dukungan finansial, pengembangan dan alih teknologi, serta bantuan penguatan kapasitas yang diberikan kepada negara berkembang. Setelahnya, para Pihak juga akan mengikuti proses Facilitative Multilateral Consideration of Progress (FMCP), yang menilai upaya negara dalam penyediaan dukungan keuangan – sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Persetujuan Paris – serta kemajuan dalam pelaksanaan dan pencapaian NDC masing-masing. 

Pada COP30 lalu, hasil laporan sintesis dari 101 BTR pertama yang telah disampaikan oleh para Pihak, dikeluarkan. Laporan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas negara Pihak telah berupaya membangun sistem transparansi domestik yang lebih solid. Upaya tersebut diantaranya termasuk pembentukan kerangka hukum, koordinasi kelembagaan yang lebih terstruktur, serta pengembangan sistem data terpusat, untuk memenuhi persyaratan ETF secara lebih efektif. Namun demikian, banyak negara berkembang masih menghadapi keterbatasan yang signifikan, baik dari sisi kelembagaan, teknis, kualitas data, maupun sumber daya manusia

Tantangan dan Pembelajaran Penyusunan BTR dari Negara Berkembang 

Berbagai tantangan dan pembelajaran muncul pada pembahasan penyusunan BTR di COP30 lalu, khususnya dari negara-negara berkembang. Isu yang paling krusial adalah terkait kesenjangan pendanaan yang besar antara kebutuhan untuk penyusunan BTR—termasuk dukungan teknis, pelatihan, dan penguatan kapasitas kelembagaan—dengan dana yang tersedia melalui Global Environment Facility (GEF). Banyak negara berkembang menilai prosedur GEF masih rumit dan lambat, sehingga menghambat kesiapan mereka untuk memenuhi persyaratan pelaporan tepat waktu. Sebagai implikasinya, negara berkembang menegaskan kembali kewajiban pendanaan negara maju berdasarkan Pasal 9.1 Persetujuan Paris, serta mendorong dukungan terhadap pelaporan dan transparansi diposisikan sebagai bagian dari komitmen finansial yang bersifat wajib, bukan sukarela. 

Di samping pendanaan, tantangan besar juga muncul dari keterbatasan kapasitas teknis dan kelembagaan di tingkat nasional. Banyak negara berkembang menyampaikan kendala terkait kualitas dan konsistensi data, kurangnya tenaga ahli, lemahnya koordinasi kelembagaan, serta belum tersedianya sistem data terpusat yang memadai. Kekhawatiran juga muncul terkait terbatasnya pelatihan yang difasilitasi Consultative Group of Experts (CGE) akibat kurangnya pendanaan pada tahun 2025, termasuk risiko kekurangan pendanaan bagi program-program CGE di tahun-tahun berikutnya. Kondisi ini semakin menegaskan perlunya dukungan jangka panjang untuk membangun sistem transparansi domestik yang stabil dan berkelanjutan

Di tengah berbagai keterbatasan tersebut, negara berkembang mendorong adanya peningkatan kerja sama dan pertukaran pembelajaran antarnegara sebagai strategi efektif untuk mengatasi hambatan ETF. Mekanisme peer-to-peer learning, kerja sama regional, serta South-South cooperation dianggap mampu mempercepat peningkatan kapasitas teknis dan kelembagaan, sekaligus memperkuat pemahaman bersama mengenai implementasi ETF. Selain itu, Least Developed Countries (LDCs) dan Small Island Developing States (SIDS) secara khusus meminta prioritas pendanaan dan dukungan teknis tambahan, mengingat tingkat kerentanan mereka yang jauh lebih tinggi dan kapasitas nasional yang lebih terbatas. 

Indonesia sendiri menyampaikan BTR pertamanya kepada Sekretariat UNFCCC pada 24 Desember 2024, kemudian melengkapi seluruh dokumennya pada 6 Mei 2025. Dalam BTR perdana ini, Indonesia juga mengidentifikasi sejumlah langkah perbaikan yang akan menjadi fokus penyempurnaan pada siklus pelaporan berikutnya. Beberapa prioritas yang diidentifikasi meliputi peningkatan kualitas data inventarisasi GRK, evaluasi dampak sosial-ekonomi dari strategi mitigasi, serta penguatan sistem adaptasi berbasis data dan teknologi seperti SIDIK dan InaRisk. Selain itu, penguatan sistem transparansi nasional juga diarahkan pada standarisasi pengumpulan data lintas lembaga, peningkatan sistem Measurement, Reporting, and Verification (MRV), pemanfaatan teknologi seperti satelit dan Artificial Intelligence (AI), hingga pengembangan audit independen dan pelatihan teknis lintas kementerian. 

Refleksi dan Langkah ke Depan 

Transparansi bukan sekadar kewajiban administratif dalam Persetujuan Paris, tetapi menjadi indikator kesungguhan Indonesia dalam menjalankan komitmen iklimnya. Setelah disahkannya Advisory Opinion oleh Mahkamah Internasional (ICJ) terkait Perubahan Iklim, negara kini diingatkan akan adanya konsekuensi hukum atas kelalaian memenuhi tanggung jawab iklim. Artinya, laporan seperti BTR bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen hukum dan moral untuk mempertanggungjawabkan janji di dalam NDC

Dengan adanya format pelaporan melalui BTR, Indonesia kini hanya perlu memastikan implementasinya secara konsisten. Memasuki fase pelaksanaan Second NDC (SNDC), proses ini dapat sekaligus dimanfaatkan untuk memetakan prioritas dan kebutuhan nasional dalam penyusunan BTR maupun pelaporan lain di bawah Persetujuan Paris. Pendekatan ini penting agar Indonesia dapat mengoptimalkan peluang dukungan, baik dalam bentuk kapasitas teknis maupun pendanaan, sekaligus memperkuat tata kelola domestik dalam mencapai target penurunan emisi GRK. 

Bagikan :