Pendanaan iklim telah menjadi tantangan bagi negara berkembang, seperti Indonesia, dimana pendanaan yang tersedia untuk melakukan aksi iklim tidak semuanya dalam bentuk hibah. Itu sebabnya, dibutuhkan dukungan pendanaan dari sumber lain, untuk memungkinkan Indonesia dalam melaksanakan pembangunan yang rendah emisi gas rumah kaca (GRK) dan berketahanan iklim. Sumber pendanaan lain juga dapat dimobilisasi di dalam negeri, dengan meningkatkan peran sektor swasta, baik sektor riil maupun keuangan.
Melihat pentingnya peran sektor keuangan dalam mendukung aksi iklim di Indonesia, Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia bekerja sama dengan Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) telah melaksanakan diskusi terbatas pada tanggal 22 Agustus 2024, yang memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil untuk melakukan aksi iklim. Menindaklanjuti sesi diskusi tersebut, PKSK BKF Kementerian Keuangan, bekerja sama dengan IRID, kembali mengadakan sesi diskusi terkait peran sektor keuangan dalam pembiayaan aksi iklim di sektor energi dan industri, yang dilaksanakan pada tanggal 6 November 2024 di Hotel Pullman Thamrin, Jakarta. Diskusi tersebut bertujuan untuk memperdalam sejauh mana peran sektor keuangan dapat dioptimalkan, utamanya pada sektor energi dan industri.
Peluang dan Tantangan Pembiayaan Industri di Indonesia
Sebagai salah satu sektor yang memainkan peran penting dalam upaya penurunan emisi GRK di Indonesia, Kementerian Perindustrian telah menyusun strategi dekarbonisasi sektor industri yang mencakup sembilan sub sektor industri prioritas, yakni semen, amonia, besi baja, pulp dan kertas, tekstil, kimia, keramik dan kaca, makanan dan minuman, serta alat transportasi. Namun, keterbatasan pendanaan menjadi tantangan terbesar untuk melakukan upaya dekarbonisasi sektor industri. Beberapa tantangan pendanaan tersebut mencakup:
- biaya (cost of fund) untuk penyaluran pembiayaan hijau yang relatif sama, baik untuk proyek kecil maupun besar;
- kebutuhan pembiayaan transformasi industri hijau yang umumnya tidak terlalu besar;
- kebutuhan pembiayaan untuk melakukan pendampingan intensif, guna meningkatkan pemahaman dan kesiapan pelaku industri untuk melakukan upaya pengurangan emisi yang masih rendah;
- biaya sertifikasi Standar Industri Hijau (SIH)1 termasuk validasi serta verifikasi emisi GRK yang tinggi; serta
- kurangnya insentif dan kompensasi bagi kepatuhan pelaku industri terhadap kebijakan penurunan emisi GRK.
Estimasi kebutuhan pembiayaan dekarbonisasi hingga tahun 2030, sebagaimana yang diperkirakan oleh Kementerian Perindustrian, khususnya biaya implementasi teknologi rendah karbon untuk 4 sub sektor (semen, pupuk, besi baja, dan kimia), mencapai USD 595. 672.752. Jumlah tersebut dinilai cukup besar dan membutuhkan dukungan pendanaan lain untuk membiayai upaya dekarbonisasi di sektor industri. Itu sebabnya, Kementerian Perindustrian saat ini memperkenalkan konsep Green Industry Service Company atau GISCO. Penerapan konsep GISCO diharapkan dapat menjembatani kebutuhan pendanaan dekarbonisasi sektor industri, dengan menjadi aggregator pembiayaan hijau dalam rangka transformasi industri hijau. Selain itu, kerja sama dengan mitra pembangunan lainnya juga perlu didorong, termasuk dengan sektor keuangan.
Just Energy Transition Partnership (JETP)
Sekretariat JETP saat ini sedang melakukan pembaruan dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang diterbitkan pertama kali di tahun 2023. Pada saat yang bersamaan, Sekretariat JETP juga sedang menyusun studi terkait captive power untuk melihat pilihan apa saja yang dapat dilakukan terkait dengan captive power. Misalnya, bagaimana efisiensi energi dan energi terbarukan dapat digunakan di sektor industri.
Terdapat 2 kategori status pendanaan yang dimiliki oleh Sekretariat JETP, yaitu “telah disetujui” dan “dalam proses”. Saat diskusi pada tanggal 6 November 2024 tersebut, terdapat 33 program hibah atau bantuan teknis yang sedang berjalan dengan jumlah pendanaan sebesar USD 217.8 juta dan sebanyak 6 program yang sedang dalam proses negosiasi dengan jumlah pendanaan sebesar USD 78.4 juta. Untuk pinjaman atau investasi ekuitas yang telah disetujui, terdapat 8 program dengan nominal mencapai USD 994.68 juta. Sementara untuk pinjaman atau investasi ekuitas dalam proses, terdapat 19 rencana program dengan kisaran nominal USD 5.3-6.1 miliar. Tantangan terkait pembiayaan dalam konteks JETP hingga saat ini adalah untuk menemukan project yang bankable.
Peran Sektor Keuangan untuk Aksi Iklim di Sektor Energi dan Industri
Salah satu tantangan terbesar mengenai pendanaan transisi energi adalah yang terkait coal phase-out. Hal yang saat ini dapat dilakukan adalah dengan mengundang perbankan untuk melakukan refinancing dengan bunga yang lebih rendah. Pengurangan beban bunga ini dapat diantisipasi melalui penyediaan hibah. Walau demikian, dana hibah tidak selalu tersedia.
Dalam skenario JETP, peran penting sektor keuangan yang dapat didorong adalah dengan menyediakan investasi untuk pengembangan energi terbarukan, khususnya pada proyek-proyek potensial yang berbasis angin, solar, dan hidro. Sektor keuangan seperti perbankan Indonesia dapat berperan aktif untuk membiayai proyek energi terbarukan tersebut. Sementara dari sisi industri, peran sektor keuangan yang diharapkan antara lain adalah menyediakan regulasi yang mendukung pembiayaan dekarbonisasi sektor industri, menyusun pembiayaan hijau yang pro terhadap dekarbonisasi sektor industri, serta mendukung dan memberikan akses terhadap pembiayaan hijau.
Salah satu push factor yang dapat disediakan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan menetapkan keharusan agar industri meningkatkan bauran energi terbarukannya hingga minimal 20%. Minimum bauran energi terbarukan ini selain dapat diberlakukan pada industrinya sendiri, dapat juga diberlakukan pada kawasan industri. Memalui upaya ini, diharapakn terjadi peningkatan energi terbarukan di industri dan kawasan industri, sehingga dapat beralih dari fosil.
Bagikan :