Menakar Kebutuhan dan Prioritas Sulawesi Tengah terkait Aksi Iklim di Sektor Energi

(Dokumentasi: IRID, 2025)

Peran daerah dalam melakukan aksi iklim adalah krusial dalam pemenuhan komitmen negara sebagaimana yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Itu sebabnya, memahami peran daerah terkait dengan implementasi NDC menjadi penting. Semenjak bulan Oktober 2024 yang lalu, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) bekerja sama dengan WALHI Sulawesi TengahAksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dan Yayasan Pikul, melakukan diskusi antar pemangku kepentingan, untuk melihat bagaimana daerah dapat berperan aktif, efektif dan efisien, dalam berkontribusi pada pemenuhan komitmen iklim Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam NDC Indonesia. Setelah melalui rangkaian proses diskusi pada bulan Oktober dan Desember 2024, rangkaian diskusi pada bulan Februari 2025 berfokus pada 2 sektor, yaitu sektor pangan dan energi. Diskusi yang terkait dengan sektor energi dilakukan pada tanggal 18 Februari 2025 dengan melibatkan pemerintah daerah, kelompok masyarakat sipil, serta akademisi di Sulawesi Tengah.

Sektor Energi di Sulawesi Tengah

Sulawesi Tengah memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 152,6 juta hektare di tahun 2023. Perkebunan kelapa sawit ini mencakup kelapa sawit rakyat seluas 39%, perusahaan swasta seluas 56%, dan perkebunan kelapa sawit perusahaan milik negara seluas 3% dari total keseluruhan. Pengolahan kelapa sawit menjadi bahan baku energi, dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu: produksi bio-diesel dan produksi bio-power. Produksi bio-diesel dilakukan dengan cara menghasilkan minyak kelapa sawit, sedangkan produksi bio-power dapat dilakukan dengan menggunakan tandan kosong, cangkang, serta limbah cair dari pemrosesan kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent atau POME). Besaran produksi ini tentunya ditentukan oleh produktivitas lahan sawit per hektarenya. Saat ini produktivitas sawit di Sulawesi Tengah yang tercatat untuk sawit rakyat mencapai 3 ton/hektare, sedangkan sawit yang dikelola oleh swasta dapat mencapai 5 ton/hektare. Guna meningkatkan produksi sawit di Sulawesi Tengah, peningkatan produktivitas dari sawit rakyat akan meningkatkan produksi sawit tanpa harus memperluas lahan sawit. 

Pengembangan sektor energi juga tidak terlepas dari tata ruang wilayah, yang bersifat multi-fungsi dan multi-dimensi, dan perlu untuk memperhatikan harmonisasi antara lingkungan alam dan lingkungan buatan. Tata ruang juga merupakan menjadi instrumen penting yang digunakan untuk mendapatkan persetujuan izin. Itu sebabnya, penentuan tata ruang akan bersinggungan dengan berbagai sektor. Sulawesi Tengah sendiri telah membagi tata ruangnya ke dalam 4 (empat) klaster, yaitu : Klaster Wisata Bahari dan Perikanan, Klaster Industri Morubang, Klaster Perkotaan Pasigala, serta Klaster Agropolitan Bolipamuso dan Kawasan Pangan Nusantara. Penentuan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan skala prioritas daerah dengan melihat daya dukung ruang yang tersedia.

Permintaan energi di Sulawesi Tengah terbesar berasal dari rumah tangga dan industri. Walau demikian, permintaan sektor industri terhadap energi sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga. Melalui Peraturan Daerah Sulawesi Tengah No. 10 Tahun 2019 mengenai Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Sulawesi Tengah telah menetapkan target bauran energi di mana porsi energi baru terbarukan adalah 30%. Namun pada realisasinya di tahun 2023, porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi Sulawesi Tengah hanya mencapai 11,06%. Hal ini disebabkan oleh pembangkit listrik berbasis batu bara, yang tidak diperhitungkan pada perencanaan awal. Walau demikian, surat edaran Gubernur Sulawesi Tengah di tahun 2022 menekankan agar masing-masing perusahaan swasta dapat menggunakan paling tidak 10% dari kebutuhan energinya, berasal energi baru terbarukan. 

Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah terkait dengan pengembangan energi terbarukan adalah yang terkait dengan kewenangan daerah yang sangat kecil. Bahkan terkait dengan penerbitan izin, kewenangan pemerintah daerah hanya sebatas penyampaian rekomendasi. Berkembangnya pembangkit berbasis batu bara di Sulawesi Tengah, utamanya yang berfungsi sebagai captive, dinilai tidak hanya mempengaruhi ketahanan energi Sulawesi Tengah, namun juga merusak kesehatan masyarakat sekitar. 

Tantangan dan Hambatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Sulawesi Tengah

Pengembangan energi baru terbarukan di Sulawesi Tengah sebenarnya telah didukung oleh Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2019, mengenai Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, di mana pada tahun 2025 bauran energi baru terbarukan dalam bauran energi Sulawesi Tengah akan mencapai 31%, sedangkan Batubara di 52%. Hal ini didukung oleh Surat Edaran Gubernur Sulawesi Tengah di tahun 2022, terkait dengan penggunaan energi baru terbarukan oleh perusahaan swasta yang setidaknya dapat mencapai 10% dari penggunaan energi total. Sulawesi Tengah pun saat ini sedang menggodok peraturan gubernur mengenai energi bersih dan konservasi energi di Sulawesi Tengah, yang diharapkan dapat mendorong sektor energi untuk menggunakan energi bersih.

Terkait dengan penerapan co-firing di Sulawesi Tengah, salah satu hal yang menjadi ganjalan adalah fakta bahwa Sulawesi Tengah tidak memiliki kebun untuk tanaman energi, yang merupakan bahan baku biomassa bagi teknologi co-firing. Walaupun terdapat beberapa wilayah yang berpotensi untuk memberikan pasokan biomassa, namun pada wilayah-wilayah tersebut, kayu yang didapat umumnya digunakan sendiri untuk operasional perusahaan tersebut. Pengembangan pembangkit listrik dengan menggunakan energi surya juga menghadapi kendala, utamanya yang terkait dengan penggunaan lahan.  

Selain itu, isu kapasitas sumber daya manusia, limbah serta ekonomi masyarakat, juga menjadi isu Sulawesi Tengah terkait dengan sektor energi. Pembahasan isu energi pun seringkali hanya sebatas masalah teknis, namun tidak menyentuh masalah kesejahteraan masyarakat. Misalnya, banyaknya petani mandiri yang bergantung pada perusahaan sawit, terlepas dari luas kebun sawit rakyat di Sulawesi Tengah telah mencapai lebih dari 30%. Atau bagaimana pembangkit listrik yang dibangun oleh perusahaan besar, namun distribusi listriknya tidak dapat melistriki kota di mana perusahaan tersebut berada.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) merupakan salah satu cara bagi masyarakat untuk memantau operasionalisasi dari sebuah kegiatan usaha, serta mengevaluasinya. Namun, diperlukan adanya ruang bagi masyarakat untuk dapat memantau dan mengevaluasi penegakkan dari AMDAL itu sendiri. 

Bagikan :