Aturan Pasal 6 Persetujuan Paris Disepakati di Glasgow:

Apa Isinya dan Apa Pekerjaan Rumah yang Tersisa?

Jakarta, 19 November 2021 – Konferensi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow pada akhirnya selesai pada Sabtu, 13 November 2021, mundur lebih dari 24 jam dari rencana awal. Para negosiator yang mewakili negara-negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sukses merampungkan dan menyepakati Paris Rules Book yang berfungsi sebagai aturan main implementasi Pasal 6 Persetujuan Paris (Article 6 of the Paris Agreement). Ini menjadi satu hal yang melegakan setelah sebelumnya gagal disepakati pada Konferensi Iklim di Katowice, Polandia pada 2018, dan Konferensi Iklim di Madrid, Spanyol pada 2019.

Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Moekti Handajani Soejachmoen yang kerap dipanggil Kuki, menegaskan bahwa meski sudah ada kesepakatan bukan berarti pekerjaan sudah selesai. “Keputusan yang disepakati di Glasgow mengenai Pasal 6 Persetujuan Paris ini masih cukup umum. Untuk dapat diimplementasikan secara nyata dan efektif, masih diperlukan pembahasan detail untuk mendapatkan kesepakatan internasional. Pada saat yang bersamaan, tiap negara anggota juga harus menyiapkan infrastruktur, kelembagaan dan aturan main di tingkat nasional,” ujar Kuki.

Pasal 6 Persetujuan Paris merupakan pasal yang mengatur kerja sama internasional untuk membantu pencapaian komitmen tiap-tiap negara anggota (dalam bentuk nationally determined contribution – NDC), baik melalui pendekatan berbasis pasar maupun non-pasar. Kerja sama yang diatur di bawah Pasal 6 ini dapat terjalin tidak hanya di tingkat antar pemerintah tetapi juga dapat melibatkan pelaku di luar pemerintah, baik itu pelaku usaha maupun komunitas.  

Pasal 6 Persetujuan Paris terdiri dari sembilan pasal dengan tiga agenda utama yang diharapkan mampu mendorong implementasi aksi mitigasi iklim. Selain itu, dari pendekatan berbasis pasar, agenda tersebut juga diharapkan bisa memberikan kontribusi pendanaan bagi aksi adaptasi. Sementara, jika dilihat dari pendekatan berbasis non-pasar, tiga agenda utama itu akan membantu penguatan dukungan pendanaan, pengembangan teknologi, dan peningkatan kapasitas untuk mendukung aksi mitigasi dan adaptasi. 

Agenda utama yang pertama terdapat dalam Pasal 6.2 (Pasal 6 ayat 2). Kuki menjelaskan, pasal ini mengatur prosedur dan metode akuntansi, pelaporan, dan review bagi kerja sama internasional antar negara yang di dalamnya akan terjadi transfer unit reduksi emisi karbon sebagai hasil aksi mitigasi, yang dikenal dengan istilah Internationally Transferred Mitigation Outcome (ITMO). Transfer dapat terjadi atas seluruh unit yang dihasilkan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan kerja sama yang terjalin antara pihak-pihak terkait. “Misalnya, seperti yang saat ini terjadi, kerja sama antara Jepang dan Indonesia di bawah Joint Crediting Mechanism (JCM) untuk pemanfaatan teknologi yang lebih rendah emisi gas rumah kaca (GRK) dengan dukungan investasi dan teknologi dari Jepang. Dalam kerja sama ini, unit reduksi emisi yang dihasilkan dibagi di antara para pihak yang terlibat, baik di Jepang maupun di Indonesia,” ujar Kuki.

