Memperkuat Aksi Iklim Melalui NDC yang Operasional dan Inklusif: Pembelajaran dari Kawasan Asia

Seiring dengan upaya negara-negara Pihak meningkatkan aksi iklim agar selaras dengan tujuan Persetujuan Paris, kebutuhan akan strategi iklim yang lebih ambisius, operasional, dan inklusif semakin mendesak. Dalam konteks ini, Nationally Determined Contributions (NDC) menjadi fondasi utama, bukan hanya sekadar komitmen, tetapi menjadi peta jalan penting yang mengarahkan aksi iklim nasional masing-masing negara Pihak dan membuka peluang pendanaan untuk aksi iklim, terutama di negara berkembang.

Namun, negara-negara Pihak – khususnya negara-negara berkembang – menghadapi tantangan dalam menerjemahkan ambisi tersebut menjadi aksi nyata, terutama di tengah keterbatasan kapasitas kelembagaan, ketimpangan akses pembiayaan, dan dinamika tata kelola yang kompleks. Di kawasan Asia, negara-negara seperti Filipina, Indonesia, Tiongkok, dan India menghadapi tantangan ini dari sudut pandang yang berbeda-beda. Pengalaman mereka memberikan pembelajaran penting dan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam memperbarui NDC atau komitmen iklim lainnya.

Filipina: Menjembatani Ambisi Nasional dan Partisipasi Lokal

Saat ini, Filipina dalam tahap menyelaraskan pembaruan NDC-nya dengan kerangka kebijakan iklim yang lebih komprehensif, termasuk dengan National Adaptation Plan (NAP). Sinergi ini memungkinkan NDC digunakan sebagai acuan dalam perencanaan subnasional, seperti Local Climate Change Action Plans (LCCAPs), serta dalam upaya mobilisasi pendanaan iklim di tingkat subnasional. Untuk memperkuat koordinasi, Pemerintah Filipina membentuk Development Partners Coordinating Group (DPCG) guna menyediakan bantuan teknis dan memfasilitasi dukungan dari berbagai mitra.

Namun, di balik kemajuan kelembagaan tersebut, masih terdapat tantangan besar di lapangan. Upaya untuk “melokalkan” NDC masih terhambat oleh kurangnya pedoman yang jelas, kapasitas subnasional yang terbatas, dan keterlibatan masyarakat sipil yang belum merata. Meskipun Pemerintah Filipina telah membuka ruang untuk kemitraan, partisipasi kelompok masyarakat sipil masih sangat bergantung pada keselarasan aktivitas mereka dengan agenda donor dan/atau pemerintah.

Indonesia: Sentralisasi Menghambat Aksi Iklim di Daerah

Indonesia menghadapi tantangan struktural dalam implementasi NDC karena pendekatan tata kelola iklim yang sangat tersentralisasi. Meskipun Indonesia pernah mengalami reformasi desentralisasi politik pada akhir 1990-an, sektor-sektor penghasil emisi GRK terbesar seperti energi dan kehutanan masih sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah pusat. Ketimpangan ini menciptakan dilema. Pemerintah daerah kerap dibebani tanggung jawab untuk mengurangi emisi GRK, namun tidak memiliki kewenangan atau kapasitas fiskal yang memadai untuk implementasinya. Meskipun beberapa daerah mulai menjajaki pendekatan inovatif – seperti memanfaatkan koperasi dan bank daerah untuk membiayai aksi iklim – namun upaya tersebut masih terhalang oleh sistem kebijakan nasional yang belum mendukung upaya daerah secara optimal.

Selain itu, minat aktor-aktor lokal terhadap pembelajaran antar-daerah dan munculnya inisiatif aksi-aksi iklim di daerah menunjukkan adanya peluang positif yang bisa dikembangkan. Namun demikian, reformasi kebijakan yang relevan dengan aksi iklim mulai dari tingkat nasional perlu dilakukan untuk menciptakan ekosistem yang inklusif dan partisipatif.

