Pada Conference of the Parties ke-28 (COP28) di Dubai yang lalu, seluruh negara Pihak menyepakati fakta ilmiah bahwa kenaikan temperatur rata-rata global yang saat ini dialami oleh dunia sudah mencapai 1,1oC di akhir tahun 2023, sesuai dengan yang disampaikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Walau demikian, target untuk mencegah kenaikan temperatur rata-rata global tidak melebihi dari 1,5oC masih dapat dilakukan, dengan catatan aksi iklim untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) harus dilakukan secepat mungkin. Selain itu, upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pun harus ditingkatkan dalam rangka pembangunan rendah emisi GRK dan berketahanan iklim. Namun, upaya-upaya ini juga harus dilakukan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan tidak mengancam produksi pangan.
Pada titik tertentu, dampak perubahan iklim tidak dapat dikelola dengan baik akibat keterbatasan yang dimiliki, baik oleh bumi ini maupun manusia yang menempatinya. Pada saat itu, dampak perubahan iklim akan menyebabkan kerusakan dan kehilangan yang merugikan, termasuk pada keanekaragaman hayati. Kerusakan dan kehilangan yang terjadi dapat bersifat irreversible (tidak dapat kembali lagi ke kondisi semula), berlangsung secara perlahan atau yang disebut sebagai slow onset event, dan kerap tidak dapat teridentifikasi dengan cepat.
Dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh kenaikan temperatur juga dapat mengancam keanekaragaman hayati di seluruh dunia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Keanekaragaman hayati yang terdampak bukan hanya yang terkait dengan komoditas dengan nilai ekonomi tinggi, namun juga yang terkait dengan konsumsi sehari-hari dari masyarakat lokal. Populasi keanekaragaman hayati yang terancam juga bukan hanya terdapat di daratan, namun juga di perairan.
Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) dan Yayasan PIKUL memandang pentingnya untuk melihat bagaimana dampak perubahan iklim memengaruhi terjadinya kehilangan dan kerusakan keanekaragaman hayati di NTT, yang dapat berujung pada ketahanan pangan dan ekosistem sekitarnya. Itu sebabnya, IRID dan Yayasan PIKUL mengadakan rangkaian diskusi terkait dengan potensi kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati di NTT. Diskusi yang dilangsungkan pada tanggal 3 Oktober 2024 ini merupakan lanjutan diskusi dengan topik yang sama pada tanggal 4 September 2024 yang lalu. Namun pada diskusi ini, fokus pembahasan akan terletak pada beberapa komoditas pilihan, yaitu kopi, pisang, rumput laut, serta ikan cakalang.
Bagikan :

