Mengenal Bencana dan Inisiasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam Sendai Framework

Penulis: Julia Theresya, Project Officer

 

Bencana dan Faktor-Faktor Penyebabnya

Sejak akhir Desember 2022 lalu, Recover Together, Recover Stronger merupakan slogan yang seringkali terdengar. Presidensi G20 Indonesia mengusung slogan tersebut yang mengandung makna terkait dengan situasi pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia dalam dua tahun terakhir. Tidak hanya dalam situasi pandemi, sebagai salah satu negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia, Indonesia juga perlu membawa semangat ini dalam pemulihan pasca bencana. Sepanjang tahun 2022 lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya telah terjadi 3.522 kejadian bencana alam dengan 5,42 juta orang terdampak (DIBI BNPB, 2022). Hal ini tentunya menjadi ancaman serius bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Bencana merupakan peristiwa yang terjadi dalam waktu dan ruang tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang. Peristiwa tersebut dapat berupa guncangan yang tiba-tiba, seperti wabah penyakit, badai, gempa bumi, dan konflik, tetapi juga dapat muncul dari akumulasi bahaya, seperti kekeringan berkepanjangan, degradasi sumber daya alam, perubahan iklim, dan penurunan ekonomi. Bencana disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor seperti sifat bahayanya, jangkauan terhadap masyarakat dan lingkungan yang terpapar, kerentanan masyarakat, serta kapasitas masyarakat untuk mengurangi potensi bahaya tersebut.

Gambar 1. Hubungan antara Risiko Bencana, Bahaya, Kerentanan, dan Kapasitas. Sumber Gambar: Peraturan Kepala BNPB No.                                                                                                           4 Tahun 2008

Dampak bencana sangat dipengaruhi oleh kerentanan masyarakat terhadap bahaya tersebut. Kerentanan masyarakat sendiri bersifat dinamis yang merupakan hasil dari keseluruhan faktor ekonomi, sosial, budaya, institusional dan politik yang membentuk kehidupan masyarakat dan menciptakan lingkungan tempat mereka hidup. Oleh karena itu, proses pembangunan memainkan peran kunci dalam mengekspos masyarakat terhadap bahaya, serta membentuk kerentanan mereka terhadap potensi bencana (Twigg, 2015). Dalam proses pembangunan ini, pemahaman tentang kerentanan sosial-ekonomi masyarakat dapat menjadi pedoman dalam membuat pilihan tentang bagaimana melakukan intervensi terhadap dampak bencana.

Inisiasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Setelah terjadinya gempa bumi di Kobe tahun 1995, pada bulan Januari 2005 dalam The Second World Conference on Disaster Reduction in Kobe, Japan terbentuklah negosiasi Kobe yang melahirkan rancangan Hyogo Framework for Action 2005-2015. Rancangan tersebut kemudian disetujui dan diadopsi oleh negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Dalam kerangka aksi tersebut diperkenalkan upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sebagai paradigma mutakhir dalam melihat persoalan kebencanaan. Paradigma PRB ini muncul untuk melengkapi atau memperbaiki pendekatan kebencanaan, yang sebelumnya hanya berupa tindakan responsif terhadap kejadian bencana, menjadi pengembangan kajian kebencanaan dalam cakupan yang lebih luas, seperti kemiskinan dan pembangunan sosial (Rafliana, 2014).

Bagi Indonesia, momentum ini bertepatan dengan peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 yang masih sangat jelas menganut paradigma respons atau tanggap darurat bencana. Berbagai kalangan seperti lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, lembaga kemanusiaan, dan akademisi mulai membahas paradigma PRB sebagai salah satu solusi yang dianggap jauh lebih baik untuk melengkapi paradigma tanggap darurat, sehingga Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga mencantumkan terminologi PRB.

                                    Penyintas bencana alam tsunami duduk di dekat reruntuhan bangunan. Sumber Foto: iStock

Sebagai penerus dari Hyogo Framework for Action 2005-2015, pada bulan Maret 2015 disepakati Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 dalam The Third World Conference on Disaster Risk Reduction in Sendai, Japan. Sejak pengadopsian Hyogo Framework, pengurangan risiko bencana telah dianggap sebagai investasi untuk mencegah kerugian di masa yang akan datang dan efektif berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Secara keseluruhan, Hyogo Framework telah menjadi instrumen penting untuk meningkatkan kesadaran publik dan kelembagaan, serta dalam membangun mekanisme internasional untuk koordinasi dan pengembangan kemitraan pengurangan risiko bencana.

