Conference of the Parties ke-30 (COP30) akan diadakan bersamaan dengan Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Protocol Kyoto ke-20 (CMP20) dan Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement ke-7 (CMA7) pada tanggal 10-21 November 2025 di Belém, Brasil. Perundingan iklim dalam konteks United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ini memiliki berbagai agenda yang akan menjadi fokus pembahasan dan kesepakatan bersama. Dalam hal ini, kelompok masyarakat sipil memiliki peran penting guna mendorong lahirnya kesepakatan negosiasi iklim yang berkeadilan.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyadari bahwa agar kelompok masyarakat sipil dapat berfungsi secara optimal pada COP30 mendatang, diperlukan pertukaran informasi tentang berbagai agenda yang akan dibahas di COP30, CMP20, dan CMA7. Oleh karena itu, IRID telah melaksanakan sesi diskusi antar kelompok masyarakat sipil pada tanggal 23 Oktober 2025 di Hotel Le Méridien, Jakarta, dengan fokus pembahasan mengenai Advisory Opinion ICJ terkait Perubahan Iklim, Just Transition Work Programme (JTWP), Global Goal on Adaptation (GGA), dan pendanaan iklim.

Advisory Opinion ICJ terkait Perubahan Iklim dan Implikasinya terhadap Komitmen Iklim Global
Pada 23 Juli 2025, Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) mengeluarkan Advisory Opinion (AO) tentang perubahan iklim. Menurut ICJ, salah satu kewajiban negara adalah melakukan aksi mitigasi, yang dapat disampaikan melalui komitmen iklim internasional negara pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Substansi dari NDC tersebut harus menunjukan aksi yang ambisius, mempertimbangkan hasil Global Stocktake[1], dan mampu membuktikan bahwa target yang ditetapkan berkontribusi secara layak dalam menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi di bawah 1,5°C.
Selain mitigasi, negara juga berkewajiban untuk melakukan perencanaan dan implementasi aksi adaptasi, termasuk melalui penguatan kebijakan dan program adaptasi. Kewajiban lainnya yang disampaikan dalam AO tersebut adalah kewajiban untuk bekerja sama guna mencapai tujuan Persetujuan Paris. Apabila kewajiban tersebut dilanggar oleh suatu negara, maka negara perlu bertanggung jawab dengan menghentikan tindakan pelanggaran dan menjamin bahwa negara tidak akan mengulangi pelanggarannya lagi.
Status Pembahasan Just Transition Work Programme (JTWP)
Pembahasan JTWP pertama kali dimulai pada CMA4, ketika para Pihak sepakat untuk membentuk suatu work programme guna mendiskusikan pathways untuk mencapai tujuan Persetujuan Paris, melalui upaya-upaya yang adil. Pada CMA6 lalu, perundingan para Pihak terkait JTWP tidak menghasilkan kesepakatan. Padahal, efektivitas JTWP akan di-review dan ditentukan keberlanjutannya pada CMA8. Maka dari itu, CMA7 akan menjadi momentum krusial bagi JTWP, dan para Pihak diharapkan dapat menyepakati hasil konkret dari JTWP.
Menjelang COP30, pada perundingan Subsidiary Bodies yang ke-62 (SB62) di bulan Juni 2025, terlihat perbedaan pandangan antara negara maju dan berkembang, utamanya yang terkait cakupan kerja dan actionable outcomes dari JTWP. Negara berkembang mendorong dibentuknya suatu mekanisme untuk memobilisasi Means of Implementation/MoI (peningkatan kapasitas, pendanaan, transfer teknologi) guna merealisasikan transisi berkeadilan dan pembahasan khusus mengenai isu unilateral trade measures (UTM)[2] di bawah JTWP. Sedangkan, negara maju mengharapkan JTWP dapat mengakomodasi agenda bertransisi dari bahan bakar fosil – ‘transitioning away from fossil fuels’[3] – secara berkeadilan dalam JTWP. MoI, UTM, dan isu energi, antara lain, menjadi isu yang perlu disepakati para Pihak pada CMA7/COP30.

