Sumber-sumber Pendanaan di Indonesia dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim

Penulis: Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan dan Dita Ramadhani, Spesialis Komunikasi

Laporan Sintesis Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) keenam yang diluncurkan pada bulan Maret 2023 lalu, memberikan konfirmasi bahwa perubahan iklim disebabkan oleh gas rumah kaca, terutama yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Peristiwa-peristiwa seperti kekeringan, perubahan suhu ekstrem, kenaikan permukaan air laut, terjadi dengan intensitas semakin tinggi dan frekuensi yang lebih sering. Kehilangan dan kerusakan yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim ini dapat membuat masyarakat menderita secara ekonomi dan non-ekonomi.

Meskipun saat ini belum ada bentuk pendanaan kehilangan dan kerusakan secara khusus, namun sebagai salah satu negara berkembang yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, adalah krusial bagi Indonesia untuk melihat potensi sumber pendanaan apa saja yang dapat digunakan untuk mendanai kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim.

Indonesia Research Institute for Decarbonizations (IRID) menyelenggarakan diskusi terfokus secara daring pada hari Kamis, 25 Mei 2023 yang bertujuan untuk memetakan berbagai jenis pendanaan yang tersedia dan relevan untuk mendanai kehilangan dan kerusakan. Diskusi ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana dana-dana ini dapat diakses oleh masyarakat rentan yang paling terdampak. Diskusi terfokus dimoderatori oleh Julia Theresya, Policy Advocacy Officer IRID, dengan narasumber Nella Hendriyetty, Kepala Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB), Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan; Irma Dewi Rismayati, Kepala Biro Hukum, Organisasi dan Kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); Arif R. Haryono, Kepala Disaster Management Center (DMC), Dompet Dhuafa; dan Denia Aulia Syam, ZFRA Program Manager, Mercy Corps Indonesia.

Kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim dan urgensi pendanaannya

Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat 12 dari 35 negara yang rentan dengan bencana. Bahkan, hampir 50% dari kabupaten dan kota di Indonesia memiliki indeks risiko bencana yang tinggi. Sebesar 90% dari bencana yang terjadi di Indonesia bersifat hidrometeorologi atau dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim (seperti puting beliung, longsor, banjir serta kebakaran hutan dan lahan) di mana perubahan iklim dipercaya telah menaikkan tren kejadian dan intensitas bencana. Di tahun 2022 sendiri, ada lebih dari 3.500 bencana yang terjadi di Indonesia dan didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Dari sisi ekonomi, Indonesia menghadapi kerugian langsung akibat bencana sebesar 20-50 triliun setiap tahun.

Sumber-Sumber Pendanaan untuk Iklim di Indonesia

Pemerintah telah berupaya untuk mengoptimalkan ketiga pilihan pendanaan, yaitu pendanaan penanggulangan bencana melalui belanja pemerintah daerah (Pemda) dan kementerian/lembaga (K/L) untuk keperluan bencana, dana cadangan bencana di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan asuransi mandiri serta bantuan internasional. Tetapi, ketersediaan dana ini jauh dari cukup. Frekuensi bencana yang terjadi semakin tinggi, namun pendanaan hanya mampu membiayai setengah dari kerugian yang diderita. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya dampak perubahan iklim yang tidak tertanggulangi, masih tinggi.

Untuk menanggapi hal ini, pada tahun 2018 Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, telah menyusun Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) Strategy yang di dalamnya terdapat Pooling Fund Bencana (PFB). Konsep PFB diresmikan melalui Perpres 75/2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana. Sebelum tahun 2018, sumber pendanaan penanggulangan bencana hanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dimana sumber ini dinilai kurang fleksibel dan sering tidak tepat sasaran.

Konsep PFB dibuat sebagai dana abadi, sehingga memungkinkan penerimaan dari bauran instrumen, dan dapat memotong rantai pencairan anggaran agar lebih cepat tanggap ketika kejadian bencana terjadi serta memudahkan asuransi mikro sehingga mudah diakses masyarakat. Pemda, K/L dan masyarakat nantinya dapat mengakses PFB melalui pengajuan proposal ke BNPB. Hingga kini, operasionalisasi PFB masih didiskusikan antara BNPB, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, utamanya mengenai mekanisme pengajuan dan penilaian proposal. Pada tahun 2040, diharapkan kita sudah tidak bergantung pada APBN sebagai pendanaan bencana atau setidaknya ketergantungan terhadap APBN, menurun.

