Pada tahun 2016, Indonesia telah mengajukan Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk berkontribusi pada pencapaian tujuan Persetujuan Paris. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% melalui upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional di dalam NDC tersebut. Kemudian, Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 juga telah disusun sebagai basis implementasi NDC di Indonesia. Peran daerah seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi penting dalam implementasinya, salah satunya pada sektor energi, mengingat sumber-sumber energi terbarukan banyak ditemukan di skala daerah. Meski demikian, Provinsi NTT masih bergantung pada diesel untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi penduduk. Upaya phase-out dari bahan bakar diesel ke energi terbarukan akan menjadi potensi Provinsi NTT untuk berkontribusi menurunkan emisi GRK yang cukup besar.
Pada tahun 2024, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Yayasan PIKUL melakukan kajian mengenai peran daerah dalam menyelaraskan aksi iklim daerah dengan Persetujuan Paris. Kajian ini merupakan tindak lanjut dari kajian yang telah dilakukan IRID dan Yayasan PIKUL pada tahun 2023 mengenai transisi energi berkeadilan di Provinsi NTT. Sebagai rangkaian kegiatannya, telah dilaksanakan diskusi kelompok terfokus pada tanggal 26-28 Juni 2024 yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan di wilayah NTT, salah satunya adalah kelompok masyarakat sipil. Diskusi ini bertujuan untuk menghimpun pandangan dari kelompok masyarakat sipil terkait peran daerah dalam implementasi NDC Indonesia mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, hingga pengawasan dan evaluasi.
Transisi Pembangunan NTT untuk Mencapai Net Zero Emission (NZE)
Provinsi NTT tengah berfokus pada upaya peningkatan ekonomi daerah yang selaras dengan pembangunan rendah karbon, termasuk aksi-aksi daerah dalam mengurangi dampak negatif akibat perubahan iklim. Hingga tahun 2024, Provinsi NTT masih memiliki prioritas pembangunan infrastruktur, pelayanan dasar, dan pembangunan kabupaten. Di sisi lain, NTT juga menjadi target Pemerintah untuk mengonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan energi terbarukan. Pemerintah Daerah (Pemda) NTT menghadapi berbagai tantangan dalam memastikan terpenuhinya akses masyarakat akan kebutuhan dasar, sekaligus melakukan transisi energi untuk mencapai target penurunan emisi GRK, seperti:
- Pertama, dalam proses bertransisi, terutama dalam pengembangan energi terbarukan di NTT, perlu mempertimbangkan dampak perubahan iklim yang terus terjadi, seperti perubahan cuaca ekstrem. Keberlanjutan suplai sumber energi dan sistem yang handal perlu dipastikan agar pembangkit dapat berfungsi dengan baik. Sebagai contoh, PLN pernah mengalami penurunan suplai listrik sekitar 200MW akibat adanya kekeringan;
- Kedua, upaya mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan dasar dengan pengembangan energi terbarukan di NTT perlu diperhatikan agar tidak merusak lingkungan dan sesuai dengan kebutuhan desa. Misalnya, pembuatan sumur bor untuk sumber air masyarakat dengan listrik dari energi surya. Apakah dalam melakukan pengeboran ada isu kerusakan lingkungan? Kemudian, dana desa yang diterima umumnya masih merujuk pada program Pemerintah Pusat, bukan berdasarkan kebutuhan desa;
- Ketiga, Pemda NTT telah berupaya menurunkan emisi GRK dengan penggunaan teknologi, seperti clean coal technology pada PLTU batu bara untuk mengurangi emisi yang dihasilkan. Kemudian, penggunaan wash heat recovery atau teknologi yang digunakan untuk mengubah panas yang dihasilkan dari proses industri atau pembangkit listrik menjadi energi listrik. Namun, teknologi ini memerlukan pembiayaan yang mahal dan teknisi dengan kompetensi tinggi;
- Keempat, upaya penurunan emisi GRK dari energi terbarukan non listrik juga dilakukan oleh Pemda NTT, seperti program konversi minyak tanah ke Liquid Petroleum Gas (LPG) untuk rumah tangga. Pada awalnya, banyak rumah tangga yang beralih ke gas untuk keperluan memasak, namun kini sangat sulit mencari gas dengan harga yang terjangkau. Contoh lainnya adalah penggantian perahu listrik dengan baterai dan penyediaan stasiun pengisiannya untuk nelayan, namun jumlah perahu dan stasiun yang tersedia masih terbatas.
Mengawal Transisi Berkeadilan di NTT
Pada tingkat perencanaan, kelompok masyarakat sipil perlu memastikan masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk pembangunan energi terbarukan. Nantinya, masyarakat terdampak pembangunan dapat memahami manfaat dan risiko dari adanya pembangunan tersebut. Dalam proses implementasi, perlu dipastikan safeguard tetap dilaksanakan oleh pengembang agar tidak berdampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Sebagai contoh, pengembangan energi geothermal di sekitar lahan pertanian, perlu dikaji lebih lanjut dampaknya pada hasil pertanian agar tidak mengancam produksi pangan masyarakat.
Terkait pelaporan, aksi-aksi iklim yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil patut diperhitungkan karena sebagian besar menargetkan peningkatan kapasitas masyarakat, misalnya pemanfaatan energi terbarukan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan penanaman kembali mangrove. Meski hanya kegiatan penunjang, aksi ini tentunya sejalan dengan tujuan NTT untuk mewujudkan ketangguhan daerah melalui adaptasi masyarakat yang kuat terhadap perubahan iklim. Namun, saat ini kelompok masyarakat sipil hanya bisa mendaftarkan kontribusinya melalui Sistem Registri Nasional (SRN)1 dan tidak ada kewajiban untuk melapor saat proyek berakhir.
Dalam pembangunan bertransisi, memastikan proses yang berkeadilan dapat dicapai melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah. Kelompok Kerja (Pokja) Perubahan Iklim Provinsi NTT telah melakukan identifikasi kelompok masyarakat sipil yang bergerak di sektor mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Saat ini, fokus kerja Pokja Perubahan Iklim terkait dengan transisi energi berkeadilan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI), yang melatarbelakangi konsep berkeadilan energi dapat diterapkan dan memberikan manfaat yang lebih luas.
Kelompok masyarakat sipil diharapkan dapat mengambil peran untuk mendorong implementasi kebijakan, edukasi, dan advokasi, sehingga secara akses, manfaat, partisipasi, dan kontrol benar-benar terkendali di tingkat masyarakat. Selain itu, penting untuk melakukan advokasi terkait penyusunan kebijakan dan anggaran yang adaptif perubahan iklim di berbagai tingkatan, khususnya di tingkat regulator atau Pemerintah.
[1] Sistem Registri Nasional (SRN) merupakan sistem yang dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk pendataan dan pelaporan mobilisasi dukungan dan atau aksi pengendalian perubahan iklim yang konsisten dengan unsur-unsur data aksi pengendalian perubahan iklim yang terukur
Bagikan :