Agenda kedua adalah Pasal 6.4 yang menetapkan mekanisme serta aturan main perdagangan karbon secara internasional di bawah UNFCCC. Pasal ini mengatur perdagangan kredit karbon dari pengurangan emisi dari proyek-proyek yang disetujui. Kuki menerangkan, “Mekanisme ini akan mirip seperti Clean Development Mechanism (CDM), yang mana kredit karbon dari proyek pembangunan di Indonesia dapat dijual ke pihak asing, baik swasta maupun pemerintah, dan akan digunakan dalam pemenuhan kewajiban penurunan emisi mereka.”

Agenda ketiga terdapat dalam Pasal 6.8 yang menekankan pentingnya kerja sama antar negara dalam aksi iklim, baik aksi mitigasi maupun adaptasi. Kerja sama yang dilakukan dalam bentuk dukungan pendanaan, kerja sama teknologi dan peningkatan kapasitas ini tidak mengakomodasikan transfer unit hasil aksi mitigasi maupun aksi adaptasi. “Nantinya, diharapkan, akan banyak kerja sama, baik berupa aksi mitigasi maupun aksi adaptasi yang didukung oleh pemerintah asing atau badan internasional dan unit reduksi emisinya dapat digunakan Indonesia dalam pemenuhan komitmen NDC,” ucap Kuki.

Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, Pasal 6 akan memudahkan pemerintah untuk memobilisasi pendanaan dalam pengendalian perubahan iklim. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, Kuki menambahkan, Pemerintah Indonesia perlu menyusun aturan main pelaksanaan Pasal 6 Persetujuan Paris di dalam negeri sebelum dapat mengimplementasikannya.

Menurut Kuki, hal yang pertama diperlukan adalah kejelasan tentang unit reduksi emisi karbon mana yang akan digunakan untuk pemenuhan NDC Indonesia dan unit mana saja yang dapat ditransfer untuk digunakan dalam pemenuhan NDC negara mitra. Kedua, pemerintah juga perlu memastikan kesiapan infrastruktur dan kelembagaan, yang secara teknis dapat memfasilitasi implementasi Pasal 6 ini dan juga pihak yang akan memberikan otorisasi bagi transfer internasional seperti disebutkan di dalam Pasal 6.2 dan 6.4. “Harus ada lembaga yang diberikan mandat untuk memberikan persetujuan dan otorisasi untuk transfer internasional,” pungkas Kuki.

Proses pembahasan Pasal 6 Persetujuan Paris di Glasgow secara umum memiliki atmosfer yang cukup kondusif. “Sejak awal, di antara para negosiator ada spirit untuk menghasilkan kesepakatan yang baik. Oleh karena itu, meskipun ada perdebatan untuk mempertahankan posisi masing-masing negara, terutama beberapa negara yang selama ini memiliki posisi keras, tetapi dengan spirit yang positif tadi, pada akhirnya kesepakatan untuk Paris Rules Book dapat dicapai. Memang hasil yang dicapai bukan yang paling ideal, namun ini adalah hasil dari proses negosiasi yang kompleks yang melibatkan hampir 200 negara,” tuturnya. 

Mengingat Indonesia adalah salah satu pihak yang aktif dalam proses perundingan, Kuki berharap, pembahasan mendalam soal aturan pelaksanaan Pasal 6 Persetujuan Paris di dalam negeri segera dilakukan agar Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan Pasal 6 Persetujuan Paris ini untuk berkontribusi terhadap pencapaian target NDC. Yang tidak kalah penting, Indonesia juga harus terus aktif dalam proses pembahasan dan perundingan internasional terkait hal ini agar dapat memperoleh manfaat yang optimal.

Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia juga perlu segera menyusun peraturan pelaksanaan yang lebih rinci setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan agar upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim domestik dapat terlaksana secara efektif. Dengan adanya aturan pelaksanaan yang lebih rinci, implementasi dari upaya domestik ini pun dapat saling bersinergi dengan kerja sama internasional melalui Pasal 6 Persetujuan Paris untuk mencapai target NDC.

Narahubung:

Ega Rosalina, Communication Specialist IRID

Bagikan :