
Ekosistem lamun merupakan suatu tipe ekosistem laut yang didominasi oleh tanaman lamun (seagrass) yang termasuk ke dalam tanaman berbunga (Angiospermae), serta dapat tumbuh dalam perairan dangkal dan hangat. Selain itu, ekosistem lamun merupakan tanaman penghubung antara ekosistem mangrove dengan terumbu karang. Bagi wilayah pesisir, keberadaan ekosistem lamun memiliki manfaat secara ekologi, yaitu sebagai produsen primer dalam rantai makanan di lautan, penyerap karbon dioksida (CO2) dan nitrogen, stabilisasi sedimen untuk melindungi garis pantai , dan habitat biota laut. Selain fungsi ekologi, lamun juga memiliki fungsi ekonomi, yaitu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan agar-agar, nata de coco, bioetanol, kertas, hingga alternatif pupuk organik.
Terkait perannya dalam upaya mitigasi perubahan iklim, ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir penting yang dapat menyerap dan menyimpan karbon (blue carbon). Ekosistem lamun menyumbang sekitar 18% dari total kapasitas lautan untuk menyimpan karbon, meskipun luas lamun hanya 0,1% dari total luas dasar lautan. Karbon dioksida yang diserap lamun sebagian digunakan sebagai energi dan sebagian lainnya disimpan dalam jaringan tubuhnya dalam bentuk biomassa pada bagian daun, bunga, buah, akar, dan rimpang. Sementara itu, dalam konteks adaptasi perubahan iklim, lamun dapat berfungsi sebagai pelindung garis pantai dari kenaikan permukaan air laut, abrasi, gelombang tinggi, dan tsunami.
Kondisi Pengelolaan Ekosistem Lamun di Indonesia
Indonesia diperkirakan memiliki 5-15% dari total luas ekosistem lamun di dunia. Berdasarkan Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN), luas padang lamun di Indonesia yang telah terverifikasi dan tervalidasi oleh citra satelit dan observasi lapangan mencapai 655.000 hektare, atau sekitar 16-35% dari potensi luasan yang ada. Meskipun Indonesia memiliki ekosistem lamun yang luas, namun pengelolaan lamun masih tertinggal dibandingkan dengan ekosistem penting lainnya, seperti terumbu karang dan mangrove yang lebih didukung oleh ketersediaan data.
Pada ekosistem mangrove, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 4 Tahun 2017 terkait kebijakan, strategi, program, dan indikator kinerja pengelolaan ekosistem mangrove nasional. Sejak tahun 2020, Pemerintah telah menjalankan program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR)bekerja sama dengan World Bank untuk rehabilitasi kawasan mangrove terdegradasi, serta pengembangan mata pencaharian pesisir.
Sementara itu, untuk terumbu karang, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sedang menjalankan program COREMAP–CTI sejak tahun 2019, yang berfokus pada rehabilitasi dan tata kelola kawasan konservasi laut. Indonesia bahkan telah menjajaki instrumen pembiayaan inovatif untuk pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang, melalui program Indonesia Coral Reef Bond yang dipimpin oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebaliknya, lamun sering disebut sebagai “ekosistem terlupakan” (the forgotten ecosystem), meskipun fungsinya sangat penting bagi produktivitas perikanan, perlindungan garis pantai, dan penyerap karbon.
Keterbatasan data spasial menjadi tantangan utama dalam pengelolaan lamun nasional. Padahal, data yang akurat mengenai luas, jenis, dan kondisi lamun sangat penting untuk mendukung kebijakan adaptasi berbasis ekosistem (ecosystem-based adaptation). Oleh karena itu, PRO-BRIN bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Informasi Geospasial (BIG), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Hasanuddin saat ini tengah menjalankan sebuah inisiatif bernama Indonesian National Seagrass Mapping Project. Proyek ini bertujuan untuk menyusun peta lamun nasional melalui kompilasi peta-peta lamun yang telah tersedia sebelumnya, serta melakukan pemetaan tambahan melalui metode penginderaan jauh. Peta lamun nasional yang dihasilkan diharapkan dapat diluncurkan pada akhir tahun 2025 dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari ocean accounting, analisis jasa ekosistem, pemetaan keanekaragaman hayati, hingga pemantauan perubahan lingkungan dari waktu ke waktu. Selain itu, penyusunan peta ini juga diharapkan dapat mendukung proses pembaruan NDC Indonesia nantinya dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Pembelajaran Global dalam Pengelolaan Lamun
Dalam memperkuat eksistensi ekosistem lamun untuk aksi iklim Indonesia, pembelajaran terhadap praktik baik oleh negara lain dapat menjadi contoh untuk pengelolaan ekosistem lamun. Australia telah menerapkan avoid-mitigate-restore dan pendanaan restorasi jangka panjang dalam pengelolaan ekosistem lamun untuk menghindari kerusakan. Pengelolaan tersebut mencakup perencanaan, meminimalkan dampak melalui rekayasa ekologis, hingga melakukan restorasi jangka panjang pada area yang terdampak. Pemerintah Australia telah mewajibkan pengelola proyek Westport di kawasan pesisir di Australia bagian barat untuk melakukan kajian baseline ekologi, pemetaan sebaran lamun beresolusi tinggi, penentuan zona sensitif, modifikasi desain pelabuhan untuk mengurangi kekeruhan, serta dredge management planning sebagai bagian dari perencanaan pengelolaan ekosistem lamun. Sementara itu, untuk tahap restorasi, dilakukan melalui program penanaman ulang berbasis ilmiah, seperti melalui Seeds for Snapper. Program ini memobilisasi ratusan relawan untuk mengumpulkan ribuan biji lamun, memperluas area penanaman, serta melakukan monitoring jangka panjang dengan menggunakan drone, sensor kualitas air, dan survei bawah air. Pemerintah Australia juga memberikan pendanaan multi-year melalui lembaga seperti Western Australia Marine Science Program (WAMSI), yang mengembangkan teknik pemulihan lamun modern termasuk seed-based restoration, hessian bags, dan sediment stabilisation sebagai pendekatan yang memastikan pemulihan berlangsung terukur dan berkelanjutan.
