Menyelaraskan Aksi Mitigasi di Sektor Energi Indonesia dengan Persetujuan Paris

Keputusan Global Stocktake (GST) pertama mengungkapkan bahwa progres aksi mitigasi yang dilakukan oleh para Pihak belum selaras dengan Persetujuan Paris. Aksi mitigasi yang belum memadai ini menyebabkan kenaikan suhu bumi sekitar 1,1oC, mendekati ambang batas 1,5oC. Dampak kenaikan suhu tersebut telah dirasakan secara tidak proporsional di berbagai kawasan dunia dan oleh kelompok rentan.

Sesuai dengan Pasal 14 Persetujuan Paris, hasil review GST selayaknya menjadi masukan bagi para Pihak dalam memperbarui dan meningkatkan NDC-nya agar selaras dengan Persetujuan Paris. Untuk itu, para Pihak pun sepakat untuk mendorong pembaruan NDC yang selaras dengan pathway 1,5oC (Decision1/CMA.5, paragraf 39), termasuk Indonesia yang sedang menyusun Second Nationally Determind Contribution (SNDC). 

Meskipun aksi mitigasi oleh para Pihak telah menunjukkan kemajuan signifikan, nyatanya implementasi menyeluruh dari Nationally Determined Contributions (NDC) diproyeksikan hanya mampu membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi pada angka  2,1-2,8oC (Decision 1/CMA.5, paragraf 18). Maka dari itu, para Pihak perlu melakukan aksi mitigasi yang lebih ambisius, yang sejalan dengan upaya untuk menekan kenaikan suhu temperatur tidak lebih dari 1,5oC. 

Sektor energi sebagai salah satu kontributor emisi gas rumah kaca (GRK) memiliki peran penting dalam pencapaian target-target penurunan emisi, termasuk dalam pemenuhan Enhanced NDC (ENDC) Indonesia. Pada Enhanced NDC (ENDC) Indonesia,  target penurunan emisi GRK di sektor energi adalah 358 MTon CO2e dengan upaya sendiri, atau 446 MTon CO2e dengan bantuan internasional.  Terdapat lima klaster aksi mitigasi pada sektor energi Indonesia, yaitu: energi terbarukan, efisiensi energi, penggunaan bahan bakar rendah emisi, teknologi bersih batu bara dan pembangkit gas, serta reklamasi pasca tambang.

Terdapat tiga skenario dalam aksi mitigasi sektor energi di Indonesia pada ENDC, yakni Business as Usual(BaU), Counter Measure 1 (CM1) dan Counter Measure 2 (CM2). Skenario BaU merupakan skenario yang merujuk pada proyeksi tren di mana tidak ada perubahan kebijakan, tindakan, maupun intervensi yang dilakukan untuk mengurangi emisi GRK.  Lebih lanjut, CM1 merujuk pada skenario dengan aksi mitigasi dan intervensi dengan target yang dapat dicapai dengan sumber daya Indonesia sendiri. Sementara itu, CM2 merujuk pada aksi mitigasi dan intervensi dengan bantuan internasional. Sayangnya, aksi mitigasi sektor energi dalam ENDC pada skenario CM2 tidak memiliki target capaian yang spesifik. Target masing-masing skenario pada aksi mitigasi sektor energi ENDC dapat dilihat pada tabel berikut:

Gambar 1: Cakupan aksi mitigasi sektor energi dalam ENDC Indonesia

*) Wilus = Wilayah usaha

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2023 menyebutkan total penurunan emisi GRK sektor energi pada tahun 2023 sebesar 127,67 MT CO2e[1] dengan sebagian besar (51,30 MT CO2e) dicapai melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Meskipun Pemerintah Indonesia menyatakanbahwa target penurunan sektor energi Indonesia pada tahun 2023 tersebut melebihi target, Climate Action Tracker menyebutkan bahwa aksi mitigasi Indonesia di luar sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF), termasuk sektor energi sangat tidak mencukupi untuk mencapai target Persetujuan Paris[2].

