Kejadian-kejadian ekstrem akibat dampak perubahan iklim, terus terjadi dengan intensitas lebih tinggi dan frekuensi lebih sering. Apabila berlangsung terus-menerus tanpa intervensi yang memadai, maka dapat dipastikan terjadinya kehilangan dan kerusakan yang tidak dapat dihindari, terlepas dari telah dilakukannya upaya-upaya adaptasi, mitigasi, bahkan manajemen risiko bencana. Kehilangan akibat dampak perubahan iklim yang terjadi misalnya, hilangnya spesies tanaman atau hewan, hingga kehilangan nyawa manusia akibat dampak perubahan iklim. Sedangkan kerusakan akibat dampak perubahan iklim, dapat berupa kerusakan infrastruktur yang mengganggu jalannya ekonomi.
Kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim juga diakui oleh negara-negara anggota G20 sebagaimana yang tertuang dalam G20 Bali Leader’s Declaration yang menegaskan kembali pentingnya pencapaian tujuan Persetujuan Paris. Selain itu, pada Conference of The Parties (COP) ke-27 di Sharm el-Sheikh, isu kehilangan dan kerusakan menjadi salah satu agenda pembahasan, di mana negara Pihak menyepakati pengaturan pendanaan baru untuk kehilangan dan kerusakan.
Untuk dapat mengerti bagaimana isu pendanaan kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim akan dibahas pasca KTT G20 dibawah kepemimpinan India serta pasca COP27, maka pada tanggal 11 Januari 2022, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan Germanwatch, mengadakan kelompok diskusi terfokus mengenai pembiayaan kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim. Acara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan pembelajaran mengenai beberapa inisiatif seputar pembiayaan kehilangan dan kerusakan, termasuk modalitas akses, tantangan dan strategi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi.
Diskusi berlangsung secara daring dengan mengundang beberapa narasumber dari berbagai institusi, yaitu Kairoz Dela Cruz, Deputy Executive Director Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC); Martin Kipping, Ketua Divisi Kebijakan Iklim, Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ), dan Shikha Bhasin, Senior Program Lead Technology, Finance and Trade, Council on Energy, Environment and Water (CEEW).
People’s Survival Fund Filipina
People’s Survival Fund (PSF) merupakan pendanaan yang dibentuk tahun 2012 sebagai hasil amandemen kebijakan perubahan iklim Filipina. Amandemen ini dibuat karena pemerintah Filipina menyadari bahwa untuk menghadapi terjadinya dampak perubahan iklim, kebutuhan pendanaan yang diperlukan sangat besar. PSF merupakan bentuk pendanaan berbasis hibah dengan besaran dana dasar awal sebesar USD 20 juta per tahun, yang dengan sengaja dialokasikan oleh Pemerintah Filipina. Ide pendanaan dasar PSF didukung oleh Kongres dan Senat Filipina yang bahkan menyatakan bersedia untuk mengalokasikan lebih besar, jika kebutuhan pendanaan melebihi USD 20 juta.
Walau demikian, penerapannya ternyata tidak semudah itu, karena terdapat beberapa tantangan di dalam penggunaan pendanaan ini. Pertama, pemerintah daerah, bahkan pemerintah nasional, membutuhkan lebih banyak waktu untuk memahami gagasan pembiayaan kerugian dan kerusakan serta prasyaratnya. Kedua, dibutuhkan perbaikan dari sisi kelengkapan ilmu pengetahuan dan data. Hal lain yang juga ditekankan adalah memiliki beberapa kantung pendanaan tidak berarti akan lebih banyak dana tersedia untuk mendanai kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim. Semuanya akan kembali kepada apakah sumber pendanaannya ada atau tidak.
Global Shield untuk mengatasi risiko iklim
Global Shield against climate risks adalah sebuah inisiatif yang dibuat oleh negara-negara anggota G7 bersama dengan The Vulnerable 20 Group of Finance Ministers (V20) untuk merancang dukungan keuangan yang bisa digunakan secara cepat saat terjadi bencana iklim. Pada inisiatif ini, Jerman memberikan kontribusi awal sebesar EUR 170 juta dan lebih dari EUR 40 juta berasal dari negara-negara lain (Joint Press Release of V20, G20, and the German Ministry for Economic Cooperation Development, 2022).