Di Filipina, pendekatan community-based coastal resource management (CBCRM) telah menjadi strategi kunci dalam pengelolaan ekosistem lamun dengan melibatkan nelayan skala kecil dan masyarakat lokal. Komunitas pesisir terlibat langsung dalam pemetaan partisipatif, patroli kawasan konservasi, serta penyusunan barangay ordinances untuk mengatur larangan dan perlindungan habitat guna meningkatkan kepatuhan dan efektivitas konservasi. Program Seagrass-Watch Philippines telah memberikan pelatihan bagi masyarakat, nelayan, dan pelajar untuk melakukan survei transek[AP38] , identifikasi spesies, pengukuran tutupan, dan pencatatan tekanan antropogenik, sehingga menghasilkan sistem monitoring berbasis masyarakat. Program ini juga melakukan penguatan dukungan ekonomi masyarakat melalui skema alternatif mata pencaharian, misalnya pengembangan ekowisata berbasis lamun dan pembentukan Community-Managed Savings and Credit Associations (CoMSCA) yang membantu pembiayaan kegiatan konservasi dan usaha kecil bagi keluarga nelayan. Praktik-praktik ini diperkuat oleh kolaborasi dengan lembaga ilmiah seperti University of the Phillippines-Marine Science Institute, yang mendampingi survei ekologi, menyediakan data ilmiah untuk kebijakan lokal, dan meningkatkan kapasitas komunitas dalam pengelolaan sumber daya. Kolaborasi antara partisipasi komunitas, dukungan ilmiah, dan insentif ekonomi ini berkontribusi pada peningkatan kesadaran publik, perbaikan kondisi lamun, serta keberlanjutan pengelolaan ekosistem pesisir jangka panjang di Filipina.
Potensi Ekosistem Lamun untuk Aksi Iklim Indonesia
Dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia (2024), ekosistem pesisir, termasuk lamun, diakui sebagai komponen penting dalam pendekatan Ecosystem-based Solutions (EbS) untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. SNDC menekankan pentingnya integrasi pengelolaan ekosistem pesisir, termasuk ekosistem lamun, dalam upaya mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan peningkatan ketahanan iklim nasional. Pemerintah Indonesia telah mengembangkan neraca sumber daya laut (ocean accounting) yang mengintegrasikan data ekosistem pesisir dan kelautan, serta sedang dalam proses memperbarui peta nasional padang lamun. Sementara itu, untuk program konservasi dan restorasi ekosistem, upaya yang dilakukan adalah melalui restorasi dan rehabilitasi ekosistem lamun yang terdegradasi.
Dengan pembelajaran dari negara-negara lain tentang bagaimana tata kelola ekosistem lamun, Indonesia dapat meningkatkan efektivitas konservasi, diantaranya melalui memperjelas zonasi untuk pemanfaatan dan konservasi ekosistem lamun, memperkuat penegakan aturan, dan menerapkan skema insentif ekonomi lokal. Melihat bahwa lebih dari 70% wilayah Indonesia terdiri dari perairan, dengan potensi kemampuan lamun dalam menyerap karbon sebesar 5-6 ton C/km²/tahun (Gomis et al., 2025), diperlukan peningkatan upaya pengelolaan lamun untuk mendukung aksi iklim Indonesia. Angka tersebut lebih besar dibandingkan hutan terestrial yang hanya menyerap sekitar 0.5 ton C/km²/tahun (Murphy, 2024) dan mangrove sekitar 3-5 ton C/km²/tahun (Raihan, 2024). Potensi pengelolaan lamun di Indonesia yang ada dapat memperkuat aksi mitigasi melalui penyimpanan karbon biru dan adaptasi pesisir melalui perlindungan garis pantai dan keberlanjutan perikanan, sehingga menjadikan lamun sebagai pilar penting dalam solusi berbasis alam untuk perubahan iklim di Indonesia.
Bagikan :

