Pengurangan dan Peralihan Subsidi Bahan Bakar Fosil: Siapkah Indonesia?

Penulis: Henriette Imelda, Direktur Advokasi Kebijakan dan Maria Putri Adianti, Junior Communication Officer

Salah satu hasil kesepakatan G20 yang telah lama bergulir adalah yang terkait dengan subsidi bahan bakar fosil. KTT G20 di Bali pada tahun 2022 yang lalu, kembali menggaungkan isu yang sama, yang juga didukung oleh hasil dari COP27. Bali Leaders’ Declaration yang dihasilkan oleh KTT G20 pada paragraf 12, menyatakan sebagai berikut:

…We will increase our efforts to implement the commitment made in 2009 in Pittsburgh to phase-out and rationalize, over the medium-term, inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption and commit to achieve this objective, while providing targeted support for the poorest and the most vulnerable…

Sedangkan hasil COP27 yang tertuang dalam Sharm el-Sheikh Implementation Plan pada paragraf 13, tertulis demikian:

Calls upon Parties to accelerate the development, deployment and dissemination of technologies, and the adoption of policies, to transition towards low-emission energy systems, including by rapidly scaling up the deployment of clean power generation and energy efficiency measures, including accelerating efforts towards the phasedown of unabated coal power and phase-out of inefficient fossil fuel subsidies, while providing targeted support to the poorest and most vulnerable in line with national circumstances and recognizing the need for support towards a just transition;

Sebagai salah satu negara yang berada di dalam lingkungan G20, Indonesia harus dapat mempersiapkan diri untuk melakukan penghilangan dan pengalihan subsidi bahan bakar fosil, sedemikian rupa sehingga tidak memberikan dampak negatif yang berkepanjangan utamanya dalam aspek sosial-ekonomi. Penghilangan dan pengalihan subsidi bahan bakar fosil memunculkan, setidaknya, dua dampak. Pertama, penghilangan dan pengalihan subsidi bahan bakar fosil dapat mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil, karena pilihan penggunaan bahan bakar fosil menjadi jauh lebih mahal. Kedua, menciptakan ruang fiskal tambahan yang sebelumnya digunakan untuk dana subsidi. Ruang fiskal ini memungkinkan untuk membiayai aksi-aksi iklim baik untuk upaya dekarbonisasi, maupun upaya peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.

Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bersama Germanwatch memandang perlunya bagi negara-negara G20 untuk mengurangi dan mengalihkan dana subsidi bahan bakar fosil, di mana kesiapan negara berkembang yang tergabung di dalamnya, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pada tanggal 19 Januari 2023 yang lalu, IRID dan Germanwatch melaksanakan diskusi terbatas mengenai kesiapan Indonesia untuk mengurangi dan mengalihkan subsidi bahan bakar fosil.

Diskusi ini dilakukan secara luring dan dihadiri oleh empat narasumber, yaitu: Lucky Lontoh, Associate and Country Coordinator, International Institute forSustainable Development (IISD); Kristiyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya dari Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN), Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Indonesia; Ruddy Gobel, Kepala Unit Komunikasi dan Kemitraan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K); serta Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

G20 dan subsidi bahan bakar fosil

IISD menyusun sistem scorecard untuk melihat bagaimana kinerja negara-negara G20 terkait dengan pembiayaan bahan bakar fosil dari sisi transparansi, perbandingan komitmen dan implementasi subsidi dalam sektor batu bara, minyak dan gas, serta konsumsi bahan bakar minyak; termasuk di dalamnya perbandingan subsidi yang disediakan oleh masing-masing negara, dalam kurun waktu 2014-2016. 

Secara umum scorecard tersebut memperlihatkan tren kinerja negara-negara anggota G20 yang kurang baik dalam hal pembiayaan bahan bakar fosil, termasuk Indonesia. Walau demikian, perlu diingat bahwa setiap negara memiliki kebijakan subsidi yang berbeda. Itu sebabnya, KTT G20 tidak dapat menghasilkan “satu solusi untuk semua” mengenai subsidi bahan bakar fosil. Lagipula, fokus negara-negara G20 masih terletak pada upaya pemulihan Covid-19 yang masih mengarah pada penggunaan energi fosil.

Jika dilihat dari peringkat umum dalam scorecard di atas, Indonesia masih mengeluarkan dana sebesar USD 110 juta untuk mendukung batu bara, dan USD 3,2 miliar untuk sektor minyak dan gas. Dari hal tersebut, terlihat bahwa ketimpangan dukungan dari pemerintah antara energi fosil dan energi terbarukan masih sangat besar. Pada agenda G20, pembicaraan mengenai subsidi bahan bakar minyak baru akan dimasukan dalam agenda pembahasan apabila terjadi krisis energi/ krisis harga minyak mentah. Hal ini disebabkan karena secara alami, G20 merupakan forum kerja sama ekonomi, dan bukan lingkungan. Itu sebabnya, pada saat terjadi kenaikan harga komoditas yang berdampak pada sektor ekonomi, maka topik tersebut akan diusulkan untuk menjadi agenda pembahasan.