Lebih lanjut, kluster aksi mitigasi dalam ENDC Indonesia dianggap belum mencakup seluruh upaya yang selaras dengan tujuan Persetujuan Paris. Oleh karenanya, dalam penyusunan NDC berikutnya, Indonesia perlu menyelaraskan aksi mitigasi di sektor energi dengan hasil GST pertama. 

Memastikan Aksi Mitigasi di Sektor Energi selaras dengan Persetujuan Paris

Terdapat tiga hal penting yang bisa dilakukan oleh Indonesia untuk menyelaraskan aksi mitigasi di sektor energi dalam NDC berikutnya agar selaras dengan Persetujuan Paris:

  • Pertama, memasukkan aksi-aksi mitigasi yang dapat mencerminkan upaya mitigasi global yang disepakati dalam keputusan hasil GST pertama. 

Dalam konteks energi, para Pihak menyepakati untuk berkontribusi dengan cara, antara lain namun tidak terbatas pada: meningkatkan kapasitas energi terbarukan dunia sebesar tiga kali dan menggandakan rata-rata tingkat efisiensi energi global; bertransisi (transitioning away) dari bahan bakar fosil pada sistem energi, secara adil, teratur, dan setara; menghapuskan (phase-out) subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, yang tidak mengatasi kemiskinan energi dan transisi berkeadilan; menggunakan transitional fuelsuntuk memfasilitasi transisi energi dan memastikan ketahanan energi (Decision 1/CMA.5, paragraf 28). 

Memasukkan aksi-aksi tersebut memungkinkan Indonesia untuk merumuskan dan mendefinisikan target NDC yang lebih konkret dan selaras dengan Persetujuan Paris. Indonesia perlu menambahkan sejumlah aksi mitigasi sektor energi yang saat ini belum tercakup dalam ENDC, seperti: meningkatkan upaya phase down unabated coal power; bertransisi dari bahan bakar fosil dalam sistem energi; meningkatkan pengurangan emisi dari transportasi darat; phase-out subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien; serta meningkatkan upaya pengurangan emisi non-karbon, seperti CH4 (gas Metana).

  • Kedua, mendefinisikan transitional fuels berdasarkan konteks Indonesia

Melalui Decision 1/CMA.5, paragraph 29, para Pihak mengakui bahwa transitional fuels berperan dalam memfasilitasi transisi energi, sekaligus memastikan keamanan energi. Hingga saat ini, belum ada definisi transitional fuels yang disepakati secara global. Indonesia perlu menegaskan posisinya terkait transitional fuels sebagai bahan bakar yang tidak memperpanjang umur pembangkit berbasis bahan bakar fosil dan memberikan kerangka waktu yang jelas dalam rencana penggunaan transitional fuels

  • Ketiga, menambahkan aspek berkeadilan dalam komitmen aksi mitigasi 

Hasil GST pertama menegaskan kembali bahwa aksi mitigasi harus dilakukan secara berkeadilan dan terintegrasi dalam konteks perencanaan pembangunan yang lebih luas. Proses pengkinian NDC Indonesia yang sedang dilakukan merupakan peluang untuk mengintegrasikan prinsip, proses, dan aksi transisi berkeadilan. Misalnya, dalam SNDC, Indonesia dapat menambahkan socio-economic pathways untuk memastikan aksi mitigasi di sektor Indonesia juga mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan kemanusiaan.

Pembaruan NDC Indonesia diharapkan dapat menunjukkan peningkatan ambisi dari NDC sebelumnya (ENDC). Tidak kalah penting, rencana aksi iklim yang lebih ambisius tersebut harus diikuti dengan implementasi yang konkret. 


[1]https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/pemerintah-sukses-tekan-emisi-grk-dan-intensitas-energi-primer#:~:text=Pemerintah%20Indonesia%20berhasil%20mencapai%20realisasi,sebesar%20116%20juta%20ton%20CO2e.

[2] https://climateactiontracker.org/countries/indonesia/targets/

Bagikan :