Conference of the Parties ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, pada tahun 2024, telah menghasilkan kesepakatan terkait target pendanaan iklim yang baru yang disebut dengan New Collective Quantified Goal (NCQG). Kesepakatan tersebut di antaranya adalah memobilisasi pendanaan iklim setidaknya USD 300 miliar per tahun hingga tahun 2035, yang dipimpin oleh negara maju. Mobilisasi pendanaan tersebut ditujukan untuk mendukung negara berkembang melakukan implementasi aksi iklim, sesuai kebutuhan dan prioritas masing-masing. Para Pihak juga sepakat untuk meluncurkan ‘Baku to Belém Roadmap to 1.3 T’ (B2BR) pada Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement ke-7 (CMA7) yang bertepatan dengan COP30 di bulan November 2025 mendatang.
Menuju COP30, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) memandang pentingnya bagi para pihak untuk memperoleh pemahaman terkait B2BR, termasuk proses penyusunan dan elemen-elemen penting yang terkandung di dalamnya.
B2BR dan Implikasinya bagi Indonesia
B2BR merupakan peta jalan yang diharapkan dapat menggambarkan upaya-upaya mobilisasi pendanaan iklim apa saja yang dapat dilakukan untuk mencapai USD 1,3 triliun per tahun hingga 2035. Paragraf 7 dari decision mengenai NCQG di CMA6 menyatakan bahwa sumber pendanaan tersebut dapat berasal dari dana publik maupun privat, di mana seluruh aktor diundang untuk berkontribusi untuk mencapai target tersebut. Brasil, sebagai Presiden CMA7 beserta dengan Presiden CMA6 (Azerbaijan), diberikan mandat untuk menyusun laporan terkait dengan peta jalan ini. Oleh karena itu, Brasil membentuk inisiatif COP30 Circle of Finance Ministers untuk menghasilkan sebuah laporan yang dapat berkontribusi pada penyusunan B2BR. Indonesia merupakan salah satu di antara 35 negara Pihak yang tergabung dalam Circle tersebut.
Keterlibatan seluruh aktor untuk berkontribusi dalam pencapaian target USD 1,3 triliun per tahun hingga 2035, memberikan sinyal urgensi terkait siapa saja aktor yang perlu diperhitungkan. Bagi Indonesia, negara-negara maju merupakan salah satu aktor yang dipandang perlu meningkatkan komitmen pendanaan iklim yang dapat diprediksi bagi negara berkembang, berbasis hibah atau berupa pinjaman lunak (concessional loan).
Menteri keuangan, menteri perencanaan, menteri yang memimpin isu iklim, dan otoritas sektor keuangan di negara berkembang dan negara maju, juga dipandang sebagai aktor yang dapat berkontribusi dengan cara menciptakan ekosistem pemungkin untuk investasi aksi iklim di suatu negara. Coalition of Finance Ministers for Climate Action (CFMCA)[1] juga teridentifikasi sebagai salah satu pihak yang dapat memberi pandangan terkait alokasi pendanaan iklim domestik secara efektif, serta mengidentifikasi ekosistem pemungkin yang diperlukan. Peran Multilateral Development Banks (MDBs) dan bank pembangunan nasional juga sangat penting dalam menjembatani komitmen publik dan kebutuhan investasi di sektor ekonomi riil. Aktor lainnya, yaitu sektor swasta juga diharapkandapatberkontribusi guna menutupi kebutuhan pendanaan skala besar, mengingat terbatasnya sumber pendanaan publik.

Peluang Tropical Forest Forever Facility (TFFF)
TFFF merupakan inisiatif pendanaan global yang dibentuk Pemerintah Brasil yang akan diluncurkan secara resmi pada COP30. Tujuan utama inisiatif ini adalah menghimpun pendanaan untuk konservasi hutan tropis secara berkelanjutan melalui sumber dana swasta dan publik. TFFF menyediakan insentif jangka panjang berbasis kinerja bagi negara-negara pemilik hutan tropis (Tropical Forest Countries/TFCs) untuk menjaga dan meningkatkan tutupan hutan[2] tropis. Oleh karena itu, TFFF dapat menjadi peluang mobilisasi pendanaan jangka panjang dalam upaya konservasi dan rehabilitasi hutan, termasuk di Indonesia.
Dalam skenario yang disusun Pemerintah Brasil, TFCs dapat menerima insentif sebesar USD 4 untuk setiap hektar luasan hutan tropis lembab yang ada, dengan penerapan diskon berjenjang untuk setiap hektar lahan yang mengalami deforestasi/degradasi. TFFF juga mewajibkan minimum 20% dari total insentif yang diterima melalui TFFF agar dialokasikan untuk masyarakat adat dan komunitas lokal. Keberhasilan TFCs dalam memanfaatkan berbagai peluang tersebut tidak terlepas dari kemampuannya dalam memenuhi sejumlah kriteria dari TFFF. Kriteria tersebut di antaranya adalah kemampuan TFCs mengendalikan deforestasi dan degradasi hutan, serta menerapkan sistem pemantauan hutan yang transparan sesuai dengan standar TFFF.