Subsidi bahan bakar fosil di Indonesia

Subsidi bahan bakar fosil di Indonesia sendiri, masih belum tersebar secara adil. Kebijakan subisidi yang dibuat oleh pemerintah masih tidak tepat sasaran, sehingga diperlukan pendekatan baru untuk memperkenalkan sistem penyesuaian harga yang fleksibel. Hal lain yang perlu dilakukan dalam menentukan harga bahan bakar adalah memperhitungkan biaya eksternalitas atau biaya emisi yang akan ditanggung di masa depan.

Saat ini peran Indonesia di sektor minyak telah berubah dari yang semula net exporter menjadi net importer. Kebijakan subsidi di Indonesia juga saat ini tidak berfokus pada perubahan kebijakan subisidi itu sendiri, melainkan berfokus hanya pada kebijakan energi yang ada. Saat ini di Indonesia, hanya kebijakan subsidi listrik golongan rumah tangga yang dapat dikatakan lebih progresif karena pola pemetaan penerimanya lebih jelas, sebagaimana yang terlihat dari pengkategorian rumah tangga untuk menentukan tarif listrik (rumah tangga R1, R2, dan seterusnya). Sedangkan untuk subsidi energi fosil, baik solar, pertalite, dan LPG tiga kilogram, sampai saat ini masih lebih banyak dinikmati oleh rumah tangga mampu, karena masih dapat diakses oleh semua pihak tanpa ada pengkategorian yang jelas.  Padahal sebenarnya, subsidi ditargetkan untuk diberikan pada rumah tangga tidak mampu.

Penggunaan subsidi energi juga seharusnya dialihkan untuk kepentingan yang lebih strategis dan jangka panjang.  Misalnya seperti peralihan subsidi energi fosil ke subsidi energi terbarukan. Hal ini nantinya akan mendorong penggunaan energi terbarukan lebih luas lagi.

Mengurangi dan mengalihkan subsidi bahan bakar fosil di Indonesia

Diskusi terbatas yang dilangsungkan memunculkan beberapa pilihan kebijakan yang dapat diterapkan terkait peralihan subsidi bahan bakar fosil. Pertama, membatasi konsumsi LPG bersubsidi yang hanya dapat dikonsumsi untuk rumah tangga miskin dan rentan.

Kedua adalah direct targeted subsidy. Kebijakan ini dilakukan dengan mengubah mekanisme subisidi dari subsidi yang diberikan pada barang/ harga, menjadi subsidi yang langsung diberikan kepada kelompok miskin dan rentan. Namun, kebijakan ini akan memberikan perbedaan harga barang tersubsidi dengan harga pasar yang cukup jauh, sehingga kebijakan ini mungkin akan sulit untuk dijalankan.

Mengaplikasikan kedua pilihan kebijakan ini memungkinkan pemerintah untuk menghemat anggaran dan mengurangi kesenjangan kemiskinan dan ketidaksetaraan di Indonesia.

Diskusi terbatas tersebut juga mendukung pemikiran perlunya pengurangan dan pengalihan bahan bakar fosil di indonesia. Walau demikian, Indonesia perlu untuk melakukan beberapa hal penting untuk meningkatkan kesiapannya.

Pertama, yang terkait dengan kebijakan sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Kebijakan untuk memberlakukan disinsentif bahan bakar fosil juga perlu diterapkan, dengan tujuan untuk menekan dan mengendalikan konsumsi bahan bakar fosil. Untuk memastikan akses energi menyeluruh bagi masyarakat, maka sebaiknya subsidi bahan bakar fosil dialihkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan yang dapat diakses untuk semua.

Kedua, memastikan bahwa target pemberlakuan subsidi tepat sasaran, yaitu untuk masyarakat miskin dan rentan. Memastikan subsidi tepat sasaran, dapat dilakukan dengan memberikan identitas tunggal bagi masyarakat, sehingga dapat dinilai apakah masyarakat tersebut memenuhi kriteria untuk memperoleh subsidi atau tidak.

Ketiga, diperlukan upaya-upaya untuk terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dan pemerintah. Masyarakat Indonesia perlu menganggap bahwa bahan bakar minyak yang murah saat ini bukan sebagai sebuah prestasi negara. Itu sebabnya, masyarakat Indonesia diharapkan dapat bertanggungjawab untuk mengembangkan pola konsumsi energi yang berkelanjutan. Selain itu, edukasi kepada kelompok penekan (pressure group) bersama organisasi-organisasi masyarakat besar, akademisi, dan UMKM, juga dibutuhkan.

Keempat, pemerintah dapat melakukan evaluasi kebijakan subisidi, yang diterapkan bukan hanya di sektor energi, melainkan juga untuk komoditas lain seperti pupuk. Hasil evaluasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemberlakukan subsidi bahan bakar yang tidak lagi digunakan untuk bahan bakar fosil.

Bagikan :