Sementara itu, negara-negara yang dapat dibiayai oleh Global Shield dipilih berdasarkan prioritas kerentanan terhadap risiko iklim dan bencana. Saat ini, terdapat tujuh negara yang terpilih, yaitu Bangladesh, Kosta Rika, Fiji, Ghana, Pakistan, Filipina, dan Senegal. Regio Pasifik SIDS (Small Island Developing States), juga menjadi wilayah yang terpilih di dalam pendanaan ini.
Kehilangan dan Kerusakan di bawah Presidensi G20 India
Isu kehilangan dan kerusakan telah didorong pembahasannya oleh negara-negara berkembang melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Terdapat 34% dari negara Pihak yang mencantumkan isu kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim, di dalam Nationally Determined Contributions (NDC) mereka (UNDRR, 2020). India sendiri merupakan salah satu negara yang juga menghadapi risiko cuaca ekstrem dimana 80% penduduk India tinggal di distrik yang sangat rentan terhadap cuaca ekstrem.
Secara umum, saat ini terdapat janji-janji (pledges) pembiayaan dari negara-negara maju seperti Jerman, Uni Eropa, Austria, Perancis dan Denmark. Begitu pula dengan sumber-sumber pembiayaan untuk aksi-aksi terkait kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim, seperti Green Climate Fund (GCF), Global Shield Financing Facility, Global Facility for Disaster Reduction and Recovery, dan lain-lain. (CEEW Compilation, 2023)
Meski kehilangan dan kerusakan telah masuk ke dalam agenda UNFCCC dan telah ada upaya-upaya serta inisiatif pembiayaan untuk kehilangan dan kerusakan, namun kemungkinan untuk membahas isu ini di bawah G20 2023, masih terbatas. Walau demikian, isu-isu konkrit (aksi-aksi iklim) yang terkait dengan kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim, disambut baik oleh India sebagai Presidensi dari G20.
Pada konteks kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim, India juga mendukung upaya-upaya terkait pengumpulan data yang akurat, misalnya yang terkait dengan pengetahuan tentang dampak perubahan iklim berbasis bukti, berkontribusi dalam penyusunan indeks kerentanan global, dan serta perihal teknologi yang mampu menyiapkan infrastruktur tahan bencana.
Langkah ke depan untuk pendanaan Kehilangan dan Kerusakan
Berdasarkan hasil diskusi, dapat disimpulkan bahwa pengaturan pembiayaan kerusakan dan kerugian di masing-masing negara membutuhkan waktu bagi negara tersebut, untuk memahami gagasan yang termasuk di dalamnya, serta dalam meninjau seluruh prasyaratnya. Walau demikian, sebaiknya negara-negara berkembang tidak menunggu adanya mekanisme baru untuk pembiayaan kerugian dan kerusakan, melainkan memanfaatkan instrumen-instrumen yang telah ada.
Mengatasi kehilangan dan kerusakan adalah pilar penting dari aksi iklim. Meskipun berhubungan erat dengan upaya mitigasi dan adaptasi, perlu dilakukan pemisahan atas upaya penanganan kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim. Kolaborasi lintas sektor, sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini. Terkait dengan pengumpulan data dan bukti, institusi akademik lokal sebenarnya memegang peranan kunci. Itu sebabnya, peran institusi akademik lokal menjadi penting, terutama karena data dan bukti merupakan amunisi yang ampuh untuk mengatasi kehilangan dan kerusakan akibat dampak perubahan iklim, serta dalam menyusun strategi adaptasi yang baik berada pada aktualitas data dan bukti.
Walau demikian, masing-masing negara, terutama yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap iklim, harus terus membawa topik ini agar dapat berkembang. Tentu saja masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan realisasi dari pembiayaan kehilangan dan kerusakan secara ideal. Namun, semua negara, setidaknya dapat berkontribusi dari segi penyediaan data dan ilmu pengetahuan yang merupakan kunci untuk mengatasi kehilangan dan kerusakan. Selain itu, dalam perencanaan pembiayaan kehilangan dan kerusakan akibat bencana iklim, kerja sama lintas sektor juga harus dilakukan.
Bagikan :