Tiongkok: Strategi Jangka Panjang Menuju Ambisi Iklim yang Besar

Tiongkok tengah mengkaji pembaruan NDC-nya yang akan mencakup seluruh sektor penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 2035. Sejumlah target iklim sebelumnya telah dicapai lebih awal dari yang ditentukan, termasuk capaian dalam reforestasi dan kapasitas energi terbarukan. Dengan berpedoman pada Five-Year Plan (FYP)[1], kebutuhan pendanaan Tiongkok untuk aksi iklim diproyeksikan mencapai lebih dari RMB 8,1 triliun (sekitar USD 1,1 miliar) setiap tahun hingga 2060.

Secara global, Tiongkok juga semakin aktif dalam kerja sama Selatan-Selatan dan inisiatif seperti Belt and Road Initiative (BRI). Namun, masih terdapat tantangan besar dalam menghentikan investasi pada energi fosil dan memastikan konsistensi proyek luar negeri dengan target iklim global.

India: Kebutuhan Pendekatan Bottom-up

Pendekatan India dalam implementasi NDC menekankan pentingnya pemahaman terhadap kebutuhan lokal, terutama dari perspektif sektor swasta. Sebuah kerangka kerja yang berbasis pilar “4C” – capital (modal), collateral (jaminan), capacity (kapasitas), dan character (karakter) – didorong untuk memahami mengapa pendanaan iklim sering kali gagal menjangkau komunitas rentan.

Kelompok seperti petani dan masyarakat pesisir sering kali tidak memiliki akses ke pendanaan konvensional, atau menghadapi hambatan seperti kurangnya pemahaman terkait mekanisme perbankan. Hal ini menunjukkan pentingnya instrumen pendanaan yang mencerminkan konteks lokal, termasuk faktor demografi dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

Mewujudkan NDC yang Operasional dan Inklusif

Pengalaman dari keempat negara menunjukkan bahwa NDC yang kuat bukan hanya soal target ambisius, tetapi juga tentang kemampuan untuk dilaksanakan secara nyata dan inklusif. Target ambisius harus disertai dengan rencana aksi yang terukur, didanai, dan terintegrasi dalam sistem pembangunan nasional. Peran pemerintah daerah sangat penting – karena berada di garis depan dalam pelaksanaan aksi iklim – namun sering kali terbatas oleh otoritas dan akses terhadap pendanaan. Oleh karena itu, saluran pendanaan yang terdesentralisasi sangat dibutuhkan.

Di sisi lain, pelibatan kelompok masyarakat sipil secara bermakna juga sangat penting. Kelompok masyarakat sipil berperan sebagai pembawa perspektif lokal dan mendorong transparansi, namun partisipasi mereka masih terbatas dan belum sistematis. Keadilan dan kemudahan akses dalam pendanaan iklim menjadi syarat mutlak bagi pelibatan aktor-aktor lokal. Banyak mekanisme pendanaan yang saat ini tersedia terlalu rumit bagi aktor lokal, sehingga diperlukan kesiapan kelembagaan, prosedur yang lebih sederhana, dan instrumen yang sesuai dengan konteks lokal. Kolaborasi dan inovasi lintas kawasan juga memegang peran penting. Pembelajaran antarnegara, kerja sama Selatan-Selatan, serta pemanfaatan model pendanaan inovatif seperti green bonds[2] dan skema berbasis komunitas dapat dieksplorasi potensinya guna menjembatani ambisi dan implementasi.

Menjelang COP30, penyusunan NDC terbaru menjadi momentum penting untuk memperkuat fondasi aksi iklim yang berbasis pada kebutuhan lokal, didukung oleh pendanaan yang inklusif, dan dijalankan dalam kerangka tata kelola yang adil. Transisi yang berkeadilan membutuhkan komitmen nyata, serta kapasitas dan kemitraan yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan.


[1] Dokumen strategis Rencana Pembangunan Lima Tahunan di Tiongkok, berupa target nasional dan arah kebijakan ekonomi, sosial, serta lingkungan untuk lima tahun ke depan.

[2] Green bonds adalah instrumen keuangan yang diterbitkan untuk membiayai proyek-proyek yang memiliki manfaat lingkungan positif, seperti proyek energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan sumber daya alam, dan pengurangan emisi karbon.

Bagikan :