UNCC June Climate Meetings (SB 62)[1]: Memastikan Keberlangsungan Adaptation Fund

Adaptation Fund (AF) merupakan salah satu pendanaan iklim multilateral bentukan proses dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), namun memiliki tata kelola yang diatur oleh Kyoto Protocol (KP). Adaptation Fund merupakan institusi pendanaan multilateral yang menyediakan pendanaan khusus untuk aksi-aksi adaptasi berbasis hibah, yang pada awalnya dirancang untuk menerima pendanaan dengan sumber utama berasal dari share of proceeds dari Clean Development Mechanism (CDM) sebesar 2%. Namun, oleh karena harga Certified Emission Reduction (CER) yang turun signifikan, Adaptation Fund kemudian dimungkinkan untuk menerima konstribusi sukarela dari negara-negara kontributor.

Operasional AF yang memberikan dana hibah bagi upaya adaptasi di negara-negara berkembang, menjadikan AF sebagai mekanisme pendanaan yang penting bagi negara-negara berkembang. Modalitas akses pendanaan yang diterapkan juga memperkenalkan konsep akses langsung melalui direct access entity yang memungkinkan lembaga nasional atau lokal dapat mengakses langsung dana AF, sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Konsep ini juga yang kemudian diadopsi oleh Green Climate Fund (GCF) terkait dengan modalitas akses, karena dapat menjangkau entitas nasional bahkan lokal. Karena sumber pendanaan utama AF berasal dari transaksi CDM, banyak pihak yang mengatakan bahwa AF merupakan solidarity fund dari sesama negara berkembang, walaupun pada akhirnya, AF kemudian lebih banyak disokong oleh kontribusi sukarela dari negara-negara maju.

Adaptation Fund di Indonesia

Beberapa project Adaptation Fund juga ada di Indonesia. Melalui satu-satunya National Implementing Entity (NIE) di Indonesia, yaitu Kemitraan, saat ini Indonesia telah mengakses sekitar USD 9,72 juta (per 30 Juni 2025), mendanai 5 project yang tersebar di seluruh Indonesia. Memiliki entitas yang dapat mengakses langsung Adaptation Fund, tentunya memberikan keuntungan bagi Indonesia. Apalagi, saat ini Adaptation Fund memiliki cap per negara sebesar USD 40 juta, di mana nilai project tertinggi yang dapat disetujui dapat mencapai USD 25 juta. Apabila terdapat project regional di mana Indonesia merupakan salah satu negara penerimanya, maka project tersebut dapat mengakses dana hingga USD 30 juta, di luar cap per negara. Masing-masing negara, termasuk Indonesia, juga dapat memiliki maksimum 2 (dua) NIE, untuk meningkatkan akses negara berkembang pada pendanaan tersebut. Itu sebabnya, kelangsungan Adaptation Fund menjadi sangat penting bagi Indonesia.

Indonesia pun masih memiliki ruang untuk memanfaatkan pendanaan melalui Adaptation Fund jika melihat besaran dana yang telah diakses dan cap negara yang disediakan. Menambah NIE di Indonesia juga dapat menjadi salah satu solusi bagi Indonesia untuk mengoptimalkan cap yang disediakan bagi setiap negara, selain dengan meningkatkan jumlah proposal yang berkualitas yang dapat diajukan Indonesia.

Pembahasan Adaptation Fund di SBI 62

Salah satu agenda pembahasan di sesi Subsidiary Body for Implementation (SBI) ke-62 di Bonn, Jerman, 16-26 Juni 2025 yang lalu, berkisar mengenai Adaptation Fund. Utamanya yang terkait dengan proses transisi AF dari KP ke Paris Agreement (PA), keanggotaan Board dari AF, serta proses review AF kelima yang dimandatkan oleh CMP17 untuk diinisiasi pada SBI 62 bulan Juni 2025 ini.

Para Pihak melalui Decision 1/CMP.14 paragraf 1 dan 2 menyepakati bahwa 1 Januari 2019 merupakan saat dimana AF dinyatakan akan beroperasi sesuai dengan ketentuan PA. Walau demikian, paragraf 2 dari keputusan yang sama menyatakan bahwa AF baru akan sepenuhnya berada di bawah otoritas PA, apabila share of proceeds dari aktivitas yang berada pada lingkup Pasal 6 paragraf 4 dari PA, telah tersedia. Sebelum hal itu terjadi, maka AF masih mengikuti otoritas KP dimana sumber pendanaan yang berasal dari share of proceeds CDM, masih dapat diterima oleh AF.

Pada saat AF telah sepenuhnya berada di bawah otoritas Persetujuan Paris, maka selayaknya terminologi yang digunakan di AF juga perlu disesuaikan. Salah satunya adalah dengan menyesuaikan terminologi negara yang digunakan: dari Annex I dan non-Annex I, menjadi developed dan developing countries. Terminologi ini sebenarnya telah digunakan oleh Green Climate Fund (GCF) dan Fund for Responding to Loss and Damage (FRLD) sebagai financial mechanism UNFCCC yang juga berada di bawah otoritas dari PA. Jika perubahan terminologi ini dilakukan, maka terminologi ini  akan digunakan saat pemilihan Board dari AF.