Status Pembahasan Global Goal on Adaptation (GGA)
GGA adalah sebuah komitmen kolektif di bawah Pasal 7.1 Perjanjian Paris yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi, memperkuat ketahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim. Sejak Maret 2025, telah dilakukan empat workshop under UAE-Belém Work Programme yang bertujuan untuk mengurangi jumlah indikator untuk mengukur kemajuan GGA agar jumlahnya tidak melebihi 100 indikator, dari yang berjumlah sekitar 10.000 indikator.
Pada workshop terakhir (3-4 Oktober 2025), para Pihak telah berhasil mengurangi jumlah indikator hingga 100. Berdasarkan daftar indikator tersebut, kelompok negara maju telah menganggapnya sebagai sebuah pencapaian yang signifikan. Sementara itu, kelompok negara berkembang berpendapat bahwa daftar indikator belum siap untuk diadopsi dan perlu revisi secara substansial. Pada CMA7, diharapkan terdapat keputusan akhir bahwa indikator untuk mengukur kemajuan GGA dapat diadopsi dan segera diimplementasikan.
Status Negosiasi Agenda Pendanaan Iklim
Agenda pendanaan iklim yang menjadi agenda pembahasan di Belém, di antaranya implementasi Pasal 9.1 Persetujuan Paris, Pasal 2.1c Persetujuan Paris, dan Baku to Belém Roadmap (B2BR). Pasal 9.1 Persetujuan Paris merupakan basis bagi negara berkembang untuk meminta negara maju menyediakan pendanaan guna mendukung aksi iklim negara berkembang. Agenda Pasal 9.1 Persetujuan Paris sebelumnya telah diusulkan oleh Bolivia pada SB62, dan kembali diusulkan untuk dibahas pada COP30. Pada COP30, agenda ini penting untuk memastikan bahwa negara-negara maju memenuhi komitmen pendanaan iklimnya.
Pasal 2.1c merupakan salah satu tujuan Persetujuan Paris, yakni untuk menyelaraskan seluruh aliran pendanaan dengan jalur (pathways) menuju pembangunan rendah emisi gas rumah kaca (GRK) dan berketahanan iklim. Pada CMA6 lalu, pembahasan terkait agenda ini adalah melanjutkan proses penentuan lingkup dan operasionalisasi Pasal 2.1c. Kelanjutan dari agenda ini diharapkan dapat ditentukan pada CMA7, termasuk yang terkait dengan keberlanjutan dari pembahasan agenda ini di masa yang akan datang, guna memastikan seluruh aliran pendanaan mengarah ke pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim.
B2BR diluncurkan sebagai mandat dari keputusan terkait New Collective Quantified Goal (NCQG), yang bertujuan untuk meningkatkan pendanaan iklim setidaknya sebesar USD 1,3 triliun per tahun untuk negara-negara berkembang hingga tahun 2035. B2BR akan menjadi dokumen yang dihasilkan oleh Presiden CMA6 (Azerbaijan) dan CMA7 (Brasil), dan bukan bagian dari agenda negosiasi. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan terkait implementasi dari B2BR pasca peluncurannya. Oleh karena itu, pada CMA7, diharapkan terdapat kejelasan mengenai implementasi dari B2BR.
Peran Kelompok Masyarakat Sipil dalam COP30
Diskusi ini juga menekankan berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil dalam mengkomunikasikan isu COP30 di Indonesia. Salah satunya dengan menyusun narasi terkait solusi iklim di bawah kepemimpinan COP30 yang berlandaskan pada nilai keadilan, kelestarian, dan kesejahteraan. Ketiga nilai tersebut merupakan nilai dasar yang relevan bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga dinilai lebih mampu mendorong aksi nyata dari aktor pemerintah maupun non-pemerintah di Indonesia. Selain itu, kelompok masyarakat sipil juga perlu bekerja sama dalam menyelaraskan narasi dan memperkuat advokasi seputar isu diplomasi iklim di Indonesia, utamanya dalam rangka COP30 mendatang.
[2] Unilateral Trade Measures (UTM) adalah kebijakan perdagangan sepihak yang dibuat oleh suatu negara untuk mendorong standar lingkungan tertentu pada mitra dagangnya.
Bagikan :