Sementara itu, melalui BNPB, Indonesia memiliki Dana Tanggap Darurat (DSP) yang bersumber dari APBN, dana hibah internasional, dan PFB. DSP dimanfaatkan ketika ada status siaga darurat serta transisi menuju pemulihan. Namun dana ini masih bersifat reaktif, baru dapat dikeluarkan saat terjadi hal darurat. Kedepannya, BNPB akan berupaya untuk mengubah cara kerja reaktif menjadi responsif terhadap bencana terkait iklim (climate-related disaster).

Dana Filantropis Berbasis Islam Sebagai Potensi Pendanaan Iklim

Saat ini, krisis pendanaan bantuan kemanusiaan, khususnya yang bersumber dari luar negeri, juga dirasakan oleh Indonesia. Itu sebabnya, alternatif pendanaan dari sumber lain, mulai diperhitungkan. Salah satunya adalah penggunaan dana filantropis berbasis Islam, di mana tingkat kepatuhan zakat di Indonesia sangat tinggi. Data dari Bank Dunia dan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 menyatakan, potensi dana zakat di Indonesia yang berasal dari pendonor rumah tangga mencapai 112-120 triliun per tahun, sementara dana zakat berbasis korporasi dan dana tabungan mencapai mencapai 140-160 triliun.

Dompet Dhuafa sebagai salah satu  lembaga filantropi berbasis islam di Indonesia, juga memiliki mandat untuk melakukan tanggap darurat bencana baik ditingkat nasional maupun global. Prinsip utama yang digunakan dalam pengumpulan dan pendistribusian bantuan kemanusiaan yang diterapkan oleh Dompet Dhuafa adalah regulasi, aturan syariah, standar keuangan dan kemanusiaan global, value lembaga, dan kode etik. Dompet Dhuafa memiliki dua momentum yang digunakan dalam proses penggalangan dana kebencanaan yaitu fase kebencanaan yang mencakup kejadian bencana, tanggap darurat, pemulihan, dan kesiapsiagaan; yang kedua adalah golden momentum yaitu sejak hari kebencanaan terjadi hingga 7 – 14 hari setelah kejadian bencana. Hal ini dikarenakan budaya donasi di Indonesia cenderung sangat cepat dan dermawan, namun bantuan tersebut lebih difokuskan untuk masa tanggap darurat.

Kehilangan dan Kerusakan Akibat Perubahan Iklim, Tantangan Selanjutnya?

Indonesia sudah mengalami dampak perubahan iklim yang berpotensi menyebabkan kehilangan dan kerusakan. Kehilangan dan kerusakan terjadi ketika upaya mencegah (mitigasi) dan meminimalisir (adaptasi) telah gagal dilakukan, sehingga kita harus berhadapan dengan dampak perubahan iklim  yang tidak mampu terselesaikan  (residual impact). Mekanisme pendanaan untuk menanggulangi kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim, sampai saat ini pun belum berjalan baik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dampak perubahan iklim utamanya yang bersifat slow onset event (peristiwa akibat dampak perubahan iklim yang terjadi secara perlahan), saat ini belum termasuk dalam kategori bencana. Umumnya, bantuan kemanusiaan (humanitarian aid) hanya diperuntukkan bagi peristiwa-peristiwa yang bersifat rapid onset. Bantuan ini pun masih dinilai kurang untuk mengembalikan kondisi daerah yang mengalami bencana, seperti semula. Strategi dan instrumen keuangan yang sedang dikembangkan di Indonesia dan tingkat global sudah seharusnya mempertimbangkan skema pendanaan untuk kejadian slow onset seperti kenaikan muka air laut. Instrumen seperti asuransi, misalnya, dapat menjadi pilihan untuk beberapa peristiwa walaupun tidak dapat menjawab seluruh masalah yang muncul. Pada umumya, asuransi cocok untuk mendanai kerusakan dan kehilangan akibat rapid onset. Sedangkan untuk peristiwa slow onset, kebanyakan perusahaan asuransi tidak bersedia memasukkan peristiwa ini dalam kategori bencana yang dapat diasuransikan, karena kejadian slow onset merupakan kejadian dengan kepastian yang tinggi dan dapat diprediksi. Sedangkan asuransi hanya dapat mendanai peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diprediksi.

Bagikan :