Review AF yang dimandatkan untuk dimulai pada tahun 2025 juga menjadi salah satu pertimbangan para Pihak terkait penentuan waktu yang tepat untuk melakukan review. Apabila dilakukan saat ini di tahun 2025 – sesuai dengan mandat dari CMP 17- maka proses review akan berada di bawah otoritas dari KP. Namun, apabila para Pihak memutuskan bahwa waktu yang tepat untuk AF berpindah ke PA adalah antara saat ini hingga COP31, maka, terdapat kemungkinan bahwa saat masa review selesai, AF sebenarnya sudah berada di bawah otoritas PA. Artinya para Pihak yang meratifikasi PA, tetap tidak dapat memberikan memberikan kontribusi yang optimal, karena proses review dimulai dan berlangsung di bawah KP. Sebagai catatan, tidak semua negara yang meratifikasi PA adalah negara yang meratifikasi KP.

Pembahasan Adaptation Fund di COP30 Belém

Memastikan proses transisi AF yang lancar ternyata tidak semudah seperti yang disepakati para Pihak pada CMP14 di Katowice pada saat itu. Proses transisi AF dari KP ke PA ternyata bukan hanya memastikan bahwa share of proceed dari Pasal 6.4 sudah tersedia, namun diperlukan juga pembangunan ‘infrastruktur’ tata kelola saat AF berada sepenuhnya di bawah PA. Menentukan waktu transisi yang tepat menjadi sangat krusial. Jangan sampai pada saat transisi dilakukan, seluruh aset AF – misalnya seperti jumlah CER yang belum dimonetisasi – yang didapatkan pada periode KP tidak dapat dicairkan seluruhnya, sehingga tidak dapat dialihkan ke rejim AF di bawah PA.

Proses transisi juga melibatkan perubahan Memorandum of Understanding (MoU) dari trustee AF, yaitu Bank Dunia atau World Bank (WB). Saat ini, MoU tersebut – salah satunya – hanya memuat peran  WB untuk mencairkan share of proceed dari CDM sebagai pemasukan dari AF. Namun, saat AF telah berada di bawah PA sepenuhnya, maka MoU tersebut harus menyatakan bahwa WB dapat mencairkan share of proceed dari Pasal 6.4, serta dalam memperlakukan kontribusi sukarela dari Pasal 6.2 dari PA, sebagai bagian dari pemasukan AF. Jika hal ini terjadi, maka ketentuan terkait peran WB dalam pencairan share of proceed CDM untuk AF, harus dibatalkan.

Infrastruktur lainnya adalah terkait dengan layanan Sekretariat Adaptation Fund, yang juga harus disesuaikan. Walaupun terlihat sepele, namun hal-hal ini penting untuk memastikan agar AF dapat melanjutkan operasionalnya untuk mendanai aksi-aksi adaptasi di negara-negara berkembang.

Di Belém pada November mendatang, para Pihak harus memutuskan terkait penggunaan terminologi dalam penentuan Board dari Adaptation Fund: apakah saat ini tetap menggunakan terminologi KP atau akan menggunakan terminologi PA, terlepas dari apakah AF telah berada di bawah otoritas Persetujuan Paris sepenuhnya atau belum.

Para Pihak juga akan membahas elemen review dari AF, beserta seluruh konsekuensinya. Pilihan yang dapat dilakukan adalah dilakukan pada saat ini (di bawah otoritas KP), atau dilakukan nanti pada saat AF telah sepenuhnya berada di bawah otoritas PA, atau dengan skema lain yang dapat berfungsi dengan baik di masa transisi ini.

Setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Pengubahan terminologi menjadi sangat penting bagi negara maju, terutama dalam kapasitas mereka yang selama ini menjadi kontributor sukarela dari AF. Penentuan waktu untuk transisi juga menjadi hal yang sangat penting, mengingat sebelum sepenuhnya berada di bawah PA, terdapat beberapa infrastruktur AF yang harus disesuaikan, dan proses ini harus dimulai sesegera mungkin.

Sinyal dari perkembangan penerapan Pasal 6.4 dari Persetujuan Paris menjadi sangat penting untuk menentukan kapan waktu yang tepat bagi AF untuk bertransisi ke PA. Hal ini juga yang dapat memberikan sinyal bagi dimulainya proses review AF, untuk memberikan rekomendasi kepada para Pihak terkait apa saja yang harus dipertimbangkan untuk membuat AF menjadi lebih efektif dan memberikan dampak positif yang jauh lebih luas dari yang sekarang ada.


[1] Sesi United Nations Climate Change (UNCC) June Climate Meetings di Bonn, Jerman, merupakan sesi perundingan iklim berkala yang diadakan terkait pembahasan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sesi ini bertujuan untuk membahas isu-isu yang dimandatkan oleh Conference of the Parties (COP)/Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP)/Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA). Penjelasan lebih lanjut terkait dengan sesi ini, dapat dilihat pada publikasi IRID berikut: Mengenal Negosiasi Iklim dalam Kerangka UNFCCC .

Bagikan :