Penguatan Transisi Berkeadilan Industri Nikel terhadap Sumber Mata Pencaharian Masyarakat

Nikel merupakan salah satu komoditas tambang yang termasuk ke dalam mineral kritis dengan permintaan nikel di pasar global mencapai 3.104 kiloton pada tahun 20231. Sejak tahun 2020 hingga 2023 terdapat peningkatan permintaan nikel di pasar global sebesar 30% yang dipengaruhi oleh pemanfaatan nikel untuk transisi energi yang lebih bersih, salah satunya dengan menjadi katoda2 baterai untuk kendaraan listrik. Jumlah ini diproyeksikan akan meningkat hingga 6.238 kiloton pada tahun 20403

Indonesia merupakan produsen tambang bijih nikel dan produk nikel primer olahan4 terbesar di dunia. Indonesia berkontribusi terhadap produksi nikel global sebesar 25% pada tahun 2018 dan meningkat menjadi 52% pada tahun 2023, dengan jenis bijih nikel laterite yang mendominasi jenis bijih nikel global. Sementara itu, terdapat proyeksi peningkatan produksi untuk produk nikel olahan global hingga 3.900 kiloton pada tahun 2040, berupa Nickel Pig Iron (NPI), feronikel, dan logam nikel yang produksinya didominasi oleh Indonesia. Pada tahun 2023, teknologi utama yang digunakan dalam produksi nikel – yaitu Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk menghasilkan NPI atau feronikel – menghasilkan  emisi sebesar 150 MtCO2, hampir 90% dari total emisi produksi nikel di Indonesia5

Meningkatnya permintaan nikel di pasar global dan ketersediaan cadangan nikel yang melimpah di Indonesia, membuat adanya peningkatan pembangunan industri nikel khususnya di Sulawesi Tengah dengan berdirinya PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan PT Indonesia Hua Bao Industrial Park (IHIP). Kegiatan operasional pertama PT IMIP dimulai sejak tahun 2013 melalui proses hilirisasi yang terbagi ke dalam tiga kluster, yaitu: baja nirkarat (stainless steel) dengan kapasitas produksi 3 juta metrik ton baja/tahun; baja karbon (carbon steel) dengan kapasitas produksi 3,5 juta ton/tahun; serta katoda baterai untuk kendaraan listrik dengan kapasitas produksi 120 kiloton/tahun. Sementara itu, PT IHIP masih dalam proses pembangunan dan direncanakan untuk produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida sebagai komponen penting untuk baja nirkarat dan baterai kendaraan listrik kelas atas.  

Dampak Industri Nikel terhadap Sumber Mata Pencaharian Masyarakat 

Pembangunan industri nikel yang masif memang berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia, namun di sisi lain terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari munculnya industri nikel. Salah satu penyebab emisi sektor industri meningkat adalah penggunaan PLTU captive6 untuk mendukung produksi nikel. Dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat peningkatan kapasitas PLTU captive dari 1,4 gigawatt menjadi 10,8 gigawatt, dengan 67% digunakan untuk memasok kebutuhan smelter nikel itu sendiri. Polusi udara dan air yang dapat mencemari lingkungan berasal dari operasionalisasi industri, sehingga menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar yang bergantung terhadap alam. Sebagai contoh, reklamasi pantai untuk kepentingan pelabuhan tambang galian menyebabkan berkurangnya wilayah kelola nelayan yang menyempit dan menjauh sehingga tangkapan ikan berkurang. Perubahan wilayah tangkapan ikan juga disebabkan oleh adanya batu bara yang jatuh dan mencemari laut saat pengangkutan. Selain itu, di Kabupaten Banggai Kepulauan, tambang galian pasir yang terjadi di pesisir menyebabkan pemutihan terumbu karang (coral bleaching) dan berkurangnya tanaman bakau yang berkontribusi terhadap menurunnya tangkapan laut, temasuk kerang meti yang menjadi komoditas mata pencaharian utama bagi masyarakat sekitar. Petani lokal, khususnya petani kopra dan sagu, juga mulai berkurang jumlahnya akibat sebagian besar lahan pertanian dan perkebunan mereka diharuskan dijual ke perusahaan industri. 

Upaya Transisi Berkeadilan dalam Industri Nikel 

Untuk meminimalisir dampak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar industri dan tambang dalam mendukung transisi yang berkeadilan, para pelaku usaha wajib mematuhi ketentuan terkait. Sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap pemilik Ijin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib menerapkan good mining practice. Para pelaku industri perlu mematuhi izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang seharusnya terbit sebelum beroperasinya industri untuk memastikan pelaku industri memiliki rencana pengelolaan dampak lingkungan dan sosial. Masyarakat di sekitar proyek seharusnya diberikan informasi terkait AMDAL melalui konsultasi publik yang wajib dilaksanakan untuk mengetahui rencana pembangunan, sehingga kedepannya dapat terlibat dalam pengawasan atas beroperasinya proyek. Perlu adanya penggantian pekerjaan yang layak dan terjamin bagi masyarakat yang mata pencahariannya terdampak, misalnya beberapa nelayan yang terpaksa beralih pekerjaan menjadi pengepul limbah besi di kawasan industri. 

Selain itu, untuk memastikan implementasi dari pelaku industri, dapat dilakukan pemantauan dan evaluasi melalui sistem Measurement, Reporting, and Verification (MRV) dan penguatan implementasi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 25 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan dan Pengendalian Industri. Pelaku industri dapat berkontribusi terhadap pengelolaan lingkungan khususnya untuk meminimalisir pencemaran air dengan cara manajemen air terhadap pelaksanaan konservasi air dan pengelolaan air. Peningkatan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri dan tambang, serta masyarakat diperlukan untuk memastikan upaya transisi berlangsung secara berkeadilan guna mendukung tercapainya Indonesia Net Zero Emission (NZE) 2060.  

Bagikan :