Selanjutnya, pada tingkatan global, dokumen Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030 telah banyak digunakan oleh pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, serta menjadi acuan untuk dapat diadaptasi agar sesuai dengan lingkup kerja masing-masing pihak (Twigg, 2015). Hasil dan tujuan yang diharapkan tercantum dalam Sendai Framework adalah pengurangan secara besar-besaran risiko bencana dan kerugian dalam kehidupan, diantaranya terkait mata pencaharian, kesehatan, aset ekonomi, fisik, sosial, budaya dan lingkungan, bisnis, serta komunitas dan negara. Dalam rangka mendukung pencapaian hasil ini, 7 (tujuh) target global juga telah disepakati yang akan diukur di tingkat global dan akan dilengkapi dengan indikator yang sesuai di tingkat nasional. Adapun 7 (tujuh) target global tersebut adalah:

  1. 1. Secara substansial mengurangi angka kematian akibat bencana global pada tahun 2030, yang bertujuan untuk menurunkan rata-rata angka kematian global per 100.000 pada dekade 2020–2030 dibandingkan dengan periode 2005–2015;
  2. 2. Secara substansial mengurangi jumlah orang yang terkena dampak secara global pada tahun 2030, dengan tujuan untuk menurunkan rata-rata angka global per 100.000 pada dekade 2020–2030 dibandingkan dengan periode 2005–2015;
  3. 3. Mengurangi kerugian ekonomi akibat bencana langsung terkait dengan produk domestik bruto (PDB) global pada tahun 2030;
  4. 4. Secara substansial mengurangi kerusakan akibat bencana terhadap infrastruktur kritis dan gangguan layanan dasar, di antaranya fasilitas kesehatan dan pendidikan, termasuk melalui pengembangan ketangguhannya pada tahun 2030;
  5. 5.  Secara substansial meningkatkan jumlah negara dengan strategi pengurangan risiko bencana nasional dan lokal pada tahun 2020;
  6. 6. Secara substansial meningkatkan kerja sama internasional dengan negara berkembang melalui dukungan yang memadai dan berkelanjutan untuk melengkapi aksi nasional mereka untuk implementasi kerangka ini pada tahun 2030;
  7. 7. Secara substansial meningkatkan ketersediaan dan akses terhadap sistem peringatan dini multi-bahaya serta informasi dan penilaian risiko bencana kepada masyarakat pada tahun 2030.

Untuk mengawasi implementasi Sendai Framework, di tingkat PBB hadir UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction) – yang sebelumnya disebut dengan UNISDR (United Nations International Strategy Disaster Reduction) – sebagai vocal point di tingkat PBB untuk pengurangan risiko bencana. Majelis Umum PBB juga telah mengakui peran Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) sebagai forum dua tahunan multi-stakeholder global untuk meninjau kemajuan implementasi Sendai Framework. Dalam platform ini, pemerintah, sistem PBB, dan semua pemangku kepentingan berkumpul untuk berbagi pengetahuan, mendiskusikan perkembangan dan tren terkini dalam mengurangi risiko bencana, mengidentifikasi kesenjangan, serta membuat rekomendasi untuk lebih mempercepat penerapan Sendai Framework (UNDRR, 2022).

Menerapkan Sendai Framework di Indonesia

Indonesia sendiri telah menggunakan Sendai Framework sebagai prinsip umum untuk merumuskan Perpres No. 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044 (RIPB), dimana Peta Jalan Pelaksanaan RIPB terbagi dalam tahap capaian dengan rentang waktu 5 (lima) tahunan. Peta Jalan Pelaksanaan RIPB telah mengadopsi 4 (empat) prioritas utama dalam Sendai Framework, yaitu 1) peningkatan kajian risiko bencana; 2) peningkatan sinergi kelembagaan dan ketahanan tata kelola risiko bencana; 3) penguatan investasi pengelolaan risiko bencana; serta 4) peningkatan kesiapan untuk respon yang efektif. Adanya undang-undang dan peraturan yang telah berlaku di Indonesia seperti ini, merupakan upaya antisipatif dalam mengurangi risiko bencana di masa depan, yang tentu saja implementasinya harus kita awasi bersama.

——————

Rujukan

DIBI [Data Informasi Bencana Indonesia]. 2022. BNPB [Badan Nasional Penanggulangan Bencana].

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044.

Rafliana, Irina. 2014. Pengurangan Risiko Bencana: Sebuah Restrospeksi Pasca-Tsunami Aceh 2004. EMPATI: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Vol. 3 No. 1 Juni 2014.

Twigg, John. 2015. Disaster Risk Reduction: Good Practice Review 9. United Kingdom: Overseas Development Institute.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

UNDRR [United Nations for Disaster Risk Reduction]. 2007. Hyogo Framework for Actions 2005-2015.

UNDRR [United Nations for Disaster Risk Reduction]. 2015. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030.

Bagikan :