Perdagangan Karbon Sebagai Solusi Perubahan Iklim

Emisi  atau pelepasan gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil menyebabkan pemanasan global yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Jika dibiarkan, peningkatan suhu bumi yang semakin cepat akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kerugian bagi kehidupan pun makin tak terkendali.

Menjawab situasi tersebut, Pemerintah negara-negara di dunia berkomitmen untuk menjaga suhu bumi agar tak melewati 2 derajat Celsius, dan sebisanya tidak mencapai 1,5 oC, dengan memangkas emisi karbon global. Pasca adopsi Persetujuan Paris pada tahun 2015, setiap negara pihak, termasuk Indonesia, menyusun dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC), yang berisi rencana aksi untuk menangani perubahan iklim. Di dalam dokumen itu, Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Indonesia juga mengupayakan pencapaian net zero emission (NZE), yaitu kondisi emisi GRK yang masih terjadi seluruhnya dapat diserap sehingga tidak masuk ke atmosfer, pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Salah satu instrumen kebijakan yang dipercaya efektif mencapai target tersebut adalah perdagangan karbon, sebuah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli sertifikat penurunan emisi karbon. Penjual sertifikat adalah para pihak yang berhasil menurunkan emisi karbon lebih dari yang diwajibkan, sementara para pembelinya adalah pihak-pihak yang menghasilkan emisi karbon lebih dari batas emisi yang diijinkan.

Indonesia memiliki potensi besar untuk melaksanakan pasar karbon domestik dan turut aktif dalam pasar karbon internasional. Keduanya akan mendatangkan manfaat, baik bukan hanya untuk menekan perubahan iklim dari sisi lingkungan, tetapi juga manfaat secara ekonomi dalam bentuk aliran dana dan investasi. Selain itu, pasar karbon juga dapat memberikan manfaat bagi penguasaan teknologi bersih serta memberikan manfaat sosial. Pengembangan energi terbarukan akan sangat mungkin terjadi lebih cepat dengan penerapan pasar karbon. 

Tak hanya sebagai penjual, Indonesia juga dapat mengambil peran sebagai pembeli di pasar internasional. Hal ini dapat mempercepat pencapaian NDC dan bahkan meningkatkan target penurunan emisi dalam periode yang sama. Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) Kuki Soejachmoen mengatakan, “Sebelumnya di bawah Protokol Kyoto sudah ada mekanisme perdagangan karbon, tapi dulu posisi Indonesia hanya berperan sebagai penjual. Namun, di bawah Persetujuan Paris semua negara memiliki peluang untuk menjadi penjual dan pembeli. Ini adalah suatu hal yang perlu dieksplorasi dan dimanfaatkan oleh Indonesia.” 

Organisasi, sektor swasta, maupun komunitas di luar Pemerintah sebagai pelaku usaha juga dapat melakukan perdagangan karbon domestik dan internasional. Keterlibatan pelaku di luar Pemerintah merupakan kunci dalam upaya global menuju bumi dengan NZE. Keterlibatan dalam perdagangan karbon, khususnya bagi sektor swasta, didasari pada komitmen untuk menurunkan emisi GRK dan sebisanya mencapai NZE. 

Co-Founder IRID Paul Butarbutar menerangkan, keterlibatan sektor swasta dalam perdagangan karbon merupakan bagian dari insentif atas keberhasilan dalam pengelolaan energi. “Satu perusahaan yang mengonsumsi energi tinggi, pada umumnya akan mengemisikan GRK yang tinggi. Jika diterapkan mekanisme cap and trade, dimana tiap unit/instalasi usaha diberikan jatah (allowance) untuk emisi GRK, maka allowance ini dijual di bursa atau pasar. Dana yang didapatkan dari penjualan ini yang dapat digunakan sebagai investasi aksi mitigasi, misalnya retrofit peralatan dengan konsumsi energi lebih rendah atau mengganti sumber energi dari fosil ke energi terbarukan, di unit/instalasi tersebut. Hasil aksi mitigasi dalam bentuk penurunan emisi GRK ini lah yang nantinya akan dimanfaatkan untuk memenuhi kewajiban yang diberikan kepada unit/instalasi dalam bentuk allowance di awal. Jadi, perdagangan karbon, dalam hal ini dapat dilihat sebagai insentif,” jelas Paul.

Meski begitu, untuk bisa mengimplementasikan perdagangan karbon dan mewujudkan peluang-peluang yang ada, Kuki menekankan, regulasi turunan dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan hal utama. Dengan adanya regulasi turunan tersebut, maka dapat diatur secara lebih rinci seperti apa implementasinya, termasuk instrumen NEK apa yang akan diimplementasikan kapan dan di sektor apa. Peraturan turunan ini harus disiapkan dengan baik mengingat cukup kompleksnya cakupan dan elemen yang harus dipertimbangkan, termasuk dari sisi teknis agar implementasi dapat berjalan dengan pemahaman yang tepat.

Bagikan :