Tantangan dan Hambatan Mobilisasi Pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia
Hingga akhir Agustus 2025, dari total USD 19,6 miliar yang dijanjikan, baru sekitar USD 1,25 miliar telah disetujui untuk JETP Indonesia. Walaupun kemajuannya terlihat lambat, namun mobilisasi pendanaan JETP di Indonesia dinilai lebih progresif dibandingkan negara penerima JETP lainnya. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembiayaan JETP di Indonesia adalah yang terkait dengan akses pendanaan ke MDBs. Standar pengadaan MDBs dipandang kurang fleksibel terhadap kebijakan nasional, misalnya yang terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selain itu, paket pembiayaan yang ditawarkan oleh MDBs cenderung berbunga tinggi dan hampir serupa dengan bank komersial, alih-alih menjadi katalis pendanaan untuk pembangunan. Itu sebabnya, untuk meningkatkan mobilisasi pendanaan iklim di negara-negara berkembang, reformasi MDBs menjadi krusial.
Walau demikian, Indonesia juga harus mempersiapkan dirinya saat akan mengakses dana iklim. Belajar dari JETP Indonesia, pentingnya bagi Indonesia untuk memiliki peta jalan transisi energi berkeadilan yang terstruktur dan jelas, menjadi kunci untuk mengakses dan memanfaatkan dana iklim secara optimal.

Peran Country Platform dalam Mendanai Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia
Model country platform merupakan salah satu model yang diusung oleh Brasil untuk menjadi bagian dari B2BR. Di Indonesia, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) mendapatkan mandat untuk menjadi Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform Manager yang memainkan peran penting dalam pendanaan transisi energi di Indonesia. PT SMI berperan penting dalam mencari sumber pendanaan lain, selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan memanfaatkan pendekatan blended finance[3] untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.
Hingga Agustus 2025, PT SMI telah menyalurkan pembiayaan ke 19 proyek energi terbarukan sejak tahun 2022, dengan total pembiayaan mencapai Rp. 3,8 triliun. Proyek energi terbarukan yang dimaksud, terdiri dari: 4 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), 12 Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), 1 Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), 1 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dan 1 Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Pembelajaran Indonesia dalam Mengakses Pendanaan Multilateral: Adaptation Fund (AF) dan Green Climate Fund (GCF)
Kemitraan merupakan entitas Indonesia yang terdaftar sebagai Direct Access Entity (DAE) untuk GCF[4] sekaligus National Implementing Entity (NIE) untuk AF[5]. Walau demikian, bagi Kemitraan mengakses pendanaan iklim merupakan tantangan tersendiri, walaupun dana tersebut telah tersedia. Tantangan pertama, terkait dengan proses akreditasi yang dapat memakan waktu bertahun-tahun. Setelah terakreditasi, proses pengembangan dan pengajuan proposal pendanaan pun tidak mudah. Terdapat berbagai kriteria yang harus dipenuhi, seperti menjabarkan rasional iklim dalam proposal. Berdasarkan pengalaman Kemitraan, diperlukan waktu sekitar 1-4 tahun untuk mengajukan proposal pendanaan iklim melalui GCF, mulai dari penyusunan concept note hingga mendapat persetujuan Board (Board’s approval)[6]. Tantangan akses pendanaan ini tentu menghambat negara berkembang untuk melakukan aksi iklimnya.
Itu sebabnya, penyelesaian terhadap tantangan-tantangan prosedural dalam mengakses pendanaan iklim multilateral perlu menjadi salah satu komponen dalam B2BR. Hal ini dapat dilakukan dengan menyederhanakan dan mempercepat proses persetujuan pendanaan proyek, terutama bagi negara-negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Selain itu, B2BR juga diharapkan dapat mencakup aspek peningkatan kapasitas guna mengatasi keterbatasan kapasitas negara-negara berkembang dalam mengembangkan proposal yang memenuhi persyaratan pendanaan dari lembaga pendanaan multilateral.
[1] The Coalition of Finance Ministers for Climate Action terdiri atas para pembuat kebijakan fiskal dan ekonomi yang mewakili lebih dari 90 negara termasuk Indonesia, yang memimpin respons global terhadap perubahan iklim dan memastikan transisi yang adil menuju pembangunan rendah karbon yang tangguh.
[2] Tutupan hutan adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan seperti tata air, iklim mikro, dan habitat satwa sebagai satu ekosistem hutan.
[3] Blended finance adalah skema dan struktur pendanaan low cost financing dengan menggabungkan commercial loan dari sektor swasta dan concessional loan dari multilateral development bank, seperti World Bank.
[4] DAE untuk GCF adalah entitas terakreditasi subnasional, nasional atau regional yang memenuhi syarat untuk mengakses pendanaan GCF.
[5] NIE untuk AF adalah lembaga pelaksana nasional di Indonesia yang terakreditasi untuk menyalurkan dan mengelola dana adaptasi perubahan iklim dari AF.
[6] Baca lebih lanjut terkait tantangan dalam mengakses pendanaan multilateral melalui Dicussion Paper ‘Memahami Isu Kebutuhan dan Prioritas (Needs and Priorities) serta Akses Indonesia dalam Pendanaan Iklim’ pada laman berikut: https://irid.or.id/wp-content/uploads/2025/05/Memahami-Isu-Kebutuhan-dan-Prioritas-Needs-and-Priorities-serta-Akses-Indonesia-dalam-Pendanaan-Iklim.pdf
Bagikan :

